LOGINViona baru saja keluar,dari rumah itu. Varen menatap punggungnya sekilas. Ada sesuatu yang mengganjal dihati varen saat melihat gadis itu, tapi ia buru-buru menepis perasaan yang belum bisa ia mengerti.
“Viona sudah pulang, jangan canggung lagi,” ucap Yulia, menyadari lirikan singkat itu. Varen terkekeh pelan, menutupi perasaan yang tidak ingin ia akui. Begitu suasana mulai tenang, Yulia menatap Varen yang tampak seperti banyak pikiran. “Kok melamun, Ren?” tanyanya, mencoba mencairkan keheningan. Varen menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Saya sebenarnya lagi pusing, Tan. Baru tadi di kantor dikabari kalau besok harus dinas keluar kota, mungkin dua hari." "Saya bingung, Theo bagaimana. Saya tidak tega ninggalin dia, sementara Ibu rasanya juga sudah nggak sanggup jagain sendiri. Theo lagi aktif-aktifnya.” lanjut Varen lagi. Nada suaranya penuh kegelisahan. Yulia mendengarkan dengan sabar, lalu mengangguk pelan. “Memang nggak mungkin kamu ajak sekalian? Atau dititip ke kerabat lain?” “Tidak bisa, Tan.” Varen mengusap wajahnya. “Kalau dititip ke kerabat, saya takut Theo nggak nyaman. Dia lagi manja banget belakangan ini. Saya sempat kepikiran cari pengasuh sementara, tapi rasanya juga nggak tenang dan juga waktunya sudah mendadak” Yulia menatapnya dengan mata teduh, lalu tersenyum hangat. “Kalau begitu, biarkan saja Theo tinggal sementara di sini. Di sini ada Yumna, mereka bisa main bareng. Theo pasti lebih senang, dia tidak akan merasa sendirian.” Kata-kata itu membuat dada Varen terasa sedikit lebih lapang. Namun ia masih ragu. “Apa tidak merepotkan, Tan? Saya khawatir mengganggu.” “Tidak sama sekali,” jawab Yulia mantap. “Tante malah senang kalau rumah lebih ramai. Lagi pula, tante tahu betapa beratnya kamu mengurus Theo seorang diri. Biarlah kali ini kamu punya sedikit waktu lega.” Varen terdiam, Ia lalu mengangguk, suara lirihnya keluar penuh kelegaan. “Baiklah, kalau begitu. Saya titip Theo ya, Tan. Rasanya saya berhutang banyak sekali.” Yulia menggeleng lembut, senyumnya penuh ketulusan. “Bukan hutang, Ren. Anggap saja keluarga saling membantu.” Pikiran yang tadi berat kini berganti dengan rasa hangat. Varen merasa lebih ringan, seperti beban besar terangkat. Keesokan paginya, sebelum berangkat keluar kota Varen mengantar Theo dulu kerumah Yulia. Varen duduk berjongkok di depan Theo, menatap wajah kecil itu yang masih setengah mengantuk. “Theo, hari ini tinggal dulu sama kak Yumna ya?” Varen mencoba tersenyum, meski sorot matanya terlihat berat. Theo menunduk, jari-jarinya memainkan ujung kaosnya. “Theo mau, tapi oom pergi?” suaranya lirih, ada nada takut di dalamnya. Varen menarik napas dalam, lalu mengusap kepala keponakannya itu dengan lembut. “Iya, oom harus keluar kota sebentar. Tapi cuma sebentar, Nak. Oom janji, begitu kerjaan oom selesai, oom langsung jemput Theo ya.” Theo menatap wajah oomnya lama, lalu mengangguk kecil. Ada senyum tipis di bibirnya, tapi matanya berkaca-kaca. “Theo takut tidur sendirian…” Ia langsung meraih tubuh mungil itu dan memeluk erat. “Kamu nggak sendirian. Ada nenek Yulia, ada tante Niki, ada Yumna.” Pelukan itu berlangsung lama, sampai akhirnya Yulia datang membantu, mengalihkan perhatian Theo dengan mengajaknya melihat mainan barunya. Varen berdiri, dan memberikan tas berisi perlengkapan Theo pada Yulia. Tak pernah sehari pun semenjak pulang ke Indonesia dia meninggalkan Theo sendiri. “Saya titip Theo ya Tante” lirih Varen. Yulia mengangguk pelan. “Pergilah Ren. Theo ini akan baik-baik saja.” Varen pun pergi tapi setiap beberapa jam sekali ia menghubungi Yulia. “Bagaimana Theo, Tan? Apa dia rewel?” “Tidak, dia gembira bermain dengan Yumna. Kau tenang saja.” jawab Yulia. Varen tersenyum lega di ujung telepon, tidak menyadari sesuatu tengah terjadi di rumah Niki. Yulia yang menjaga dua anak itu sebenarnya mulai merasa tidak enak badan. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipis. Tekanan darahnya naik tanpa diduga, membuat langkahnya terasa berat. Suara tawa dan rengekan kecil Theo dan Yumna yang tadinya membuatnya bahagia, kini justru terasa bising dan memusingkan. “Astaghfirullah…” Yulia berbisik pelan, sambil berpegangan pada kursi. Yumna menoleh, matanya langsung cemas. “Nenek sakit?” Theo ikut berhenti bermain, menatap yulia dengan bingung. Yulia tersenyum lemah, mencoba menenangkan anak-anak itu. “Tidak apa-apa, sayang. Nenek hanya pusing sedikit.” Tapi tubuhnya jelas tidak sanggup. Akhirnya ia menguatkan diri meraih ponselnya. Dengan tangan gemetar ia menekan nomor Viona yang ternyata tinggal satu blok dari rumah itu. “Viona, bisa ke rumah sebentar? Bibi sedang kurang enak badan…” suaranya hampir bergetar. Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Viona masuk dengan langkah cepat, wajahnya cemas. “Bibi, kenapa?!” Yulia duduk dengan napas teratur paksa, sambil menunjuk kedua anak itu. “Tolong jaga mereka dulu, Vio. Bibi butuh rebahan sebentar.” Viona menoleh ke arah Theo dan Yumna. Dua anak itu sedang menatapnya. Viona berjongkok, mengulurkan tangannya. “Ayo, kita main sama-sama. Nenek sedang butuh istirahat.” Theo menatapnya sebentar, lalu meraih tangannya. Ada rasa hangat yang aneh di hati Viona saat jari kecil itu menggenggamnya. Tak ada yang menyangka, dari hari itu kebersamaan kecil antara Viona dan Theo akan menjadi awal yang perlahan mengubah jalan kisah mereka.Hari ulang tahun Varen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Viona merasa lega karena rahasia yang ia pendam selama beberapa minggu terakhir akan menjadi kejutan manis untuk suaminya. Pagi itu, ia bangun lebih cepat dari biasanya. Wajahnya tampak segar, ada semangat yang sulit disembunyikan. Sambil menyiapkan sarapan, ia bersenandung riang. Ia sempat melirik jam dinding. Rencananya, sore nanti begitu Varen pulang, Viona, ibu dan mertuanya, mereka akan menyambut dengan kejutan kecil yang sudah disiapkan diam-diam. Viona tersenyum membayangkan wajah terkejut Varen nanti. Namun pagi ini ia harus tetap bersikap biasa saja, agar tidak mencurigakan. Setelah sarapan terhidang, mereka duduk berhadapan di meja makan. Viona menatap lama pada Varen. “Sayang, kamu belum cukuran ya? Kumis kecilmu mulai kelihatan,” kata Viona sambil tersenyum. Varen mengerutkan alis, “Oh ya? Hmm…” Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu. “Sebentar ya,” katanya, lalu masuk ke kamar mandi untuk bercukur. Seme
Varen tiba di rumah, Ia langsung memeluk Theo “Ini untuk anak baik yang selalu jaga maminya,” ucap Varen seraya menyerahkan kotak kecil berisi miniatur mobil kesukaan Theo. Bocah itu melonjak gembira dan langsung memeluk papinya.Setelah menidurkan Theo, Varen menghampiri Viona di kamar. Ia ingin menggoda istrinya dengan sedikit liar seperti biasanya. Ia mendekat, menautkan pelukannya dari belakang, mencium bahu Viona dengan lembut. Ia sudah tak tahan untuk melepaskan hasrat yang tertahan. “Aku kangen..” bisiknya. Varen membalikkan tubuhnya dan membawa istrinya ke pelukan penuh, Viona hanya bisa menatapnya antara ingin dan takut.Sayang, jangan dulu,” kata Viona pelan.Namun Varen sudah terlanjur tenggelam dalam dekapnya. Ia menindih lembut tubuh Viona, namun baru sesaat, Viona memejam, menarik napas pendek ada sesak yang tak bisa dijelaskan.Varen segera menghentikan gerakannya.“Kenapa? Aku menyakitimu?” tanyanya cepat, wajahnya panik.Viona menggeleng pelan, “Enggak… cuma, aku m
Disisi lain, Lino baru saja tiba di bandara. Udara sore yang padat oleh deru kendaraan. Ia menepikan mobil ke area parkir bandara. Ia menatap layar ponselnya, ada pesan terakhir dari Varen semalam. Mereka memang sudah sepakat untuk bertemu hari ini, lalu bersama-sama menuju tempat Pak Jaya untuk memeriksa dan membahas perkembangan kasus para napi sopir yang dulu mereka tangani. Namun begitu ia hendak turun dari mobil, matanya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya tertahan. Sebuah mobil yang sangat ia kenal. Mobil Varen baru saja melintas di depan matanya dan berhenti tak jauh dari situ. Kening Lino berkerut. “Mobil Varen dibawa siapa?” batinnya curiga. Ia menyipitkan mata, mencondongkan badan sedikit, mencoba mengintip di sela kaca deoan mobil. Tapi begitu melihat siapa yang turun dari sana, napasnya nyaris tercekat. “Viona?” gumamnya pelan, tak percaya. Ia memperhatikan perempuan itu yang kini berdiri dengan wajah berseri, menenteng tas kecil dan melangkah cepat men
Siang itu Radit pulang dr kantornya lebih cepat. Ia telah memesan tiket dan bersiap-siap ke bandara untuk menuju ke Surabaya menyesuaikan penerbangannya dengan Mayang. Setelah menyiapkan tas kecil, ia berangkat ke bandara. Semua terasa begitu cepat. Check in, pemeriksaan tiket, hingga akhirnya suara panggilan terdengar. “Kepada seluruh penumpang tujuan Surabaya, silakan menuju ke pintu keberangkatan...” Ia dan penumpang lainnya berjalan masuk ke koridor menuju pintu pesawat yang sudah ditentukan. Radit sudah mempersiapkan diri, ia memakai kacamata hitam, jaket dan masker, ia tak ingin mayang mengenalinya begitu saja. Dan benar saja, dipintu pesawat, Mayang sudah berdiri dengan pakaian pramugarinya, rambut yang disanggul sempurna dan senyumannya yang lembut menyambut para penumpang yang satu persatu masuk kedalam pesawat itu. Radit sangat deg-degan saat ia hampir dekat dengan kekasihnya. Begitu mereka berhadapan, "Selamat datang." Ujar mayang lembut. Radit hanya tersenyum
Hari itu Viona bangun lebih cepat. Ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia tak ingin sang mertua mendahuluinya, karena Viona benar-benar tak ingin merepotkan mertuanya. Begitu sampai ke dapur, ia langsung menyiapkan bahan-bahan yang akan di masak. Ia mengeluarkan telur, susu, dan sedikit keju. Rencananya, pagi ini ia akan membuat omelette Tapi begitu adonan telur mulai dituangkan ke wajan panas, perutnya tiba-tiba terasa mual hebat. “Uh…” Ia berlari menutup mulut, hampir tak sempat mematikan kompor. Tubuhnya gemetar menahan rasa tidak nyaman itu. “Uuuk… uuuk…” Tapi tak ada apa pun yang keluar selain air liur dan air mata kecil di ujung matanya. Kebetulan Kartika melihat Viona berlari dengan seolah-olah menahan mual. Ia pun langsung mengambil alih masakan di dapur. Setelah siap, Kartika menghampiri Luna. Ia berseru di pintu toilet "Nak, kau baik-baik saja?" Tak lama Viona keluar dengan wajah pucat, dan sedikit bekas air mata disudut matanya. "Vio tidak apa
Malamnya, Lino baru saja pulang dari futsal, keringatnya masih menempel di pelipis. Tapi entah kenapa, mobilnya melaju ke arah kosan Tari. Hanya sekadar iseng. Mungkin karena pikirannya belum selesai tentang obrolan tadi siang dengan Radit dan tentang seseorang yang kini terus muncul di benaknya.Begitu hampir sampai di depan gerbang, pandangannya menangkap sosok Tari. Gadis itu baru turun dari mobil. Ia tampak rapi, dengan kemeja longgar berwarna lembut. Sebelum masuk, Tari sempat berbincang dengan seseorang di dalam mobil. Terdengar dari suaranya itu seperti Laki-laki. Tawa kecil Tari terdengar samar di antara deru mesin.Lino berhenti melangkah.“Siapa dia?” gumamnya pelan, matanya menatap lama ke arah mereka.Senyum Tari yang biasanya membuatnya tenang kini terasa mengusik. “Senyumnya itu… menyebalkan,” ujarnya lirih, nyaris seperti orang yang sedang cemburu tapi belum berani mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.Ia menghela napas, lalu memilih segera memutar balik mobilnya,







