Esok harinya, Ambar beserta keluarga mendatangi rumah sakit untuk menjenguk Haris, memenuhi permintaan mantan suaminya yang sekarang sedang terbaring tidak berdaya karena sakit yang dia derita."Ma, Qila nunggu di sini saja ya? Mama sama Uti dan Abang saja yang masuk. Qila nggak mau." Tiba-tiba langkah putri bungsunya berderap kaku ketika sudah berada di lobi rumah sakit. Gurat ketakutan terpancar jelas di wajah cantiknya, akan tetapi berusaha dia sembunyikan di hadapan ibu serta sang nenek."Qila, Sayang. Papa itu kepengen ketemu sama kamu dan abang. Bukan sama Mama. Ayo, Nak. Kita masuk," bujuk Ambar sembari mengusap lembut kepala anak perempuannya yang dibalut hijab dengan warna senada seperti yang sedang dia kenakan."Tapi, Ma?""Nggak usah takut, Nak. Papa sudah berubah. Dia sudah kembali seperti papa yang dulu. Memangnya Qila nggak kangen sama papa? Nggak pengen peluk papa?" Gadis berusia sebelas tahun itu menggigit bibir bawahnya.
Azriel segera berlari ke luar, memanggil dokter karena melihat keadaan sang ayah semakin memburuk.Sementara ibu hanya bisa menangis sambil berdoa supaya putranya baik-baik saja, begitu juga dengan Ambar dan Syaqila.Tidak lama kemudian petugas medis datang dan segera memeriksa keadaan Haris. Dan dilihat dari wajah pria beralmamater putih yang sedang memeriksa keadaan pasien menunjukkan kalau saat ini Haris dalam keadaan tidak baik-baik saja."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya Ibu dengan mimik wajah panik."Sepertinya Bapak terlalu kelelahan sehingga keadaannya semakin memburuk. Secepatnya kami akan melakukan tindakan pemasangan ring jantung, untuk melebarkan pembuluh darah koroner yang telah menyempit ataupun tersumbat pada bagian jantung, membuka sumbatan pada aliran darah, sehingga aliran darah tidak lagi terhambat," jawab dokter seraya terus memeriksa keadaan pasiennya."Lakukan apa saja yang terbaik menurut dokter. Saya mau anak saya selamat. Saya belum siap kehilangan
Selepas magrib keluarga Gus Fauzan juga datang membesuk Haris, akan tetapi sang pemuka agama itu tidak mengabari kalau dia telah meminang mantan istrinya. Takut Haris masih belum siap mendengar kabar tersebut, terlebih lagi keadaan ayah dari Azriel serta Syaqila itu belum sepenuhnya sehat. Masih dalam tahap penyembuhan serta pemulihan. Mereka hanya bercengkerama yang ringan-ringan saja, membicarakan masalah Azriel juga perkembangannya di pesantren tanpa menyinggung hal-hal yang menjurus kepada Ambar karena itu terlalu sensitif. Takut Haris syok dan mengganggu kesehatannya.***Esok harinya dokter sudah mengizinkan Haris pulang ke rumah, dan kembali kontrol seminggu yang akan datang, juga mewanti-wanti agar Haris tidak bekerja terlalu berat, tidak boleh stress dan menjaga pola makan juga menghindari rokok.Haris mengangguk mengiyakan karena sekarang ini kembali mendapatkan semangat hidup, berkeinginan mendampingi anak-anaknya kala wisuda dan melih
Pagi-pagi sekali, seperti biasanya Roy bangun sebelum sang muazin mengumandangkan sholawat tarhim, membersihkan badan dan bersiap untuk pergi ke mushalla.Terkadang dia membayangkan ketika membuka mata, ada Ambar tengah berbaring di sebelahnya, menerbitkan senyuman sebagai ucapan selamat pagi kepadanya."Astaghfirullahaladzim...." Sang pemilik hidung mancung mengusap wajah, mengambil napas dalam-dalam lalu menggelengkan kepala menepis semua bayangan indah tentang Ambar yang selalu berkelebat dalam angan. Diambilnya sajadah yang tergeletak di atas kursi, menyampirkannya di pundak kemudian gagas mengayunkan kaki menuju surau sambil bershalawat."Assalamualaikum, Mas Roy. Tadi saya mendapat mandat dari pak ustadz, katanya beliau sedang ke luar kota dan meminta Mas Roy yang menggantikan beliau memimpin shalat subuh dan mengisi tausiyah pagi ini!" kata marbot masjid seraya menghampiri Roy yang baru saja tiba di mushalla."Baik, yasudah. Seben
"Kamu datang ke sini disuruh siapa, Nduk?" tanya Gus Fauzan kemudian. Tatapannya tidak lepas dari wajah polos Jasmine yang terus saja menunduk tanpa berani membalas tatapan lawan bicaranya.Dalam hati, gadis berusia sebelas tahun itu merasa takut kalau Gus Fauzan marah, mengusirnya lalu mengadukannya kepada Roy dan dia akan mendapatkan masalah dengan sang ayah karena telah lancang menemui orang yang dia anggap sebagai saingan ayahandanya."Aku datang ke sini bukan karena disuruh siapa-siapa, Abi. Aku ke sini karena ingin menemui Abi. Aku nggak mau liat ayah terus-terusan murung di rumah. Ayah itu mencintai Mama Ambar dan semenjak dekat dengan Mama Ambar, ayah terlihat lebih bersemangat. Sekarang semangatnya hilang karena Mama Ambar mau menikah sama Abi," jawab Jasmine apa adanya."Yasudah, sekarang sebaiknya Jasmine pulang saja. Abi telepon ayah ya, biar Jasmine dijemput.""Jangan, Abi. Nanti ayah aku marah."Bibir plum milik Gus Fauzan m
Perempuan berusia tiga puluh tujuh tahun itu menoleh kemudian mengusap lembut rambut sang putri, menatap lamat-lamat wajahnya yang cantik penuh dengan kekaguman juga."Tentu saja Mama bangga sama dedek. Dedek juga kan di sekolah selalu juara. Dedek selalu membantu Mama, dedek juga selalu ada di saat Mama sedih serta bahagia. Mama itu begitu sayang sama dedek dan Abang, karena kalian adalah harta paling berharga milik Mama," ungkapnya kemudian, dan dibalas pelukan oleh putri bungsunya."Nanti kalau sudah lulus SD aku mau ikut mondok juga di tempat abang. Biar bisa hafal Alquran juga, boleh kan, Mam?" Syaqila mendongak menatap wajah ibunya."Tentu saja boleh, Sayang."Ambar mempererat dekapan, membayangkan betapa sunyi hidupnya nanti jika ditinggal oleh kedua buah hatinya menimba ilmu di kota kelahirannya. Namun, sebagai orang tua juga dia harus rela, sebab anak-anaknya pergi untuk mencari ilmu, sebagai bekal di dunia serta akhiratnya nant
"Assalamualaikum, selamat pagi, Mam?" sapa Azriel ketika melihatku keluar dari kamar seraya mengikat rambut."Waalaikumussalam, selamat pagi juga solehnya Mama. Abang lagi ngapain?" tanyaku sambil berjalan menghampiri si sulung, berdiri di sebelah laki-laki berusia delapan belas tahun itu yang terlihat sedang sibuk membuat sarapan. "Abang mau bikin nasi goreng spesial buat Mama. Semoga saja rasanya cocok di lidah Mama.""Dari baunya sih harum banget, Bang. Pasti rasanya juga enak.""Tapi nggak bakalan bisa mengalahkan sedapnya masakan Mama.""Bisa saja si Abang!" Mengacak rambut Azriel."Serius, menurut Abang, masakan Mama itu paling enak di seantero jagat raya.""Nanti juga kalau Abang sudah dewasa, sudah memiliki pasangan, pasti masakan yang paling enak menurut Abang itu masakan istrinya Abang. Bukan masakan Mama lagi.""Mama tetap nomer satu di hati Abang walaupun nanti Abang sudah memiliki pasangan."
"Apa kabar, Ambar. Kok sudah beberapa hari ini nggak ada yang mampir ke rumah?" tanyanya membuat diri ini tersadar dari lamunan."Alhamdulillah, seperti yang Mas Haris lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Bagaimana dengan keadaan Mas? Sudah enakan sekarang?" tanyaku balik."Alhamdulillah dada aku sudah tidak sesak lagi. Tinggal nunggu pemulihan saja. Semua berkat doa-doa serta dukungan kalian semua."Tidak lama kemudian ibu datang membawa empat cangkir teh hangat juga se-toples bagelen dari Bandung. Dia duduk di sebelah Azriel, menyuruh cucu pertamanya untuk mencicipi makanan yang dia hidangkan sampai lupa menawari aku seperti biasanya jika sudah bertemu dengan sang cucu.***"Ambar, bagaimana kelanjutan hubungan kamu dengan Roy?" Aku tersentak kaget saat tiba-tiba Mas Haris menanyakan hubunganku dengan Mas Roy, karena selama ini antara aku dan ayahnya Jasmine tidak pernah memiliki hubungan spesial. Hanya dulu pernah b