LOGINDua hari kemudian, Mobil Varen memasuki kawasan Tangerang. Raut wajahnya letih setelah perjalanan, tapi matanya penuh kerinduan. Hanya satu yang ada di pikirannya, Theo.
Begitu ia sampai di depan rumah Yulia, dia memencet bel rumah itu. Tak lama pintu langsung dibuka oleh Yulia. Theo berdiri di sana, matanya berbinar. “Oom!” serunya lantang. Tanpa menunggu sedetik pun, Theo berlari kecil dan langsung melompat ke pelukan Varen. Tubuh mungil itu menempel erat, seolah takut lepas lagi. Varen terhenyak, kemudian mendekapnya kuat-kuat. Ia menunduk, mengusap rambut Theo sambil menahan rasa haru yang mengalir deras. “Oom pulang, maaf sudah ninggalin kamu sebentar.” Theo tidak menjawab. Anak itu hanya memeluk semakin kencang, wajahnya tersembunyi di dada Varen. Ia seperti ingin memastikan oomnya benar-benar sudah kembali. Varen tersenyum lega, semua penat hilang saat ia merasakan hangatnya pelukan itu. “Theo hebat.” bisik Varen. Setelah pelukan panjang yang menenangkan, Varen duduk di ruang tamu bersama Yulia. Wajahnya masih menyimpan rindu pada Theo, tapi ia juga ingin tahu bagaimana dua hari itu berjalan. “Dia rewel nggak, Tan?” tanya Varen pelan, suaranya penuh kekhawatiran. Yulia tersenyum lembut. “Tidak, Ren. Theo anak yang pintar. Dia malah terlihat senang punya teman main sepanjang hari.” Varen mengangguk lega. Matanya kembali mencari sosok kecil itu. “Theo, mau pulang sama oom?” tanyanya ragu. Belum sempat Theo menjawab, Yulia menimpali sambil menepuk bahu Varen. “Jangan buru-buru. Kamu istirahat saja dulu. Biarkan dia main sebentar lagi. Dia sedang gembira.” Varen terdiam, lalu tersenyum tipis. “Iya, Tan.” Di sudut ruangan, tawa kecil terdengar. Theo dan Yumna sedang berdiri di depan televisi, mengikuti gerakan anak-anak yang menari di layar. Langkah kaki mereka kikuk, gerakannya belum rapi, tapi wajah mereka berseri-seri. Varen hanya bersandar, memperhatikan dengan senyum hangat. Ada rasa lega yang sulit diucapkan melihat Theo begitu bahagia, Setelah beberapa saat, Varen meminta izin untuk naik ke lantai dua, seperti kunjungan sebelumnya. Ia butuh udara sore. Rumah itu memang memiliki balkon kecil yang nyaman, menghadap ke deretan rumah-rumah yang kini mulai tenang ditelan senja. Saat ia membuka pintu balkon itu, langkahnya terhenti sejenak. Di sana sudah berdiri seseorang. Orang itu adalah Viona. Gadis itu berdiri tenang di ujung pagar balkon, mengenakan blouse berwarna teduh dengan kerudung yang menjuntai ringan di bahunya. Di tangannya ada sebuah cangkir putih, mengepulkan uap tipis teh hangat. Ia tidak menyadari kehadiran Varen. Sorot matanya mengamati lampu-lampu yang mulai menyala di kejauhan, seolah memandangi dunia dengan hati yang sedang berpikir diam-diam. Varen berdehem pelan, tidak ingin mengejutkannya. Viona menoleh sekilas. Sedikit terkejut, tapi cepat mengendalikannya. Ia menatap Varen, tersenyum tipis tanpa ramah yang berlebihan. “Mau teh?” tawar Viona, suaranya datar. Varen menggeleng pelan sambil tersenyum, lalu berjalan pelan ke sisi pagar balkon yang lain. Ia bersandar santai, tidak berkata apa-apa. Namun matanya terus mengarah pada Viona. Ia bahkan tidak tahu kenapa. Gadis itu tak sedang melakukan hal luar biasa. Hanya berdiri, memegang cangkir teh, menatap lampu kota. Tapi justru karena kesederhanaan itulah, ia jadi pusat diam yang menarik. Viona, yang merasa tatapan itu, sedikit mengernyit. Ia menoleh ke arah Varen, menaikkan alisnya dengan ekspresi bingung. Varen buru-buru memalingkan wajah, pura-pura melihat langit barat yang memerah. Viona juga cepat-cepat memalingkan wajah ke arah lain, tapi ada gerakan kecil dari tangannya yang menggenggam salah satu sisi kerudungnya. Viona merasa sedikit gugup dan tidak nyaman. " Dia kenapa? Apa ada yang aneh dari penampilanku?" pikir Viona, cemas dalam diam. Suasana terasa jadi aneh, sepi dan lebih seperti ketegangan yang mengambang di antara dua orang asing yang belum tahu harus bicara atau diam. Varen ingin bicara. Tapi belum tahu harus mulai dari mana. Dan Viona ingin bertanya langsung, tajam tapi dia bukan tipe perempuan yang gegabah dengan pertanyaan yang tidak penting. Saat itu, suara tangisan Yumna terdengar dari bawah. Terdengar nyaring dan memotong keheningan sore itu. Viona langsung tersentak. Ia menoleh ke arah dalam rumah, lalu dengan langkah cepat ia melewati Varen menuju tangga. Namun sebelum sepenuhnya hilang dari pandangan, ia sempat menoleh ke arah Varen dan mendapati pria itu masih menatapnya. Tatapan itu aneh. Tidak menyerang, tapi juga tidak kosong. Dan Viona turun dengan perasaan tak karuan. Begitu sampai kebawah, Viona mendapati Yumna sedang menangis dipangkuan neneknya. "Kenapa Yumna?' Tanya Viona. "Biasa, kesandung." Jawab Yulia. Viona ikut mengecek keadaan Yumna, untungnya tidak ada luka dan hal mengkhawatirkan. lalu Viona menoleh ke arah Theo. Terlihat Theo dengan raut muka panik tapi tak tahu harus berbuat apa. Viona mendekat padanya, dan mengusap bahunya. "Theo sedang main apa." katanya untuk mencairkan suasana. Theo menoleh pada Viona, dan tiba-tiba dia memeluk leher Viona. Viona kaget, dia merasakan detak jantung Theo yang berdetak cepat. "Anak ini mungkin kaget dengan jatuhnya dan tangisnya Yumna yang tiba-tiba." batin Viona dalam hati. Viona membalas pelukannya dan bilang "Tidak apa-apa sayang, Ayo kita main lagi." Akhirnya suasana kembali hangat karena Viona bisa mengalihkan Yumna dan ketakuan Theo, mereka bermain kembali seolah-olah tadi tidak pernah terjadi apa-apa.Beberapa waktu kemudian, Lino naik jabatan sebagai jaksa senior. Jabatan itu datang bersama tanggung jawab yang lebih besar. Tak lama setelah itu, Lino mendatangi Bahri sebagai pengganti ayahnya Tari yang sudah tiada. Ia melamar Tari secara langsung, dengan cara sederhana dan tegas. “Saya serius. Saya ingin menikahinya dan menjaganya,” ucap Lino. Bahri menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baiklah, Aku percayakan Tari padamu.” Pernikahan mereka dilaksanakan segera. Keluarga dan sahabat hadir. Bahkan Rio juga datang memberi selamat. Setelah prosesi, Rio menghampiri Lino lebih dulu. Ia menjabat tangannya. “Selamat,” ucapnya singkat. Lino merangkul pundaknya. “Terimakasih, bro.” Rio lalu berdiri di depan Tari. “Aku tunggu jandamu.” Pasangan itu terkejut sejenak. Rio langsung terkekeh. “Tenang. Aku tidak akan bilang begitu. Buatku kata-kata itu tidak keren sama sekali." Ia menatap mereka bergantian. “Aku di sini buat mendukung kalian. Berbahagialah.” Tari mengangguk. “T
Dua hari kemudian, Viona dan kedua bayinya dinyatakan stabil dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit. "Selamat datang di rumah kita, anakku sayang,” ucap Varen pada kedua bayinya. Rumah kembali terasa hidup. Masing-masing nenek mengurus satu bayi. Theo tetap menempel pada maminya. Viona sengaja membiarkannya, ia tak ingin Theo merasa tersisih sedikit pun. Rio sudah pulang ke rumah, ia ingin melepas beban sejenak. Sudah lama ia tak berkumpul dengan teman-teman dan geng motornya. Namun sebelum itu, ia merasa bangga karena sudah ikut andil dalam memperjuangkan hukum yang adil. Tari pun pulang ke kosannya. Lino yang mengantarnya langsung. Ia juga membantu Tari membersihkan kos Tari yang sudah kacau balau sejak ditinggalkan beberapa waktu lalu. Mayang yang sudah mendarat dari tugasnya, langsung mampir kerumah Viona. Mayang sudah tak sabar ingin melihat keponakan kembarnya itu. "Hai, sayang, Auntie datang." ujarnya begitu datang dengan penuh percaya diri. Viona menepis tangan
“Bajingan,” desis Rukmana saat melewati Bahri. Dadanya meradang saat mengetahui orang yang paling ia percaya justru yang menusuknya paling dalam. Ia bisa memahami Varen. Dendam karena kematian kakaknya adalah sesuatu yang masuk akal. Tapi tidak pada Bahri. Rukmana membuka rahasia, menitipkan jaringan, bahkan mempercayakan aliran kekayaan dan jalur gelap yang selama ini tak tersentuh hukum kepadanya. Semua diserahkan, namun bukan menolong, ia malah menyerahkan semuanya menjadi bukti yang memperberat dan menghancurkannya di akhir sidang. Kini tak ada lagi senyum tenang atau tatapan meremehkan. Tangan Rukmana terborgol, tubuhnya ditarik kasar oleh petugas. Tidak ada negosiasi yang bisa menawar keputusan yang diberikan oleh hukum. Ia digiring menuju penjara khusus untuk penjahat kelas kakap, tempat kekuasaan tak lagi berarti apa pun. Di sana, bukan soal melarikan diri. Untuk bertahan hidup saja, seseorang harus memiliki mental kuat. Dan untuk pertama kalinya, Rukmana sadar, p
Majelis hakim masih berunding Semua orang menunggu termasuk Varen. Ia duduk tegak, namun pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana.Sejak ancaman itu terucap pagi tadi, separuh jiwanya tertinggal di ruang bersalin bersama Viona. Di setiap detik yang berlalu, dadanya seperti diperas oleh kemungkinan terburuk.Ia membuka ponselnya. Pesan dari Radit tertera,“Ren, Viona aman.”Jantungnya berhenti sesaat. Pesan kedua menyusul. Varen menunduk, jari-jarinya gemetar saat menyentuh layar ponselnya."Kedua bayimu telah lahir, mereka baik-baik saja."Dunia seperti berhenti bergerak. Varen menarik napas dalam, seolah baru sekarang paru-parunya benar-benar terisi udara. Bahunya yang sejak pagi menegang, perlahan turun. Ia memejamkan mata, dan merasa sangat bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberinya istri yang kuat.Nafasnya keluar panjang, seolah beban yang menindih dada sejak subuh akhirnya diangkat perlahan.Sidang sempat diskors singkat. Para hakim berdiskusi dengan wajah tegang. Seorang
Rumah sakit itu telah berubah menjadi kacau. Tari melangkah cepat memasuki gedung, wajahnya tegang. Di belakangnya, beberapa prajurit berseragam bergerak sigap, menyebar sesuai aba-aba singkat. Mereka berada di bawah komando pamannya “Titik sasaran lantai empat rawat bersalin,” ujar salah satu prajurit singkat. Tari mengangguk dan mempercepat langkah. Begitu keluar dari pintu lift darurat, matanya menangkap pemandangan yang membuat jantungnya hampir berhenti. Radit sudah setengah terdorong keluar balkon lantai empat. Seorang pria berusaha menjatuhkannya. Radit meronta dengan napasnya tersengal dan wajahnya pucat. Tangannya mengenggam baju pria itu untuk bertahan supaya tidak terjatuh. Tanpa berpikir panjang, Tari menyambar kursi kayu di dekat ruang tunggu. Buk! Kursi itu menghantam punggung pria penyerang dengan keras. Pria itu terhuyung, cengkeramannya terlepas. Tari menghantam sekali lagi hingga pria itu tersungkur tak bergerak. “Kau apakan adik iparku?!” b
Radit berlari masuk kerumah sakit, matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Di hadapannya ada Rio yang sedang dihadang oleh empat pria berbadan besar. Tak ada satu pun sekuriti yang terlihat disana. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan. Rio pun sudah paham situasinya. Tanpa banyak pikir, ia melayangkan pukulan pertama. Rahang salah satu pria itu menghantam dinding. Tiga lainnya menyusul. Di sela perkelahian, Rio menoleh cepat ke arah Radit dan memberi isyarat tegas dengan dagunya untuk menyuruh Radit pergi. Radit tak membantah. Ia berlari ke dalam, menyusuri lorong menuju kamar Viona. Namun mereka sudah menyebar. Tiga orang muncul dari tikungan. Radit menghajar satu dengan siku, satu lagi tersungkur setelah tinju mendarat tepat di hidung dan satu lagi dengan tendangan ke arah ke arah selangkangan, titik lemah utama. Nafasnya terengah, langkahnya tak melambat. Ini bukan soal berani lagi, ini soal waktu. Rio yang sudah menyelesaikan di luar langsung men







