Azriel, anak pertamaku yang kini sudah menginjak remaja sudah berdiri di halaman rumah ketika aku sampai.
Aku juga merasa kalau ada yang berbeda dengan si sulung. Sudah beberapa hari ini dia selalu menghindari sang ayah, bahkan sudah dua kali kepergok tengah cekcok dengan Mas Haris.Apa mungkin diam-diam dia sudah tahu kalau ayahnya memiliki wanita idaman lain dan merahasiakannya dariku?"Mama dari mana?" tanyanya seraya meraih tanganku dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat."Dari kantor Papa kamu. Abang tumben sudah pulang? Nggak eskul dulu?""Lagi malas. Pengen cepet-cepet ketemu Mama. Kangen!""Udah gede masih saja manja!" Menarik hidung mancungnya lalu merangkul tubuh putraku yang sudah berusia tujuh belas tahun itu.Tidak lama kemudian terlihat mobil Mas Haris memasuki pekarangan rumah kami. Azriel lekas beranjak dari duduknya, mengayunkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Aku semakin curiga melihat tingkah bocah itu, karena sepertinya dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku."Ambar, tunggu!" Mas Haris mencekal lenganku ketika aku hendak menyusul Azriel masuk."Jangan sentuh aku, Mas! Lepas!" Menepis kasar tangan suami, merasa jijik disentuh oleh tangan yang baru saja menjamah tubuh perempuan lain."Tolong dengarkan penjelasan aku dulu. Aku di sini cuma korban. Devi yang merayuku. Sebagai seorang lelaki normal, wajar saja jika aku sampai tergoda. Aku minta maafkan, Ambar. Aku khilaf. Aku menyesal!""Apa kamu bilang, Mas? Korban? Terus, bagaimana dengan video yang kamu simpan di kartu memori, hah? Baji-ngan kamu, Mas! Tega mengkhianati cinta aku, padahal sudah lebih dari delapan belas tahun kita hidup bersama. Apa kamu tidak memikirkan anak-anak kita saat melakukannya?!""Tolong jangan teriak-teriak seperti itu, Ambar. Malu kalau sampai didengar tetangga. Kamu jangan bersikap kekanak-kanakan. Kita ini sudah tua. Kalau ada masalah itu dibicarakan dengan cara baik-baik, bukan seperti ABG labil kaya gini. Aku juga nggak suka cara kamu tadi di kantor. Nggak beretika dan berprikemanusiaan. Memalukan!""Kenapa musti malu? Memangnya kamu masih punya rasa malu, Mas? Bahkan sekarang para guru di sekolah Qila tahu apa yang sudah kamu lakukan dengan Devi!""Tidak mungkin, Ambar. Tidak mungkin pihak sekolah sampai tahu tentang perselingkuhan aku sama Devi. Pasti kamu yang memberitahunya ya?""Mereka memergoki Qila sedang menonton video menjijikkan kamu dan memanggilku ke sekolah. Kamu begitu ceroboh sampai-sampai video seperti itu dilihat sama anak kita. Memang ada sisi baiknya, sih, karena dari video itu aku bisa tahu hubungan kamu dan Devi!"Mas Haris melungguh lemas di kursi teras. Ia lalu mengusap wajah gusar, sebelum akhirnya masuk ke dalam dan melihat keadaan Syaqila putri kami."Qila, coba kamu katakan, dari mana kamu mendapatkan video itu?!" Dengan suara menggelegar Mas Haris bertanya, membuat wajah Syaqila langsung ketakutan dan berlari ke arahku."Bilang sama Papa, dari mana kamu mendapatkan video itu?!" ulangnya sekali lagi, sambil berusaha menarik tangan Syaqila yang tengah mendekap erat tubuh ini."Sudah, Mas! Kamu nggak usah teriak-teriak. Kamu sudah ketahuan salah bukannya introspeksi diri, malah menyalahkan anak kecil yang tidak tahu apa-apa!" belaku tidak terima melihat Syaqila diperlukan seperti itu."Ini pasti ajaran kamu, Ambar. Kamu yang mengajari anak-anak untuk mengambil barang-barang milik papanya tanpa izin. Dasar ibu tidak becus!""Apa, Mas? Kamu menyalahkan aku karena kasus ini? Dasar playing victim. Kamu yang berbuat salah, tetapi malah menyalahkan orang lain. Lagian, Mas. Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti tercium juga baunya!""Kamu memang salah. Kamu nggak becus jadi istri juga seorang ibu. Kamu membosankan, cerewet, banyak ngatur dan sudah tidak menarik lagi. Wajar jika aku berpaling dan mencari perempuan lain!" bentak Mas Haris."Aku memang cerewet dan membosankan. Tetapi apa kamu lupa, dengan perempuan tidak becus inilah kamu pernah berjuang dari nol, hingga akhirnya sukses seperti sekarang ini!""Aku berjuang sendiri, Ambar. Aku yang kerja banting tulang, sementara kamu hanya di rumah!""Aku memang berada di rumah. Tetapi aku yang selalu mendoakan kamu. Bahkan modal usaha kamu dari hasil menjual perhiasan peninggalan almarhumah ibu aku. Apa kamu tidak ingat itu, Mas?""Kamu hitung saja berapa harga perhiasan kamu, biar aku ganti sepuluh kali lipat!""Dasar laki-laki tidak tahu diri! Lupa daratan kamu, Mas. Apa kamu tidak takut kalau sampai Tuhan mengambil semua yang Dia titipkan?""Kamu menyumpahiku?!""Stop!! Diam!!" Kami menoleh secara serempak mendengar suara berat Azriel dari ambang pintu.Pria berusia tujuh belas tahun itu mengepal tangan di samping tubuh, menghampiri sang ayah lalu melayangkan tinju di rahang Mas Haris."Sudah cukup aku sabar menghadapi sikap Papa. Selama ini aku diam bukan karena takut sama Papa, tetapi masih menghargai perasaan Mama dan takut menyakiti hati Mama kalau sampai Mama tahu papa sudah selingkuh sama Tante Devi. Tetapi kali ini aku tidak akan tinggal diam. Aku sudah besar dan sudah sepantasnya melindungi Mama dari orang seperti Papa!" sungut Azriel sambil menunjuk wajah Mas Haris dengan sorot amarah yang kian menyala-nyala."Jangan ikut campur kamu, Bocah bau kencur!" balas Mas Haris tidak kalah sengitnya."Asal Mama tahu, sebenarnya Papa sudah lama berhubungan dengan Tante Devi dan sering menghabiskan waktu bersama. Selama ini aku tahu tetapi selalu diam karena Papa selalu mengancam akan berhenti membiayai sekolah aku dan Qila, juga mengancam akan memisahkan kami dengan Mama!"Aku menatap tidak percaya ke arah laki-laki yang menyandang gelar suami, syok mendengar pengakuan anakku.Sekejam itu kah suamiku terhadap buah hatinya? Rela mengorbankan masa depan serta perasaannya hanya demi menutupi kebusukannya.Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia bisa berbuat seculas itu terhadap anak-anak yang notabene adalah darah dagingnya sendiri.Mengambil gawai, Haris segera menghubungi ibu mertua Roy, memberitahu kabar kematian menantunya serta meminta wanita itu mengabari para tetangga di kompleks tempat tinggal Roy supaya ketika jenazah pria berusia tiga puluh enam tahun itu tiba semua sudah disiapkan. “Itu sudah bukan urusan saya. Roy mau maninggal, mau ke mana, saya sudah tidak ada lagi urusan dengan dia. Kemarin saja waktu sehat dia nggak ingat sama saya, sekarang udah nggak ada malah saya yang suruh repot. Enggak! Enggak! Saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya Roy!” Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Haris menyentak napas kasar lalu mau tidak mau menghubungi Azriel untuk mengabari ketua Rukun Tetangga di kompleks tempat tinggal Roy bahwa salah satu warganya telah tiada. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam ambulans, Ambar masuk ke dalam kamar Jasmine, menerbitkan senyuman kepada gadis itu lalu duduk di sebelahnya. “S
“Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” pamit dokter seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.Haris menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia kemudian beranjak dari kursi panjang, menatap sahabatnya yang tengah terbaring di atas ranjang dengan kabel elektroda menempel di dada serta ventilator di hidungnya. Suara monitor detak jantung bagai alunan lagu kematian membuat Haris merasa takut kehilangan sahabatnya, terlebih lagi akhir-akhir ini ada rasa benci bertengger di hati karena Roy memiliki perasaan spesial terhadap mantan istrinya.“Kamu harus kuat, Roy. Demi Jasmine juga Ambar,” gumamnya dalam hati, kedua bulat bening pria itu tidak lepas dari wajah Roy, terus merapalkan doa meminta kepada Sang Maha Pencipta agar lekas mengangkat penyakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya juga memberikan dia kekuatan untuk tetap bertahan.Setelah itu Haris pergi ke kamar Ambar, ingin melihat keadaan mantan istrinya dan t
Roy menggelengkan kepala sambil menghela napas, merasa tidak enak hati kepada wanita yang masih teramat dia cinta itu.“Maafin sikap anak aku ya, Ambar. Dia masih labil jadi gampang marah ketika apa yang diinginkannya tidak bisa didapatkan,” ucap Roy, merasa tidak enak hati kepada ibunda Azriel.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Aku juga minta maaf karena sudah menolak pinangan kamu. Tolong bilang ke Jasmine kalau aku sangat sayang sama dia dan akan tetap menjadi mamanya dia walaupun kita tidak bisa bersama.”“Nggak usah bahas masalah itu lagi. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Kalau kita berjodoh, apa pun yang terjadi pasti Allah akan mempersatukan kita.” Bibir plum Roy melekuk senyum menutupi luka yang menganga di dada. “Yasudah aku permisi mau pulang dulu. Sudah sore soalnya,” pamit Ambar.“Kamu pulang sama siapa?”“Anak-anak.”“Loh, bukannya kalian ke sini naik motor? Mau bonc
“Baik nanti saya sampaikan sama Azriel kalau dia sudah sampai di pesantren. Soalnya sekarang dia sedang kuliah.” Gus Fauzan menjawab dengan suara serak, merasa sedikit cemburu karena orang yang dia kagumi akhirnya akan segera melabuhkan cintanya kepada Roy.Berkali-kali dia beristigfar dalam hati, memohon agar Tuhan segera mencabut rasa yang tertinggal agar tidak ada lagi dosa yang ia dapatkan karena terus menerus memikirkan wanita yang tidak halal baginya.Setelah mendengar kabar kalau ibunya dilamar oleh teman ayahnya, Azriel tidak langsung menghubungi sang bunda dan menyetujui lamaran tersebut. Dia terus berpikir apakah nanti ibunya akan bahagia jika kembali membina biduk rumah tangga, ataukah akan kembali menelan pil kecewa karena dikhianati oleh pasangannya. Jujur untuk saat ini sang pemilik rahang tegas lebih merasa nyaman melihat ibunya hidup sendiri dan hanya fokus kepada anak-anaknya tanpa kembali memiliki pendamping hidup.
"Karena hanya kamu yang mampu menyematkan cinta di dalam dada setelah sekian lama aku menduda.""Dih, sok puitis!"Roy terkekeh. Binar bahagia terpancar jelas di wajah penuh kharisma laki-laki itu, apalagi ketika melihat ekspresi Ambar yang tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka datang ke tempat tersebut. Keceriaan kembali diperlihatkan oleh ibunda Azriel serta Syaqila, mimik wajah yang selalu membuat Roy merasakan rindu jika beberapa saat tidak bertemu.Tidak lama kemudian pelayan kedai datang membawa empat mangkuk bakso, mempersilakan mereka untuk menikmati dan baik Ambar maupun anak-anak segera menyantap makanan yang terbuat dari daging giling berbentuk bulat tersebut tanpa lagi berbicara.Selesai makan-makan, seperti janjinya Roy mengajak anak-anak untuk ke mal juga menonton, membuat Jasmine serta Syaqila bersorak kegirangan saking senangnya.Roy membayangkan kalau saat ini mereka sudah benar-benar
Hari Minggu, dengan alasan Jasmine ingin bertemu Roy mendatangi kediaman Ambar, menemui perempuan yang akhir-akhir ini membuat dia tidak bisa memejamkan mata, ingin melepas rindu yang terus saja membelenggu kalbu.Roy sangat ingin sekali segera mempersunting Ambar setelah tahu Gus Fauzan mundur dari pertempuran, menjadikan ibu dua anak itu sebagai kekasih halalnya juga ibu sambung Jasmine yang memang selama ini terus saja mendamba dia menjadi ibunya.Namun, lagi dan lagi nyalinya menciut ketika bersitatap dengan Ambar, terlebih lagi jika diperhatikan perempuan dengan wajah keibuan itu seperti mulai menghindar."Ambar, kita ajak jalan anak-anak lagi, yuk! Makan bakso atau apa kek? Kaya tempo hari. Iya nggak anak-anak?" ajak Roy seraya menoleh ke arah Jasmine juga Syaqila yang terlihat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka."Iya, Ma. Aku juga bosen di rumah terus," rengek putri sulungnya, memasang wajah manja seolah mendukung kedekatan Roy dengan Ambar."Tapi Mama masak, Dek.