Bang Ridho menjalani rumah tangga yang tak sehat, mungkin cinta Bang Ridho bertepuk sebelah tangan tapi, harusnya Bang Ridho sebagai laki-laki, pemimpin keluarga harus tegas. Bukan menuruti semua keinginan Ning Ria dengan merendahkan martabat sebagai seorang pemimpin. Sayang boleh, bodoh jangan. Besok aku akan ajak Bang Ridho untuk bertemu. Menasehatinya hingga dia tak terlalu di injak-injak.[Bang, besok bisa ketemu nggak?] Kukirim WA padanya. Masih centang dua berwarna abu-abu.Akhirnya aku putuskan saja untuk pulang, memberitahu ibu jika aku baik-baik saja tentang alergi yang aku derita. Juga sore ini aku mengantar beliau kerumah bekas mertuaku."Bu!" panggilku begitu tiba, ia yang tengah duduk dengan membaca al qur'an kecil menoleh."Sudah pulang, Nduk. Bagaimana?" tanya dia penasaran."Ngga papa, Bu. Ternyata salah satu make-up yang aku gunakan ternyata sudah kadaluarsa.""Kok bisa?"Aku ceritakan saja tentang foundation yang kutemukan dikolong ranjang. Ibu hanya mengangguk-angg
"AINUN!" Bang Ridho berkata membentak, baru kali ini aku melihat kemarahan Bang Ridho. Apa aku salah? Menasehatinya karena melihat rumah tangga mereka yang tak sehat."Lebih baik diam kalau tak tau apa-apa! Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku tanpa kuminta. Mengerti!" Bang Ridho menatapku nyalang."Tapi, Bang!""Cukup! Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku."Bang Ridho beranjak dari duduk, berniat untuk pergi meninggalkan tempat ini."Bang!" aku masih berusaha memanggil."Urusi saja bakal rumah tanggamu! Jangan ikut campur rumah tanggaku. Percayalah, semua rumah tangga memiliki kadar cobaan sendiri-sendiri. Kamu juga nanti saat dengan Fahri memiliki masalah tersendiri. Semoga kamu kuat!"Deg! Apa maksud dari Bang Ridho, apa Bang Ridho tahu sesuatu dan tak mau mengatakannya padaku.'Ya Allah, aku sudah lelah mengalami cobaan rumah tangga dengan Mas Wisnu. Kuharap badai dalam rumah tanggaku dengan Fahri tak sekencang dulu.' Aku menatap kepergian Bang Ridho. Apa aku memang salah?
"I-itu kan wanita yang tadi kan, Pak?" aku meyakinkan diri bahwa wanita yang tengah berbincang dengan Fahri itu wanita yang pongah tadi."I-iya, Bu. Saya tak lupa wajah sombongnya." kali ini Pak Sopir berkata apa adanya. Memang terlihat jelas kesombongannya hanya dari wajahnya.Fahri mendekat kemobilku, aku segera membuka pintu. Tak enak jika harus Fahri yang membukakan, sangat terlihat jika aku begitu manja. Aku bukan Ning Ria."Ainun, ayo, Mbak Diva sudah menunggu!" aku melangkah ragu, menatap wanita yang tadi bertemu dijalan."Kamu kan wanita yang tadi!" tunjuk wanita sombong itu."Mbak Diva sudah bertemu dengan Ainun?" tanya Fahri heran.Aku melongo. Mbak Diva! Bagaimana mungkin wanita yang ugal-ugalan dan pongah itu ternyata Kakak Fahri? Duh ...."Iya, ini wanita yang tadi aku ceritakan sama kamu, Fah! Wanita yang jual mahal tapi nyatanya mau juga. Tak nyangka ternyata dia itu tunanganmu. Kamu nemu di mana?" Deg! Ada sebuah jarum menusuk hati ini, sakit walau sedikit.Fahri men
Hatiku masih deg-degan, takut ternyata orang jahat bagaimana?"Bang Ridho?" aku heran ketika yang datang ternyata Bang Ridho. Kuedarkan pandangan berharap ada sosok istrinya Ning Ria."Eee ... Ainun, a-apa istriku kesini?" terlihat raut wajah khawatir Bang Ridho.Ning Ria? Kesini? Apa mereka bertengkar hingga Ning Ria kabur dari rumah."Ning Ria? Tidak, Bang. Emang ada apa? Abang bertengkar dengannya."Expresi Bang Ridho aneh, dia terlihat enggan mengatakan. Mungkin takut aku akan kembali ikut campur."Jawab saja, Nun. Ria nggak kesini?" Aku mengeleng, "ngga ada yang kesini, Bang.""Ya sudah!" ia mengaruk kepalanya gusar. Ada masalah apa kiranya."Mungkin pulang kerumahnya kali, Bang!" akhirnya aku beranikan diri berkata."Ngga mungkin, dia ngga akan berani pulang kerumah sendiri, apalagi diantara kami tak ada pertengkaran."Aku makin heran, kalau tidak bertengkar bagaimana mungkin Ning Ria pergi dari rumah begitu saja."Ya sudah, Nun. Aku pulang dulu, siapa tahu kalau dia sudah pula
"Bude ...!" panggilku saat mengetahui Bude tengah melihat aksi konyolku. Aku menutup wajah karena malu."Masuk, Bude. Maaf, tadi ... tadi ...."Bude tersenyum, "Ngga papa, Nun. Bude ngertu kok perasaanmu.""Heee ... Iya, Bude.""Bude harap ini menjadi pernikahanmu yang terakhir. Belajarlah dari masa lalu ya, Nduk!"Aku mengangangguk, mengaminkan setiap do'a yang terucap dari mulut Bude."Bude sangat ingin melihat kamu bahagia, Kuharap Fahri bisa menjadi suami yang pengertian, perhatian, setia dan yang lebih penting mampu menerima Aira sebagai mana penganti ayahnya. Satu hal penting itu yang memang harus di pertimbangkan janda beranak ketika menikah lagi. Kamu bisa lihat sendiri diberita, bagaimana ayah tiri membunuh anak tiri atau bahkan menghamilinya. Maaf, bukan aku ragu pada Fahri, Nduk. Bude cuma sedang bercerita bahwa point penting janda ketika menikah itu sayang juga ke anak tiri, bukan hanya mencintai ibunya. Harus satu paket yang tak boleh terpisahkan."Setiap kata yang teruca
Terlihat Fahri begitu gugup ketika perempuan itu mendekat, ada raut tak enak padaku."Siska!" Akhirnya Fahri mengucapkan nama juga. Perempuan itu pasti bernama Siska."Iya, Fah. Gimana kabarmu, kenapa semenjak kejadian itu kamu menghilang. Kamu sudah sembuhkan dan apa ... Dia calon istrimu?" Perempuan bernama Siska itu melihat kearahku."Maaf ya, Sis. Aku masuk dulu." Entah kenapa kulihat wajah Fahri memerah bahkan terlihat begitu gugup. Ada apa diantara mereka. Sembuh dari apa?Fahri langsung masuk kedalam, kuikuti setelah sebelumnya berpamitan dengan perempuan itu. Bagaimana Fahri bisa kenal dengan yang aku yakini dia bukan perempuan baik-baik.Fahri menemui pemilik butik, yang sebelumnya telah terlebih dahulu membuat janji. Beberapa pertanyaan terlempar kearahku, bagaimana model baju yang aku inginkan warna serta ukuran. Fahri hanya diam saja dan sekali menimpali jika ia menyangkut dirinya.Aku cukup senang karena antara seleraku dan selera Fahri sedikit sama, jadi tak perlu repot-
Hah, Fahri sudah berbaring? Segera aku membuka pintu kamar mandi lebar. Walau dada ini deg-degan tapi aku berdosa jika membuat suamiku menunggu untuk melakukan haknya.Setelah menyisir rambut, aku beranjak naik keatas tempat tidur. Kupikir posisi Fahri yang menutup mata dengan lengan tangannya, dia sedang menungguku.Aku naik keatas tempat tidur, memposisikan di samping Fahri. Namun, saat aku akan mendekat pada tubuhnya, aku mendengar dengkuran halus dari mulutnya. Ah ... Fahri sudah tidur.Aku memaklumi, mungkin kelelahan hari ini yang membuat ia begini atau tadi aku yang mandi terlalu lama.Bodoh! Kutepuk keningku sendiri. Hanya karena gugup aku milih berlama-lama di kamar mandi. Kan jadi begini, kasian Fahri. Aku mengerucutkan bibir. Kemudian menarik selimut untuk ikut terlelap dalam mimpi."Dek, bangun!" Berlahan tubuhku digoyangkan secara halus. Aku menggeliat, siapa sii? Aku kan masih ngantuk."Bangun, Dek. Kita salat subuh!" Aku terperanjat dan baru ingat kalau aku sekarang ist
PoV RiaHari ini rasanya aku mual sekali, tapi tetap kupaksakan untuk datang ke pernikahan Fahri dan Ainun. Walau aku akui sudut hati ini ada yang tak ikhlas. Namun, aku berusaha untuk tetap terlihat tersenyum. Rasa kesal dan dendam pada Mas Ridho yang menikahi ku secara tiba-tiba kini sedikit terkikis. Semua karena aku akui bahwa Mas Ridho sebenarnya laki-laki yang sangat baik.Walau Mas Ridho sudah melarang ku untuk tidak hadir dan beristirahat, tapi aku tak enak pada Fahri. Nanti aku di kira masih dengki padanya atas pernikahannya dengan Ainun. Terlebih Ainun, yang selalu menaruh curiga atas apa yang terjadi dalam rumah tanggaku."Kita ke Klinik ya?" Mas Ridho menawariku ketika turun dari podium pernikahan.Aku sempat mual-mual, bahkan Fahri dan Ainun mengira aku hamil. Mana mungkin aku hamil jika aku saja masih perawan. Lucu!Pernikahan sudah dua bulan tapi aku belum menyerahkan diri. Aku masih menolak jika suamiku mulai merayu. Beruntung dia cukup mengerti, tapi pengertiannya jus