Keesokan paginya, Viona sudah sibuk di dapur. Sehabis subuh ia langsung menyiapkan nasi goreng untuk semua orang yang ada di vila itu. Varen ikut membantunya. Dia membuat teh di sebuah teko besar. Varen mengaduk-aduk gula supaya larut dalam tehnya. Viona menghampirinya, "Sayang, cobain." katanya sambil menyuapkan sendok yang berisi sedikit nasi goreng. "Kurang garam sedikit sayang." jawab Varen. "Oh oke." Viona mengerti dan langsung menambahkan garam dan menyesuaikan lagi rasanya. Setelah semuanya siap, mereka langsung menata rapi semua hidangan di atas meja. Varen menoleh ke arah depan, "Mereka belum bangun." Viona yang mendengar itu langsung membuka celemek yang dipakainya untuk masak tadi. "Biar aku yang memanggil para gadis lain." ucapnya sambil tersenyum kecil pada suaminya. Varen sempat menarik tangannya, lalu merangkul pinggang Viona dan langsung mencium pipi istrinya dengan gemas. "Hei, dasar. Bagaimana kalau ada yang lihat. " Celoteh Viona. "Biarin." kata
Lino yang sejak tadi memetik gitar, melirik ke arah mereka. “Oke, karena semua sudah di sini, mari kita nyanyi.” katanya. Viona langsung menyela, "Ayo Mayang tunjukkan aksimu." katanya terkekeh. "Ayo, siapa takut." balas Mayang dengan penuh percaya diri. Mereka pun bernyanyi kecil bersama. Mereka menyanyikan lagu-lagu lama, kadang sumbang, tapi hangat. Varen menutup mukanya, "Ya ampun, Mayang. Cukup!" katanya sambil tertawa kecil. Tari menutup telinganya sambil tertawa juga. "Apa-apaan ini. Musik dan liriknya tidak nyambung sama sekali." Radit yang sedang memanggang ayam didekat mereka, terlihat bahunya bergetar menahan tawanya. Dia tidak menyangka suara kekasihnya berbanding jauh dari wajahnya. Radit akhirnya tak tahan dan tertawa keras, “Sayang, suaramu bisa bikin ayam gosong, tahu nggak?” Mayang langsung memukul bahu Radit dengan spatula, “Berani sekali kau!” katanya pura-pura marah, tapi matanya ikut tertawa. Lino menahan tawa di antara petikan gitarnya, “Tenang
Radit terkekeh melihat Lino yang sibuk berlari menghindari Tari. “Baru kali ini aku lihat Lino jadi dirinya sendiri di depan seorang gadis,” katanya geli.Varen mengangguk sambil tersenyum penuh arti. “Ayo, kita bantu mereka supaya bisa berdua. Tari sepertinya benar-benar paham cara menghadapi Lino.”Mayang yang duduk di sandaran sofa hanya menggeleng pelan. “Mereka berdua seperti bocah kecil. "Tak lama kemudian, Lino kembali menghampiri mereka. Nafasnya tersengal, keringat menetes di pelipis. “Nafasku hampir habis sama dia,” katanya terengah-engah sambil menunjuk ke arah Tari yang berdiri dengan tangan di pinggang, menatapnya tajam. “Astaga, tenaganya kuat banget.”Tari mendengus, tapi senyum tipis tak bisa ia tahan. “Lain kali jangan mulai duluan. Aku cuma membalas.”Viona tertawa kecil, memandang mereka berdua. “Sepertinya liburan ini akan ramai, ya.”Radit mengangkat alis. “Kupikir ini malah awal dari kisah baru,” katanya, melirik Lino sekilas.Ucapan itu membuat yang lain sere
Beberapa saat kemudian, Mayang datang juga. Langkahnya tergesa. “Hai, semua. Maaf ya, aku telat,” katanya sambil bersedekap, mencoba menata napasnya. Viona segera berdiri sedikit, menepuk kursi kosong di sampingnya. “Hei, tenang dulu. Duduk dulu, May,” ujarnya. Radit tampak lega dan jelas senang melihat kekasihnya akhirnya datang. Namun ekspresi Lino justru berubah kaget. Ia menunjuk bergantian antara Radit dan Mayang. “May. Ja, jadi kau pacarnya Radit?” suaranya gagap dan meninggi, nyaris seperti sedang menuduh. Mayang memutar bola matanya, lalu menjawab dengan nada menggoda, “Ya ampun, apa itu sebuah dosa?” Mereka yang mendengar itu langsung tertawa. Bahkan Varen sampai menepuk meja, sementara Viona menutup mulutnya menahan geli. Melihat semuanya bersikap santai, Lino semakin heran. “Tunggu, jadi kalian semua tahu kecuali aku?” katanya tak habis pikir. Varen, Viona, dan Radit kompak mengangguk sambil tersenyum penuh arti. Lino mendesah panjang. “Hebat. Jadi aku ini sahab
Di sisi lain, kedua napi yang kabur itu masuk kedalam sebuah mobil tua yg dijmput di luar lapas. begitu masuk mereka langsung disekap oleh orang yg sudah dulu ada dimobil itu. Muka mereka ditutup. Tangannya di ikat mreka tidak bisa melawan. Mobil itu melaju dan berhenti sebuah gudang yg jauh dr pemukiman. Mereka turun, dan langsung di arak kedlam gudang itu. Disana ada beberapa orang yg sudah menunggu dengan tersenyum puas. Yang paling mengejutkan, meraka itu adalah pak Jaya, Varen, Radit dan Lino. Mereka sudah berniat memberi hukuman yg lebih pantas kepada mereka daripada dilapas yangg bisa diatur oleh semau tuannya. "Untuk sementara biarkan mereka disini dulu." Ucap lino. Pak Jaya mengangguk, "Biar anak buah saya yg mengurusnya." Pak Jaya dan yg lainnya akhirnya keluar. Tinggallah beberapa orang anak buah pak jaya yang bertampang sangar siap melaksanakan tugasnya seperti yg telah direncanakan. *** Beberapa hari kemudian, kabar tentang dua napi yang hilang sampai ke
Varen menatap bergantian ke arah kedua napi tahanan itu. Lalu tangannya mengambil satu pion putih dari tengah papan. Ia memainkannya di antara jari-jari, pandangannya tajam namun tenang. “Kalian bermain dengan bagus,” katanya pelan. “Tapi ingat, permainan ini belum selesai.” Sopir berkumis menelan ludah. “Kami nggak buka mulut, Pak. Kami tahu aturan.” Varen menatapnya datar. “Bagus. Tetap seperti itu.” Ia meletakkan pion itu kembali ke papan, lalu menggesernya satu langkah ke depan hingga memojokkan raja hitam. “Skatmat,” ucapnya ringan, bibirnya terangkat dalam senyum miring. Sopir satunya menatap Lino dan Radit bergantian, menyadari bahwa ini bukan kunjungan biasa. Lino menatap datar. “Kalian pikir siapa yang memastikan kalian dapat ruang nyaman di sini? Siapa yang buat kasus kalian nggak berat?” Mereka sadar, kalau Varen adalah kepercayaan dari bos besar. Sopir yang berkumis mencoba bersikap tenang, tapi tangannya sedikit gemetar saat memegang bidak. “Kami tidak p