Kaki jenjang berkulit keemasan itu tampak rapuh dan gemetar, ketika sedang berdiri di hadapan sebuah bangunan megah bertingkat dua.
Ia tahu jika sudah seharusnya sekarang bergegas memasuki Mansion mewah di depannya itu, namun entah kenapa serangan gugup dan panik mendadak melanda dirinya. "Miss Maura?" Gadis itu pun sontak terkejut dan menoleh, ketika sebuah suara pria menyapa dirinya yang tengah melamun. Sosok pria paruh baya berbusana formal serba hitam tersenyum kepada dirinya, namun gadis itu masih diam tak membalas senyumnya. "Perkenalkan nama saya Alberto. Mari ikut dengan saya untuk masuk ke dalam, karena kehadiran Anda telah sangat ditunggu," ucap pria paruh baya yang masih tetap murah senyum meski Maura tak bergeming. Tak lagi bisa mengelak, gadis bergaun merah selutut itu pun mau tak mau mengikuti langkah Alberto yang berjalan di depannya, menuntun dirinya memasuki Mansion bercat putih yang terlalu mewah untuk menjadi nyata. Lagi pula, bagaimana ia bisa mengelak? Maura tak kan bisa lagi berubah pikiran atau pun kabur, karena... "Apa nama pulau ini?" Tanya Maura kepada Alberto, saat mereka masih berjalan masuk dari pagar raksasa yang dijaga oleh empat orang, menuju ke bangunan yang ternyata posisinya lumayan jauh. Alberto tersenyum mendengar nada ingin tahu Maura. "Little Olive," sahut pria itu, yang dibalas dengan anggukan Maura. "Little Olive tidak memiliki bangunan lain selain Mansion ini, Miss Maura. Dan akses keluar masuk pulau ini hanyalah melewati laut dan udara," ungkapnya lagi menambahkan. Maura pun seketika meringis mendengarnya. Itulah tepatnya kenapa ia tak bisa mengurungkan niat lagi atau melarikan diri, karena hanya ada laut dengan ombaknya yang sekarang mengelilinginya. Maura dibawa ke Pulau ini dengan helikopter, yang bahkan langsung pergi lagi segera setelah mengantarkannya ke Pulau sepi yang sangat misterius ini. Ah, dan sekarang tubuhnya semakin terasa menggigil, seiring dengan dirinya yang kini telah memasuki bagian teras yang luar biasa luas dari Mansion ini. Alberto mendorong sebuah pintu ganda raksasa dengan kedua tangannya, lalu berdiri di sisi salah satu daun pintu itu dan menatap Maura yang tampak goyah. "Silahkan masuk, Miss," tegurnya lagi. "Semuanya akan baik-baik saja, jangan cemas." Maura pun menelan ludahnya yang terasa berat. Ia tahu jika Alberto hanya berbasa-basi saja, atau mungkin hanya ingin membuatnya tenang dan tidak bertingkah hingga menyebabkan masalah. Tapi suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, Maura tidak punya pilihan lain kecuali melangkahkan kakinya yang gemetar memasuki Mansion besar yang berdiri kokoh, bagai seorang Raja yang angkuh dan berkuasa itu. Kakinya yang mengenakan heels menapak di atas lantai granit putih berpola marble halus. Manik gelap gadis itu pun melebar dengan maksimal, ketika visual penuh kemewahan menyambutnya di dalam. Tatapannya mengagumi dua buah guci besar di samping pintu ganda yang lebih tinggi dari tubuhnya, yang tampak berkilau layaknya emas. Atau jangan-jangan... itu memang emas?? Tak mengherankan juga sebenarnya, mengingat penampakan dari luar Mansion yang menggambarkan bagaimana kemegahan yang tak terbantahkan. Tiba-tiba terdengar langkah kaki elegan yang sedang menuruni tangga besar yang menghubungkan ke lantai dua, dengan ukuran yang lebarnya hampir sama dengan luas dua kali halaman depan rumah Maura. Seorang gadis yang sedang menuruni tangga itu pun seketika beradu tatap dengan Maura, yang tampak terpana. Wow. Dia cantik sekali! Maura hampir tak percaya melihat keindahan paras yang tampak terlalu sempurna itu. Tubuh gadis itu proporsional sempurna bak supermodel, dengan rambut ikal pirang terang seperti boneka, dan mata biru langit yang mempesona. Maura pun seketika merasa bagaikan seekor kura-kura lamban dan bodoh yang sedang beradu tatap dengan seorang bidadari sempurna yang baru turun dari surga. Gadis di tangga itu pun tersenyum samar kepada Maura, tapi kemudian bertanya kepada Alberto. "Jadi dia, si gadis penggantiku?" Alberto tidak langsung menyahut, namun tetap senyuman terukir di wajahnya. "Tumpangan untuk Anda akan segera datang tak lama lagi, Miss Rebecca," ucapnya tanpa memberikan jawaban dari pertanyaan Rebecca. Bibir berpulas lipstik merah milik Rebecca pun sontak cemberut, namun langkah kakinya yang semula terhenti kini kembali bergerak menuruni tangga. Ia pun terus berjalan melewati Maura, tanpa perlu repot sedikit pun menoleh ke arahnya. "Ck. Raven benar-benar keterlaluan. Membuangku hanya demi gadis yang tampak membosankan ini?? Tak masuk akal!" guman Rebecca, meskipun pelan namun dengan sengaja ia ucapkan agar Maura dapat mendengarnya. 'Raven? Apa itu nama pria pemilik pulau dan masion ini??' Seketika napas gadis bersurai hitam panjang itu pun tercekat. Dengan tubuh yang membeku, Maura pun terhempas kembali pada kenyataan yang harus ia hadpi saat ini. Bahwa tubuhnya, kesuciannya sebagai seorang wanita dan harga dirinya, harus ia serahkan hari ini juga. Kepada seorang milyarder misterius yang telah membeli keperawanannya dengan harga tinggi. Milyarder yang memilki Pulau Little Olive dan Mansion mewah ini. Milyarder yang konon hanya menginginkan wanita-wanita yang masih suci belum tersentuh untuk menjadi partnernya bercinta, hingga di satu titik ia merasa bosan. Lalu mengganti wanitanya dengan yang lain namun masih dengan persyaratan yang sama, yakni perawan. Dan Maura, adalah wanita yang akan menjadi penghangat ranjang si Milyarder yang selanjutnya. Sekarang, adalah gilirannya. ***Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m
Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas
Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena
"Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka
Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m
Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers
Maura terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu, sebuah euforia kebahagiaan bercampur dengan rasa tidak percaya. Ia ingin sekali menanyakan semuanya. Bagaimana Raven bisa hidup, apa yang sebenarnya terjadi, lalu tubuh siapa yang dimakamkan waktu itu... tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil keluar dari bibirnya. Ia hanya memeluk Raven lebih erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi. Momen itu terasa seperti keabadian. Maura tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Akan ada lebih banyak rahasia yang terungkap, lebih banyak bahaya yang harus mereka hadapi. Tapi untuk saat ini ia hanya ingin menikmati kenyataan bahwa pria yang ia cintai, pria yang selama ini ia kira telah pergi, kini kembali dalam hidupnya. Maka Maura pun tak lagi berkata-kata. Ia diam dalam gendongan hangat Raven, dan semakin mengeratkan pelukannya. Dalam kegelapan yang telah menelan seluruh cahaya ini, Maura pun mempercayakan segalanya ha
“Pengkhianat!” Rhexton mendesis tajam, wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya terkepal erat, sementara tiga pengawal yang masih setia kepadanya segera mengangkat senjata mereka, siap menargetkan ketiga pembelot tersebut. “Turunkan senjata kalian!” Rhexton memerintahkan ketiga pengawal yang berpihak pada Ryland dengan suara bergetar, entah karena kemarahan atau kegelisahan. Namun mereka tidak menggubrisnya. Ketegangan pun memuncak. Suasana kamar yang semula hening kini terasa begitu penuh tekanan. Udara seolah membeku di antara kedua belah pihak, masing-masing mengarahkan senjata mereka tampak tidak ada yang mau mengalah. Maura berdiri di tengah-tengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia menatap ke arah Rhexton, lalu beralih ke Ryland, yang masih berdiri tanpa bergerak dengan tatapan yang dingin dan penuh kendali. Meski tak berkata sepatah pun, namun hanya dengan kehadirannya saja telah terasa mendominasi seluruh ruangan. “Mau
"Apa yang pernah menjadi milikmu?" tanya Maura bingung. Ryland menatap Maura dalam keheningan yang menegangkan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan Maura dan menariknya mendekat, untuk memeluk dengan erat. Namun semua sentuhannya itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada bagian perut Maura. Seolah ia sangat menyadari keberadaan dua nyawa kecil yang sedang tumbuh di sana. "Ryland, apa yang kamu~" Maura berusaha untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya tak cukup untuk melawan pria itu. Ia terdiam ketika tangan besar Ryland bergerak perlahan menuju ke perutnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu begitu kontras dengan sikap dingin dan tegas Ryland, membuat Maura terkejut dan kehilangan kata-kata. "Ryland..." bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar antara kebingungan dan emosi yang tak mampu ia jelaskan. Pria itu menunduk, memandangnya dengan lebih intens, sebelum tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Maura. Sentuhannya l