Terus vote cerita ini yaaa. Jangan lupa tinggalkan komentar kalian ~
(POV Aji)Sampai detik ini aku masih belum tahu, kebaikan apa yang aku lakukan di masa lalu hingga Tuhan memberikan pasangan sebaik istriku, Retno. Jujur saja, setelah pernikahan pertamaku yang baru seumur jagung gagal dengan sangat mengenaskan, aku tidak pernah berpikir jika kehidupanku justru akan begitu indah sesusahnya. Ketika perceraianku dengan istri pertamaku terjadi karena ketidakmampuanku dalam memenuhi segala keinginannya, aku benar-benar merasa sebagai seorang pecundang sejati. Terlebih, aku selalu berpikir tidak akan pernah mampu bersaing dengan lelaki idaman lain istriku. Saat perpisahan pahit yang didukung secara sadar oleh mertua dan keluarga istriku terjadi, aku tidak pernah percaya pada pepatah bijak yang mengatakan bahwa pelangi akan muncul setelah badai. Sebab saat badai itu datang, rasanya telah menghancurkanku, maka aku sendiri tidak akan pernah bisa melihat pelangi.Dan Tuhan berkehendak lain. Dalam perasaan terpuruk dan selalu menganggap gelap dunia ini, Dia m
Tuduhan keji Mayang jelas membuat Aji naik pitam. Dia memiliki banyak ucapan kemarahan dalam hati. Akan tetapi, dia ingat pada tujuan awal datang ke kamar sang ibu. Maka, dengan susah payah lelaki itu menelan semuanya. Lantas, Aji berusaha keras untuk menyunggingkan senyum yang mungkin terlihat aneh karena dipaksakan.“Mama, aku yakin, Mama tidak berpikir apa yang barusan Mama ucapkan itu benar. Mama sendiri yang bilang kalau Retno lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar.”“Iya, Aji. Tapi sesekali istrimu itu juga keluar entah ke mana.”“Apa itu di malam hari?”Mayang mencebik. “Aji, memangnya yang seperti itu hanya bisa dilakukan di malam hari saja? Begini lho, bukannya Mama mau menjelek-jelekkan istrimu, tapi ‘kan aneh sekali, tiba-tiba saja dia bisa membeli mobil semewah itu. Itu mobil lho, bukan mobil-mobilan.”Aji menelan ludahnya lagi. Pelipisnya sejak tadi berkedut karena perkataan ibunya yang selalu menjelek-jelekkan Retno, tetapi tidak mau disebut sedang menjelek-jelekkan
Lewat tengah malam, Aji diam-diam turun dari atas ranjang. Dia berjalan pelan menuju meja rias istrinya hanya demi mengambil sebuah kotak kecil.Benar, itu memang kado pemberian Siska. Aji begidik ngeri saat mengingat pesan dari mantannya itu yang dibacakan Retno saat makan malam tadi.Aji memandangi kado tersebut lekat-lekat sebelum mengendap keluar kamar, tidak ingin sampai membangunkan sang istri. Dengan langkah kaki cepat dan dipanjang-panjangkan, dia berjalan menuju depan. Tampaknya, Aji hendak keluar.Tak butuh waktu lama bagi Aji untuk sampai di teras rumah. Anehnya, dia tidak terlihat menuju garasi, tetapi terus berjalan hingga ke pos satpam. “Pak Mul.”Seseorang dengan kaos oblong dan sarung yang menyilang di pundaknya tampak berjingkat sebelum mengecilkan volume televisi. “Bapak. A-ada apa, Pak? Apa ini sudah subuh?” Dia langsung berdiri.Aji tersenyum. “Belum, ini mungkin masih jam satu atau setengah dua..”‘Lhah, kok Bapak sudah bangun?’ tanya si satpam tanpa suara. Dia t
Sudah barang tentu ucapan rekan kerja yang memotong perkataannya itu membuat rahang Aji mengeras. Dia memberikan tatapan tajam mengintimidasi, menghapus semua ekspresi ramah yang tadi sempat dia berikan. Melihat hal itu, Roni pun menelan ludah. Sepertinya dia sudah salah bicara. Meski ucapannya tadi hanya bercanda, tampaknya Aji sangat tidak berkenan. Dia pun memegang pundak pria di hadapannya itu.“Aji, aku-““Kamu tidak tahu apa-apa,” potong Aji seperti ingin membalas Roni. Roni yang terkejut dengan reaksi Aji pun menjadi kian tergagap. “A-aku-““Ini hadiah dari istriku. Kamu mengucapkan selamat ulang tahun padaku kemarin. Dan istriku membelikan mobil ini padaku.”Mulut Roni menganga. Dia sungguh tidak mengira jika Aji ternyata berasal dari keluarga yang perekonomiannya jauh di atas dirinya. Penampilan manajer pemasaran yang baru itu terlihat terlalu sederhana untuk seseorang yang berada. Terlebih, kemarin Aji juga mengendarai mobil keluaran lama yang dia pikir masih belum lunas c
Jeder!Sudah barang tentu dengan refleks Siska nyaris berteriak atas jawaban yang terdengar seperti petir di siang bolong. “Apa?!”Itu adalah arloji yang sangat berharga, mewah, dan tentunya mahal. Akan tetapi, Aji memberikannya begitu saja pada orang lain. Satpam? Seorang satpam. Mengenaskan!Bagaimana mungkin Siska tidak ingin pingsan mendengarnya!‘Aji, kamu benar-benar sudah menbanting kemewahan dari arloji itu dengan membiarkannya melekat di pergelangan tangan seorang rendahan!’“Kenapa Sis? Apa kamu keberatan aku memberikannya pada orang yang lebih membutuhkan?”‘Iya, dong! Segitu cintanya kamu sama Retno!’ Siska berusaha keras untuk tersenyum dan mendustai kata hatinya. “Tidak, Ji. Aku senang kalau memang itu berada di tangan yang tepat.”“Syukurlah kalau begitu. Aku tahu, kamu memang orang baik.”Hati Siska tersenyum getir. Namun, bukannya menyerah, Siska justru kian terobsesi untuk merebut Aji dari sang istri. ‘Retno harus merasakan sakit hati dan penghinaan yang lebih besar
Menjelang siang, sebuah surat datang menggemparkan kediaman mewah nan permai keluarga Santi. Surat itu diterima oleh sang pembantu dan dibaca langsung oleh Santi yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu. Dan, seketika itu pula adik dari mertua Retno itu jatuh pingsan.Tentu saja hal tersebut membuat sang pembantu panik. Dia berteriak meminta tolong berulangkali karena megahnya rumah membuat suaranya menjadi tidak cukup terdengar.Beberapa saat kemudian, Beny, si anak bungsu, pergi ke ruang tamu dengan wajah geram. Kebetulan, waktu itu selain pembantu dan Santi, hanya ada Beny di rumah.“Ada apa sih Bi?! Ganggu orang tidur saja.” Beny masih belum sadar, jika ibu tergeletak tidak sadarkan diri di sofa.“Mas Beny, Nyonya Mas. Nyonya-”Beny yang sudah sangat kesal pun memotong ucapan pembantunya. “Mama lagi, ngapain juga tidur di sini? Kalau ada tamu ‘kan malu-maluin.” Dia berkacak pinggang. “Bi, bangunin Mama dong. Suruh pindah ke kamar aja. Gabut banget molor di sini.”“Tapi Mas Beny
Tidak ingin hal buruk terjadi pada Santi, keluarga pun memanggil dokter ke rumah meski perempuan itu telah sadarkan diri. Mereka semua berkumpul di kamar Santi yang luas, menunggu dokter memeriksa.Terlihat Rudi, suami Santi, yang biasanya di jam ini masih berada di kampus, sekarang duduk di samping Santi, memegang tangannya erat.“Bagaimana, Dok?”“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ibu Santi baik-baik saja. Beliau masih lemas karena masih terlalu kaget. Saya akan resepkan obat untuk mempercepat pemulihan.” Dokter menuliskan resep dan menyerahkannya pada Rudi. “Mohon dijaga agar Ibu Santi cukup istirahat.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.” Rudi menggeser pandangan pada anak keduanya. “Rico, kamu antarkan Dokter ke depan.”Rico mengangguk mengerti. Dia pun pergi meninggalkan kamar ibunya bersama sang dokter. Dan, setelahnya, mereka mulai membicarakan apa yang sebenarnya terjadi.“Semua ini gara-gara menantu Mbak Mayang yang lakn*t itu!” Santi memegangi kepalanya dan berusakha untuk d
Menjelang waktu pulang sang suami, seperti biasa, Retno keluar dari kamar dan turun ke ruang tamu demi menyambut kedatangan Aji. Dia mengerutkan kening saat melihat mertua dan iparnya telah berada di ruang tamu.Sebenarnya itu bukan pemandangan aneh. Sesekali mereka memang bersantai di ruang tamu saat sore, tetapi tidak dalam kondisi seperti orang cemas. Namanya juga bersantai, misalnya lihat-lihat belanjaan di toko online, baca-baca katalog make up, tas, dan sejenisnya, atau bergosip sambil ketawa-ketiwi. Namun kali ini tampak lain. Benar, Mayang dan Mawar terlihat mondar-mandir sambil membicarakan hal yang sepertinya sangat serius.“Bagaimana ini, Ma?”“Mama tidak tahu. Kita tunggu saja kakakmu pulang. Mama telepon dari tadi tidak diangkat. Kamu juga WA nggak dibalas ‘kan?” Mawar mengangguk lesu. “Pokoknya kalau kakakmu sudah pulang, jangan bersikap berlebihan, kita tanyakan baik-baik mengapa dia sampai melaporkan Tante Santi ke kantor polisi.”‘Apa? Mas Aji melaporkan Tante Santi