Share

6. Awal Takdir

Author: Cerita Tina
last update Last Updated: 2025-09-07 16:03:52

Viona baru saja keluar,dari rumah itu. Varen menatap punggungnya sekilas. Ada sesuatu yang mengganjal dihati varen saat melihat gadis itu, tapi ia buru-buru menepis perasaan yang belum bisa ia mengerti.

“Viona sudah pulang, jangan canggung lagi,” ucap Yulia, menyadari lirikan singkat itu.

Varen terkekeh pelan, menutupi perasaan yang tidak ingin ia akui. Begitu suasana mulai tenang, Yulia menatap Varen yang tampak seperti banyak pikiran.

“Kok melamun, Ren?” tanyanya, mencoba mencairkan keheningan.

Varen menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Saya sebenarnya lagi pusing, Tan. Baru tadi di kantor dikabari kalau besok harus dinas keluar kota, mungkin dua hari."

"Saya bingung, Theo bagaimana. Saya tidak tega ninggalin dia, sementara Ibu rasanya juga sudah nggak sanggup jagain sendiri. Theo lagi aktif-aktifnya.” lanjut Varen lagi.

Nada suaranya penuh kegelisahan. Yulia mendengarkan dengan sabar, lalu mengangguk pelan.

“Memang nggak mungkin kamu ajak sekalian? Atau dititip ke kerabat lain?”

“Tidak bisa, Tan.” Varen mengusap wajahnya.

“Kalau dititip ke kerabat, saya takut Theo nggak nyaman. Dia lagi manja banget belakangan ini. Saya sempat kepikiran cari pengasuh sementara, tapi rasanya juga nggak tenang dan juga waktunya sudah mendadak”

Yulia menatapnya dengan mata teduh, lalu tersenyum hangat.

“Kalau begitu, biarkan saja Theo tinggal sementara di sini. Di sini ada Yumna, mereka bisa main bareng. Theo pasti lebih senang, dia tidak akan merasa sendirian.”

Kata-kata itu membuat dada Varen terasa sedikit lebih lapang. Namun ia masih ragu.

“Apa tidak merepotkan, Tan? Saya khawatir mengganggu.”

“Tidak sama sekali,” jawab Yulia mantap. “Tante malah senang kalau rumah lebih ramai. Lagi pula, tante tahu betapa beratnya kamu mengurus Theo seorang diri. Biarlah kali ini kamu punya sedikit waktu lega.”

Varen terdiam, Ia lalu mengangguk, suara lirihnya keluar penuh kelegaan.

“Baiklah, kalau begitu. Saya titip Theo ya, Tan. Rasanya saya berhutang banyak sekali.”

Yulia menggeleng lembut, senyumnya penuh ketulusan. “Bukan hutang, Ren. Anggap saja keluarga saling membantu.”

Pikiran yang tadi berat kini berganti dengan rasa hangat. Varen merasa lebih ringan, seperti beban besar terangkat.

Keesokan paginya, sebelum berangkat keluar kota Varen mengantar Theo dulu kerumah Yulia. Varen duduk berjongkok di depan Theo, menatap wajah kecil itu yang masih setengah mengantuk.

“Theo, hari ini tinggal dulu sama kak Yumna ya?” Varen mencoba tersenyum, meski sorot matanya terlihat berat.

Theo menunduk, jari-jarinya memainkan ujung kaosnya. “Theo mau, tapi oom pergi?” suaranya lirih, ada nada takut di dalamnya.

Varen menarik napas dalam, lalu mengusap kepala keponakannya itu dengan lembut.

“Iya, oom harus keluar kota sebentar. Tapi cuma sebentar, Nak. Oom janji, begitu kerjaan oom selesai, oom langsung jemput Theo ya.”

Theo menatap wajah oomnya lama, lalu mengangguk kecil. Ada senyum tipis di bibirnya, tapi matanya berkaca-kaca. “Theo takut tidur sendirian…”

Ia langsung meraih tubuh mungil itu dan memeluk erat. “Kamu nggak sendirian. Ada nenek Yulia, ada tante Niki, ada Yumna.”

Pelukan itu berlangsung lama, sampai akhirnya Yulia datang membantu, mengalihkan perhatian Theo dengan mengajaknya melihat mainan barunya.

Varen berdiri, dan memberikan tas berisi perlengkapan Theo pada Yulia. Tak pernah sehari pun semenjak pulang ke Indonesia dia meninggalkan Theo sendiri.

“Saya titip Theo ya Tante” lirih Varen.

Yulia mengangguk pelan. “Pergilah Ren. Theo ini akan baik-baik saja.”

Varen pun pergi tapi setiap beberapa jam sekali ia menghubungi Yulia.

“Bagaimana Theo, Tan? Apa dia rewel?”

“Tidak, dia gembira bermain dengan Yumna. Kau tenang saja.” jawab Yulia.

Varen tersenyum lega di ujung telepon, tidak menyadari sesuatu tengah terjadi di rumah Niki.

Yulia yang menjaga dua anak itu sebenarnya mulai merasa tidak enak badan. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipis. Tekanan darahnya naik tanpa diduga, membuat langkahnya terasa berat.

Suara tawa dan rengekan kecil Theo dan Yumna yang tadinya membuatnya bahagia, kini justru terasa bising dan memusingkan.

“Astaghfirullah…” Yulia berbisik pelan, sambil berpegangan pada kursi.

Yumna menoleh, matanya langsung cemas. “Nenek sakit?”

Theo ikut berhenti bermain, menatap yulia dengan bingung. Yulia tersenyum lemah, mencoba menenangkan anak-anak itu.

“Tidak apa-apa, sayang. Nenek hanya pusing sedikit.” Tapi tubuhnya jelas tidak sanggup.

Akhirnya ia menguatkan diri meraih ponselnya. Dengan tangan gemetar ia menekan nomor Viona yang ternyata tinggal satu blok dari rumah itu.

“Viona, bisa ke rumah sebentar? Bibi sedang kurang enak badan…” suaranya hampir bergetar.

Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka. Viona masuk dengan langkah cepat, wajahnya cemas. “Bibi, kenapa?!”

Yulia duduk dengan napas teratur paksa, sambil menunjuk kedua anak itu. “Tolong jaga mereka dulu, Vio. Bibi butuh rebahan sebentar.”

Viona menoleh ke arah Theo dan Yumna. Dua anak itu sedang menatapnya. Viona berjongkok, mengulurkan tangannya.

“Ayo, kita main sama-sama. Nenek sedang butuh istirahat.”

Theo menatapnya sebentar, lalu meraih tangannya. Ada rasa hangat yang aneh di hati Viona saat jari kecil itu menggenggamnya.

Tak ada yang menyangka, dari hari itu kebersamaan kecil antara Viona dan Theo akan menjadi awal yang perlahan mengubah jalan kisah mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Vonis Cinta Sang Hakim   148. Akhir

    Beberapa waktu kemudian, Lino naik jabatan sebagai jaksa senior. Jabatan itu datang bersama tanggung jawab yang lebih besar.Tak lama setelah itu, Lino mendatangi Bahri sebagai pengganti ayahnya Tari yang sudah tiada. Ia melamar Tari secara langsung, dengan cara sederhana dan tegas.“Saya serius. Saya ingin menikahinya dan menjaganya,” ucap Lino.Bahri menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baiklah, Aku percayakan Tari padamu.”Pernikahan mereka dilaksanakan segera. Keluarga dan sahabat hadir. Bahkan Rio juga datang memberi selamat.Setelah prosesi, Rio menghampiri Lino lebih dulu. Ia menjabat tangannya.“Selamat,” ucapnya singkat.Lino merangkul pundaknya. “Terimakasih, bro.”Rio lalu berdiri di depan Tari. “Aku tunggu jandamu.”Pasangan itu terkejut sejenak.Rio langsung terkekeh. “Tenang. Aku tidak akan bilang begitu. Buatku kata-kata itu tidak keren sama sekali."Ia menatap mereka bergantian. “Aku di sini buat dukung kalian. Berbahagialah.”Tari mengangguk. “Terima kasih, Rio.”Viona

  • Vonis Cinta Sang Hakim   147. Kita Berhasil

    Dua hari kemudian, Viona dan kedua bayinya dinyatakan stabil dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit. "Selamat datang di rumah kita, anakku sayang,” ucap Varen pada kedua bayinya. Rumah kembali terasa hidup. Masing-masing nenek mengurus satu bayi. Theo tetap menempel pada maminya. Viona sengaja membiarkannya, ia tak ingin Theo merasa tersisih sedikit pun. Rio sudah pulang ke rumah, ia ingin melepas beban sejenak. Sudah lama ia tak berkumpul dengan teman-teman dan geng motornya. Namun sebelum itu, ia merasa bangga karena sudah ikut andil dalam memperjuangkan hukum yang adil. Tari pun pulang ke kosannya. Lino yang mengantarnya langsung. Ia juga membantu Tari membersihkan kos Tari yang sudah kacau balau sejak ditinggalkan beberapa waktu lalu. Mayang yang sudah mendarat dari tugasnya, langsung mampir kerumah Viona. Mayang sudah tak sabar ingin melihat keponakan kembarnya itu. "Hai, sayang, Auntie datang." ujarnya begitu datang dengan penuh percaya diri. Viona menepis tanga

  • Vonis Cinta Sang Hakim   146. Janji Telah Usai

    “Bajingan,” desis Rukmana saat melewati Bahri. Dadanya meradang saat mengetahui orang yang paling ia percaya justru yang menusuknya paling dalam. Ia bisa memahami Varen. Dendam karena kematian kakaknya adalah sesuatu yang masuk akal. Tapi tidak pada Bahri. Rukmana membuka rahasia, menitipkan jaringan, bahkan mempercayakan aliran kekayaan dan jalur gelap yang selama ini tak tersentuh hukum kepadanya. Semua diserahkan, namun bukan menolong, ia malah menyerahkan semuanya menjadi bukti yang menghancurkannya di akhir sidang. Kini tak ada lagi senyum tenang atau tatapan meremehkan. Tangan Rukmana terborgol, tubuhnya ditarik kasar oleh petugas. Tidak ada negosiasi yang bisa menawar keputusan yang diberikan oleh hukum. Ia digiring menuju penjara khusus untuk penjahat kelas kakap, tempat kekuasaan tak lagi berarti apa pun. Di sana, bukan soal melarikan diri. Untuk bertahan hidup saja, seseorang harus memiliki mental kuat. Dan untuk pertama kalinya, Rukmana sadar, permainan telah seles

  • Vonis Cinta Sang Hakim   145. Berbelok

    Majelis hakim masih berunding Semua orang menunggu termasuk Varen. Ia duduk tegak, namun pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana.Sejak ancaman itu terucap pagi tadi, separuh jiwanya tertinggal di ruang bersalin bersama Viona. Di setiap detik yang berlalu, dadanya seperti diperas oleh kemungkinan terburuk.Ia membuka ponselnya. Pesan dari Radit tertera,“Ren, Viona aman.”Jantungnya berhenti sesaat. Pesan kedua menyusul. Varen menunduk, jari-jarinya gemetar saat menyentuh layar ponselnya."Kedua bayimu telah lahir, mereka baik-baik saja."Dunia seperti berhenti bergerak. Varen menarik napas dalam, seolah baru sekarang paru-parunya benar-benar terisi udara. Bahunya yang sejak pagi menegang, perlahan turun. Ia memejamkan mata, dan merasa sangat bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberinya istri yang kuat.Nafasnya keluar panjang, seolah beban yang menindih dada sejak subuh akhirnya diangkat perlahan.Sidang sempat diskors singkat. Para hakim berdiskusi dengan wajah tegang. Seorang

  • Vonis Cinta Sang Hakim   144. Di Ujung Nafas

    Rumah sakit itu telah berubah menjadi kacau. Tari melangkah cepat memasuki gedung, wajahnya tegang. Di belakangnya, beberapa prajurit berseragam bergerak sigap, menyebar sesuai aba-aba singkat. Mereka berada di bawah komando pamannya “Titik sasaran lantai empat rawat bersalin,” ujar salah satu prajurit singkat. Tari mengangguk dan mempercepat langkah. Begitu keluar dari pintu lift darurat, matanya menangkap pemandangan yang membuat jantungnya hampir berhenti. Radit sudah setengah terdorong keluar balkon lantai empat. Seorang pria berusaha menjatuhkannya. Radit meronta dengan napasnya tersengal dan wajahnya pucat. Tangannya mengenggam baju pria itu untuk bertahan supaya tidak terjatuh. Tanpa berpikir panjang, Tari menyambar kursi kayu di dekat ruang tunggu. Buk! Kursi itu menghantam punggung pria penyerang dengan keras. Pria itu terhuyung, cengkeramannya terlepas. Tari menghantam sekali lagi hingga pria itu tersungkur tak bergerak. “Kau apakan adik iparku?!” b

  • Vonis Cinta Sang Hakim   143. Ancaman.

    Radit berlari masuk kerumah sakit, matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Di hadapannya ada Rio yang sedang dihadang oleh empat pria berbadan besar. Tak ada satu pun sekuriti yang terlihat disana. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan. Rio pun sudah paham situasinya. Tanpa banyak pikir, ia melayangkan pukulan pertama. Rahang salah satu pria itu menghantam dinding. Tiga lainnya menyusul. Di sela perkelahian, Rio menoleh cepat ke arah Radit dan memberi isyarat tegas dengan dagunya untuk menyuruh Radit pergi. Radit tak membantah. Ia berlari ke dalam, menyusuri lorong menuju kamar Viona. Namun mereka sudah menyebar. Tiga orang muncul dari tikungan. Radit menghajar satu dengan siku, satu lagi tersungkur setelah tinju mendarat tepat di hidung dan satu lagi dengan tendangan ke arah ke arah selangkangan, titik lemah utama. Nafasnya terengah, langkahnya tak melambat. Ini bukan soal berani lagi, ini soal waktu. Rio yang sudah menyelesaikan di luar langsung men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status