Bagai palu besar kembali menghantam hati ini. Sakit sekali. Setelah tadi sedikit lega jika mereka masih diambang batas dalam berselingkuh namun kembali harus aku telan pahitnya empedu untuk kedua kalinya.
Haruskan aku muntahkan? Aku memang tak akan mentolerir Mas Wisnu untuk perselingkuhan ini, kukira ini hanya ujian hidupku berumah tangga. Kata orang tua, setiap rumah tangga akan diuji, baik itu orang ketiga, ataupun masalah finansial, aku sadar itu.
Namun nyata sepertinya ini bukan ujian rumah tangga, diselisik dari realita, Mas Wisnu mungkin memang sengaja melakukan perselingkuhan ini. Serendah itu kah dia memandang sebuah pernikahan? Menodai janji suci yang ia ucapkan sendiri. Miris!
"Mama ...." Aira mendekat, aku tersentak dari lamunanku yang melayang jauh, merutuki manusia-manusia tak berperasaan.
"Aira, ada apa, Sayang? Apa kamu sudah sembuh?" tanyaku sambil langsung mencium pipi gembilnya.
"Udah, Mah. Papa kapan pulang, Mah? Aira kepengen main sama Papa, sudah lama Aira ngga pernah main sama papa!" aku tersentak kaget, selama ini aku baru menyadari jika Mas Wisnu sering pulang larut malam. Kupikir dia memang sibuk mencari costumer hingga kadang meminta izin untuk meninjau rumah makan yang ada dibeberapa kota. Apa waktu itu ia gunakan untuk berselingkuh?
Ya Allah ... Kenapa aku baru sadar, apa aku terlalu percaya pada suamiku itu. Bukankah sebuah hubungan akan makin kuat jika saling percaya? Kuanggap tiang kokoh sebuah keluarga adalah kepercayaan. Namun sepertinya tak cukup jika kepercayaan saja, mungkin tiang yang hanya memiliki satu tak akan sekokoh jika ada satu pasang. Kesetiaan! Ya selain kepercayaan dari pasangan juga harus ada kesetiaan sebagai pasangannya.
"Mah!"
"Eh ... Iya, Aira. Sabar ya, papa sedang sibuk. Nanti kalau sudah tak sibuk pasti main bareng Aira lagi." Aku berusaha menenangkan Aira, walau hati ini bergemuruh penuh keraguan, apakah Aira akan bisa bermain kembali dengan Mas Wisnu setelah kita berpisah.
"Aira cuma takut, Mah. Aira takut Papa seperti Papa Qila!"
"Memang kenapa Papa Qila?" tanyaku penasaran.
"Papa Qila jarang pulang kerumah ternyata Papanya punya istri baru."
Deg!
Ucapan bocah enam tahun itu mampu menamparku, menampar hatiku yang sedang pilu, bagaimana dia ... Ah! Sayang, kamu belum mengerti tentang ini.
"Kata siapa Aira tahu?"
"Qila yang cerita disekolah, Mah. Katanya Mama Qila sering nangis dikamar setelah Papah Qila pergi dan Qila bilang awal-awalnya dia seperti Papah, jarang pulang, jarang main sama Qila."
Bagai teriris sembilu, apa yang sedang diucapkan Aira itu sangat kembali membuat aku pusing, di sisi lain aku muak dengan Mas Wisnu tapi melihat Aira?
Kamu tenang saja Aira, Mama wanita kuat, tak akan menangis ketika Papa pergi meninggalkan kita, suatu saat kamu akan mengerti dan tahu alasan Mama memilih berpisah.
"Non, ada tamu!" kata Bik Uni menghampiriku.
"Siapa, Bik?"
"Ngga tahu, Non. Perempuan cantik."
Aku segera menurunkan Aira dari pangkuan, beranjak berdiri setelah meminta Aira untuk kembali kekamar dan belajar.
"Wina!" pekiku kaget melihat dia yang sudah duduk diruang tamu, matanya sembab.
"Ibu ... Maafin aku, Bu. Sumpah bukan aku yang memulai semua ini. Semua Pak Wisnu yang selalu merayuku dengan membelikan beberapa barang mewah. Tolong, Bu. Maafin saya!" ibanya dengan tangis tersedu.
Aku menghembuskan nafas berat, "tak akan ada tamu masuk kerumah orang tanpa izin sipemilik, jadi tak usah kamu merasa jadi korban. Aku sangat hafal wanita macam kamu!" cetusku.
"Sungguh, Bu! Sungguh ... Tadinya aku selalu menolak tentang apa yang diberikan Pak Wisnu, bahkan aku beberapa kali mengabaikan chat-chatnya, namun dia tak putus asa, Bu. Sampai akhirnya ia memberikan kalung berlian ini," dia menunjukan sebuah benda dalam kotak,"wanita mana yang menolak ketika diberi barang semewah ini."
Kuraih kotak itu dan membukanya, terkaget apa isi didalamnya,"kalung ini ... Ini kalung milikku!"
Aku tak mungkin salah, ini kalungku yang kubeli saat melahirkan Aira, saat usaha baru mulai berkembang. Mungkin karena memang aku sudah memiliki beberapa kalung jadi ngga tahu kalau ada yang di ambil. Sial! Mas Wisnu telah berbuat sebegitu jauh.
"Iya, Bu. Aku juga curiga karena Mas Wisnu tak mau memberikan kuitansi pembelian dari barang itu. Makanya aku curiga kalau barang itu bukan asli Mas Wisnu yang membeli."
"Selain ini, apa lagi yang Mas Wisnu telah kasih?"
"Untuk perhiasan hanya itu, Bu. Yang lainnya hanya berupa pakaian dan assesories yang memang belinya aku sendiri yang memilih."
"Itu artinya kamu pernah jalan bareng?" tatap tajam mataku langsung mengarah padanya.
"I-iya, Bu, tapi sungguh aku tak melakukan hal-hal yang di haramkan dalam agama, aku masih perawan, Bu. Tak mungkin aku serahkan mahkotaku begitu saja. Apalagi ... Di samping Mas Wisnu sudah beristri dia juga ...." Wina mengantung kata-katanya. Seolah ragu untuk mengatakannya.
"Apa ... Dia juga apa? Kamu tahu sesuatu?" Wina mengangguk, dia dengan takut-takut bercerita tentang wanita yang sempat ber VC dengan Mas Wisnu saat mereka berdua makan siang. Wina kira itu adalah istri Mas Wisnu, namun setelah ia bertemu denganku, kini Wina sadar bahwa itu bukan istrinya melainkan selingkuhan lainnya.
"Saat VC itu aku memilih mundur agar tak terlihat di kamera, Bu. Namun aku dapat dengan jelas melihat perempuan itu. Perempuan yang tengah mengendong seorang balita."
Duh! Apalagi ini. Apa mungkin dia .... Ah, tak akan aku maafkan dirimu, Mas. Berani menghianatiku sebegitu jauh, bahkan sampai memberi Aira adik dari Ibu yang lain! Kupastikan kamu keluar dari rumah, hari ini juga! Aku akan cari bukti siapa perempuan itu.
"Bertahan ya ... Sebentar lagi kita sampai!" ucapku menenangkan. Sebenarnya aku sendiri panik setengah mati. Bagaimana tidak, melihat kondisi Ning Ria yang sudah tak karuan. Tiba di lobi rumah sakit, aku segera turun, berlari memanggil perawat untuk segera membawa tandu. "Tolong! Gawat darurat!" Aku berlari, seketika dengan sigap beberapa perawat datang menuju mobil. "Kamu harus kuat ya, Neng!" ucapku sambil terus berjalan mengimbangi roda. Bude hanya bisa menangis, melihat kondisi Ning Ria yang sudah setengah sadar. Perawat dengan sigap memanggil dokter untuk segera melakukan pemeriksaan. Aku langsung memeluk Bude, saat Ning Ria sudah memasuki IGD. "Tenang, Bude. Pasti semua baik-baik saja." Kuelus punggung Bude dan membawanya untuk duduk. Fahri terlihat tergesa berjalan menuju tempat kami. "A, sudah hubungi Kyai Salim?" tanyaku begitu ia tiba. "Udah, Dek. Mereka sedang menuju kesini." Aku bernafas lega, setidaknya dalam kondisi seperti ini keluarga tahu. Aku terus berdo'a u
"Ada apa, Dok?" aku bertanya sedikit panik melihat raut wajah dokter yang seperti nya memiliki masalah.Beliau menghela nafas panjang, aku yakin dia berat untuk menyampaikan."Begini, Bu, Pak. Menurut hasil Lap yang saya terima, jika maaf Sperm* Pak Fahri kurang sehat."Deg! Aku langsung berpaling kepada Fahri yang berada di sebelahku, pasti ia terpukul dengan penuturan dokter Rafli. Raut wajah Fahri terlihat sendu."I-itu artinya kalau saya mandul, Dok?" Fahri bersuara dengan bergetar.Kami tidak memvonis Pak Fahri mandul, cuma jika Pak Fahri ingin memiliki momongan. Sebaiknya Pak Fahri sering konsultasi dan menjalani pola hidup sehat. Agar keinginan itu dapat terwujud.***Fahri keluar dengan lemas. Bahkan ketika aku pegang tangannya ia tak merespon sama sekali. Pandangannya kosong dan entah apa yang sedang ia pikirkan."A ...."Dia masih diam saja, berjalan dengan lambat."Aa ngga papa kan?" Kugoyangkan sedikit tubuhnya."Astaghfirullah ... Maaf, Dek. Aa hampir putus asa menerima
"Apa, Bude. Alhamdulilah ... Ya Allah, rahasia Allah memang tak terduga ya. Selamat ya, Bude. Semoga debay dan ibunya sehat sampai lahiran." Aku turut bahagia mendengar kabar tentang kehamilan Ning Ria. Pasti kini dia tengah bahagia, setelah merasa terpuruk atas meninggalnya Bang Ridho."Iya, Nun. Bude bersyukur banget, bude dapat penghibur untuk hidup Bude. Cuma kata dokter Ria kandungannya lemah dan harus di jaga sebaik mungkin. Kamu mau kan ikut menjaga?"Aku melonggo, tak maksud dengan apa yang di sampaikan oleh Bude Sri. Aku, ikut menjaga?"Maksud, Bude?""Maksud Bude, ingin agar kamu menemani dia saat cek up dan sebisa mungkin sering main kesini. Hibur dia agar tak terus merasa sedih."Ucapan Bude ada benarnya, memang jika kandungan lemah akan sangat rentan jika stres. Aku harus membantu Bude untuk merawat Ria sampai melahirkan, aku harus pastikan Bang Ridho junior lahir kedua ini dengan selamat. Aku berjanji padamu, Bang! "Baik, Bude. Nanti aku usahakan waktu yang banyak untuk
PoV Wisnu"Kamu kerja baru setengah bulan udah izin empat hari! Kamu pikir ini usaha milik nenek moyangmu?!" gentak Pak Suid pemilik cucian motor dimana tempatku bekerja. Ya ... Sejak setengah bulan yang lalu, aku bekerja sebagai buruh cuci motor. Terpaksa untuk menyambung hidup."Maaf, Pak. Saya sakit, ngga bisa di paksa kalau lagi kambuh," ucapku pelan berharap dia mengerti."Memangnya kamu sakit apa? Sakit maag!""Bu-bukan, Pak. Sa-saya sakit gonore,"jawabku pelan."Apa kamu kena gonore, kencing nanah, raja singa, aids." Dia menyebutkan macam-macam penyakit, padahal semua itu berbeda. Ah! Dia itu lebay sekali.Aku tertunduk, tak mau berdebat pada orang yang minim ilmu, yang mengira antara gonore dengan raja singa bahkan Aids itu sama."Mulai hari ini saya kamu pecat! Saya tak mau punya karyawan memiliki penyakit kelamin. Bisa-bisa nular lagi." Kata tajam pemilik usaha itu membuat nyeri ulu hati."Tapi, Pak! Penyakitmu tak menular jika hanya bersentuhan." Belaku berharap ia lebih ta
PoV RiaMenjadi istri seorang bernama Ridho Herlambang. Ternyata begitu bahagia, walau telat karena keegoisanku. Kini aku sadari jika menjadi istri Mas Ridho, itu sebuah keberuntungan. Selain dia baik, pengertian, juga sangat penyayang. Aku merasa bak jadi seorang putri raja saat bersamanya, dia memanjakanku lebih dari Abah.Andai saja, aku sejak pertama tak menolaknya, berlaku menjadi istri sepenuhnya, mungkin aku tak akan merasa sebersalah ini. Bagaimana tidak, saat aku terpuruk dan di vonis menderita kista ovarium, dia yang belum menyentuh ku sama sekali masih saja menerima ku apa adanya. Bahkan jika aku tak dapat memiliki anak."Kan masih ada solusi, Dek. Hidup berumah tangga bukan melulu soal keturunan. Buktinya yang anaknya banyak saja bisa mereka bercerai. Aku tak memusingkan hal itu, kita bisa adopsi anak kan?" ucapnya kala aku masih ragu untuk kembali padanya."Tapi, Mas. Kamu anak satu-satunya. Pasti ibumu menginginkan penerus untuk usahamu dan pasti harus anak kandung. Buka
"Astaghfirullah, Pak. Kita kesana, ini yang kecelakaan mobilnya Bang Ridho." Aku panik ketika yakin jika mobil itu milik Bang Ridho, semoga saja bukan Bang Ridho yang bawa. Melihat dari kondisi mobilnya yang rusak parah pasti pengemudi nya juga tak kalah parah."Kita putar balik ya, Pak!""Iya, Bu. Sebentar di depan kan over boden jadi kita harus memutar agak jauh.""Iya, Pak. Tapi cepat ya!"Ya Allah, lindungilah orang-orang yang aku sayangi, keluargaku juga teman-temanku. Aku masih panik dan harap-harap cemas. Ya Allah .... Aku terus menyebut nama-nya.Ketika tiba di sana, ambulan sudah datang, masih banyak orang yang berkerumun. Aku langsung turun ketika Pak Sopir sudah memarkirkan mobilnya. Segera berlari menuju TKP. Tak kuhiraukan panggilan Pak Sopir yang mungkin khawatir karena aku lari."Pak! Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada salah satu orang lewat yang sepertinya sudah melihat."Yang mobil pribadi, meninggal ditempat, Mbak. Karena tercepit setir dan kepalanya pecah."Astaghf