Selepas magrib keluarga Gus Fauzan juga datang membesuk Haris, akan tetapi sang pemuka agama itu tidak mengabari kalau dia telah meminang mantan istrinya. Takut Haris masih belum siap mendengar kabar tersebut, terlebih lagi keadaan ayah dari Azriel serta Syaqila itu belum sepenuhnya sehat. Masih dalam tahap penyembuhan serta pemulihan.
Mereka hanya bercengkerama yang ringan-ringan saja, membicarakan masalah Azriel juga perkembangannya di pesantren tanpa menyinggung hal-hal yang menjurus kepada Ambar karena itu terlalu sensitif. Takut Haris syok dan mengganggu kesehatannya.***Esok harinya dokter sudah mengizinkan Haris pulang ke rumah, dan kembali kontrol seminggu yang akan datang, juga mewanti-wanti agar Haris tidak bekerja terlalu berat, tidak boleh stress dan menjaga pola makan juga menghindari rokok.Haris mengangguk mengiyakan karena sekarang ini kembali mendapatkan semangat hidup, berkeinginan mendampingi anak-anaknya kala wisuda dan melihPagi-pagi sekali, seperti biasanya Roy bangun sebelum sang muazin mengumandangkan sholawat tarhim, membersihkan badan dan bersiap untuk pergi ke mushalla.Terkadang dia membayangkan ketika membuka mata, ada Ambar tengah berbaring di sebelahnya, menerbitkan senyuman sebagai ucapan selamat pagi kepadanya."Astaghfirullahaladzim...." Sang pemilik hidung mancung mengusap wajah, mengambil napas dalam-dalam lalu menggelengkan kepala menepis semua bayangan indah tentang Ambar yang selalu berkelebat dalam angan. Diambilnya sajadah yang tergeletak di atas kursi, menyampirkannya di pundak kemudian gagas mengayunkan kaki menuju surau sambil bershalawat."Assalamualaikum, Mas Roy. Tadi saya mendapat mandat dari pak ustadz, katanya beliau sedang ke luar kota dan meminta Mas Roy yang menggantikan beliau memimpin shalat subuh dan mengisi tausiyah pagi ini!" kata marbot masjid seraya menghampiri Roy yang baru saja tiba di mushalla."Baik, yasudah. Seben
"Kamu datang ke sini disuruh siapa, Nduk?" tanya Gus Fauzan kemudian. Tatapannya tidak lepas dari wajah polos Jasmine yang terus saja menunduk tanpa berani membalas tatapan lawan bicaranya.Dalam hati, gadis berusia sebelas tahun itu merasa takut kalau Gus Fauzan marah, mengusirnya lalu mengadukannya kepada Roy dan dia akan mendapatkan masalah dengan sang ayah karena telah lancang menemui orang yang dia anggap sebagai saingan ayahandanya."Aku datang ke sini bukan karena disuruh siapa-siapa, Abi. Aku ke sini karena ingin menemui Abi. Aku nggak mau liat ayah terus-terusan murung di rumah. Ayah itu mencintai Mama Ambar dan semenjak dekat dengan Mama Ambar, ayah terlihat lebih bersemangat. Sekarang semangatnya hilang karena Mama Ambar mau menikah sama Abi," jawab Jasmine apa adanya."Yasudah, sekarang sebaiknya Jasmine pulang saja. Abi telepon ayah ya, biar Jasmine dijemput.""Jangan, Abi. Nanti ayah aku marah."Bibir plum milik Gus Fauzan m
Perempuan berusia tiga puluh tujuh tahun itu menoleh kemudian mengusap lembut rambut sang putri, menatap lamat-lamat wajahnya yang cantik penuh dengan kekaguman juga."Tentu saja Mama bangga sama dedek. Dedek juga kan di sekolah selalu juara. Dedek selalu membantu Mama, dedek juga selalu ada di saat Mama sedih serta bahagia. Mama itu begitu sayang sama dedek dan Abang, karena kalian adalah harta paling berharga milik Mama," ungkapnya kemudian, dan dibalas pelukan oleh putri bungsunya."Nanti kalau sudah lulus SD aku mau ikut mondok juga di tempat abang. Biar bisa hafal Alquran juga, boleh kan, Mam?" Syaqila mendongak menatap wajah ibunya."Tentu saja boleh, Sayang."Ambar mempererat dekapan, membayangkan betapa sunyi hidupnya nanti jika ditinggal oleh kedua buah hatinya menimba ilmu di kota kelahirannya. Namun, sebagai orang tua juga dia harus rela, sebab anak-anaknya pergi untuk mencari ilmu, sebagai bekal di dunia serta akhiratnya nant
"Assalamualaikum, selamat pagi, Mam?" sapa Azriel ketika melihatku keluar dari kamar seraya mengikat rambut."Waalaikumussalam, selamat pagi juga solehnya Mama. Abang lagi ngapain?" tanyaku sambil berjalan menghampiri si sulung, berdiri di sebelah laki-laki berusia delapan belas tahun itu yang terlihat sedang sibuk membuat sarapan. "Abang mau bikin nasi goreng spesial buat Mama. Semoga saja rasanya cocok di lidah Mama.""Dari baunya sih harum banget, Bang. Pasti rasanya juga enak.""Tapi nggak bakalan bisa mengalahkan sedapnya masakan Mama.""Bisa saja si Abang!" Mengacak rambut Azriel."Serius, menurut Abang, masakan Mama itu paling enak di seantero jagat raya.""Nanti juga kalau Abang sudah dewasa, sudah memiliki pasangan, pasti masakan yang paling enak menurut Abang itu masakan istrinya Abang. Bukan masakan Mama lagi.""Mama tetap nomer satu di hati Abang walaupun nanti Abang sudah memiliki pasangan."
"Apa kabar, Ambar. Kok sudah beberapa hari ini nggak ada yang mampir ke rumah?" tanyanya membuat diri ini tersadar dari lamunan."Alhamdulillah, seperti yang Mas Haris lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Bagaimana dengan keadaan Mas? Sudah enakan sekarang?" tanyaku balik."Alhamdulillah dada aku sudah tidak sesak lagi. Tinggal nunggu pemulihan saja. Semua berkat doa-doa serta dukungan kalian semua."Tidak lama kemudian ibu datang membawa empat cangkir teh hangat juga se-toples bagelen dari Bandung. Dia duduk di sebelah Azriel, menyuruh cucu pertamanya untuk mencicipi makanan yang dia hidangkan sampai lupa menawari aku seperti biasanya jika sudah bertemu dengan sang cucu.***"Ambar, bagaimana kelanjutan hubungan kamu dengan Roy?" Aku tersentak kaget saat tiba-tiba Mas Haris menanyakan hubunganku dengan Mas Roy, karena selama ini antara aku dan ayahnya Jasmine tidak pernah memiliki hubungan spesial. Hanya dulu pernah b
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terimpit batu besar, lalu membuangnya secara perlahan menatap penuh bimbang mantan suami yang tengah menangis sendirian.Urusan dengan Gus Fauzan belum selesai, sekarang malah ditambah Mas Haris yang masih berharap bisa rujuk dan mengurus anak bersama-sama lagi seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku tidak mau menyakiti hati seorang pun, karena aku juga pernah merasakan seperti apa rasanya terluka.Jika menolak pinangan Gus Fauzan dan kembali kepada Mas Haris sudah pasti akan ada satu hati yang tersakiti. Pun dengan sebaliknya.Ya Allah ... Sungguh dilema semakin melanda hati ini. Semoga apa pun keputusan yang aku ambil nanti menjadi jalan yang terbaik untuk semuanya.Memutar badan perlahan, mengambil tas yang sejak tadi tergeletak di atas kursi kemudian menghubungi Azriel melalui sambungan telepon."Ada apa, Mam? Aku ada di dapur
POV Author.Gus Fauzan menatap pintu rumah Ambar yang sudah tertutup, mengusap wajah gusar seiring rasa sesak yang mengimpit dada.Sebenarnya dia ingin sekali menikahi ibu beranak dua itu, akan tetapi ada perasaan tidak tega melihat Jasmine memohon sambil menangis di hadapannya. Dan sekarang, ketika dia memutuskan untuk membatalkan khitbah, justru ia malah menyakiti hati orang yang ia kagumi, sebab Ambar merasa dipermainkan olehnya."Apa keputusan Abi sudah mantap?" tanya Salman saat melihat sang mertua terus saja melamun dengan wajah memerah seperti menahan tangis."Insyaallah ini yang terbaik untuk kami semua, Man. Abi tidak mau menyakiti hati Jasmine. Dia begitu mendambakan figur seorang ibu seperti dek Ambar." Gus Fauzan menjawab dengan suara serak."Tapi apa Abi tidak memikirkan perasaan Abi sendiri, juga perasaan Mbak Ambar?"Terdengar helaan napas berat. Gus Fauzan kembali mengusap wajah, mencoba menepis bayang wajah Ambar meskipun senyuman wanita itu terus saja menari dalam ba
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Ambar sudah berjibaku dengan pekerjaannya di dapur menyiapkan sarapan untuk dia juga anaknya. Mata dengan iris coklat itu mengembun ketika menatap kursi tempat biasa Azriel duduk dan sekarang dalam keadaan kosong. Rasa rindu seketika menelusup ke dalam kalbu, membuat dia ingin segera kembali bertemu dengan si sulung walau belum dua puluh empat jam mereka berpisah.Bel rumah terdengar berbunyi nyaring. Syaqila yang sedang membantu ibunya segera mengayunkan kaki menuju ke halaman, dan senyum gadis berusia sebelas tahun tersebut terkembang lebar kala melihat Jasmine datang bertamu ke rumahnya."Mama Ambarnya ada?" tanya Jasmine sambil melongok ke belakang teman sekolahnya, mencari keberadaan wanita yang sudah membuat dia merasa nyaman bahkan terus berharap kalau Ambar bisa menjadi ibu sambungnya."Lagi masak di dapur, ayo masuk, kamu sama siapa?""Sendiri.""Kok nggak sama Om Roy?""Ayah lagi ke luar