Maura pun menguatkan batinnya yang mulai goyah, untuk tetap tegak dan terus melangkah.
Ia sangat membutuhkan uang itu untuk lepas dari keluarganya yang toxic. Ia butuh uang yang sangat banyak untuk bisa menata kehidupan baru di luar negeri, jauh dari ayahnya yang ringan tangan dan orang-orang sekelilingnya yang hanya ingin merusaknya.. Gadis bersurai panjang itu pun mengepalkan kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya dengan kuat. Ya, itulah tujuan awalnya mendaftarkan diri di situs gelap perdagangan wanita yang tanpa sengaja ia temui di internet. Virginity For Sale, itu namanya. Sebuah agensi gelap yang menjual gadis-gadis yang masih perawan dengan harga tinggi, kepada pria-pria kaya hidung belang yang ingin merasakan tubuh murni belum pernah tersentuh. "Sebaiknya Anda segera naik ke lantai atas, Miss Maura. Tuan adalah pria yang sangat tidak suka menunggu," tegur Alberto, yang melihat Maura sejak tadi hanya berdiam diri mematung di tempatnya berdiri. "Oh iya. Maaf," guman Maura singkat. Baru saja ia hendak melangkahkan kakinya menuju tangga, namun tiba-tiba gadis itu kembali berhenti dan menoleh ke arah Alberto. "Apakah namanya Raven? Bisakah setidaknya aku mengetahui nama lengkapnya?" Tanya Maura memastikan. Entah kenapa, jantungnya semakin berdebar tak terkendali. Meski tidak ada korelasinya, namun mungkin saja dengan lebih dulu mengetahui nama pria yang membelinya, Maura pun bisa merasa lebih tenang. "Anda akan mengetahuinya sendiri tak lama lagi, Miss Maura," sahut Alberto dengan mengurai senyum yang seolah tak ada habisnya. Dan Maura pun harus mengakui, bahwa senyum pria paruh baya dan perkataannya itu adalah satu-satunya yang membuat benaknya sedikit merasa lebih tenang. Entah seperti apa pria milyarder yang bernama Raven ini. Maura bahkan tidak akan memperdulikan jika dia adalah pria tua renta hidung belang yang bersikap menjijikkan sekali pun, tapi ia sungguh cemas jika kelak malah diperlakukan dengan kasar. 'Kuatkan hatimu, Maura! Bertahanlah demi meraih kebebasan yang kamu inginkan!' Maura pun menghela napas singkat dan pelan, sesaat sebelum kembali melangkah menaiki tangga lebar yang meliuk ke lantai atas. Ujung heelsnya serta-merta terbenam di dalam kelembutan karpet tebal yang tampak mahal. Untuk setiap anak tangga yang ia naiki, debaran di jantung Maura pun semakin menggila. Telapak tangannya basah karena keringat. Dingin yang serta merta menyergap membuat napasnya sedikit terengah dan kepalanya sedikit pusing. 'Tidak. Jangan pingsan dulu, Maura!' Lagi-lagi akal sehatnya memarahi dirinya yang malah menjadi lemah, di saat apa yang akan ia capai sudah di depan mata. Sesampainya di puncak tangga, Maura pun melayangkan tatapannya ke sekitar lantai dua. Ternyata ada begitu banyak pintu yang terletak di sepanjang lorong di sini. Tunggu. Ruangan mana yang harus ia masuki?? Apa ia harus membuka semua pintu itu satu persatu?? Aah, sekarang Maura menyesal kenapa tadi ia tidal bertanya dengan jelas kepada Alberto! Oke, tampaknya Maura memilih untuk memeriksa setiap ruangan itu satu persatu. Lagipula, paling-paling hanya ada sepuluh ruangan di sini. Gadis bersurai panjang itu pun memilih ruangan yang berada agak jauh dari tangga, dengan alasan bentuk pintunya yang paling berbeda. Mungkin... pria yang telah membeli dirinya ada di dalam sana. Maura pun mencengkram bagian handle pintu ganda itu dengan kedua tangannya, lalu mendorongnya dengan perlahan. 'Hei, jadi ternyata ini bukan kamar tidur??' Gadis itu benar-benar tidak menyangka, jika apa yang ada di dalam ruangan itu sungguh di luar ekspektasinya. Ada dua rak buku besar yang berjejer rapi dengan deretan buku-buku tebal di dalamnya. Juga ada meja segi empat yang tampak seperti meja kerja, dengan sebuah laptop yang menyala dan terbuka sedang berada di atasnya. Tapi kursi kerja dengan sandaran yang tinggi di belakang meja itu tampaknya berada di posisi yang berbeda. Seperti sengaja di putar agar menghadap ke jendela kaca lebar di belakangnya. Maura bisa melihat sebuah tangan maskulin pria yang sedang berada di bagian lengan kursinya, namun ia tak bisa melihat apa pun lagi karena terhalang kursi. Sepertinya, orang itu sedang memandangi landscape pantai dan lautan lepas yang terlukis indah di balik jendela itu. Maura pun mendehem pelan dipenuhi rasa gugup. "Permisi, nama saya Maura dari agensi Virginity For Sale..." Ia melihat sandaran tinggi kursi itu sedikit bergerak, sebelum kemudian orang itu tiba-tiba saja berdiri namun dengan posisi yang masih membelakangi Maura. Dari belakang, Maura bisa melihat tubuh yang sangat tinggi dan maskulin, mengenakan celana jeans dan kemeja flanel santai. Oh, ternyata pembelinya adalah pria yang lebih muda dari perkiraan Maura sebelumnya! Namun manik gelap gadis itu pun segera mengerjap dengan kaget, ketika sosok maskulin itu membalikkan badannya untuk menghadap dirinya. "Halo, Moora." Sang pria pun berucap dengan suaranya yang berat, namun ia sedikit salah melafalkan nama Maura, entah sengaja entah tidak. Satu hal yang pasti, rasanya Maura kali ini akan benar-benar ingin pingsan melihat seraut wajah tampan dengan sorot abu-abu dinginnya itu yang serasa mampu membekukan hingga ke tulang. Ya Tuhan. Maura mengenalnya! Jadi... sang pembeli keperawanannya adalah dia??! Si penulis novel thriller-suspens yang sangat terkenal hingga namanya telah mendunia?? "RAVEN KING?!" Bisik Maura dengan manik yang membelalak lebar dan napas yang tercekat. ***Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m
Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas
Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena
"Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka
Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m
Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers