Share

PERGI

last update Last Updated: 2022-04-12 10:34:30

RIDA

Entah setan apa yang merasuki pikiran mas Adnan. Rumah tangga yang aman sentosa dia akhiri demi napsu semata. Setidakberharga itu, kah tujuh tahun kebersamaan kami. Lalu, apa arti bakti dan ketaatanku selama ini?

Katanya dulu ia cinta mati. Akan bersama hingga raga menua. Nyatanya, silang kata itu pemanis bibir saja. Aku kini, tak lebih dari sepah yang dibuang setelah manisnya hilang.Jika ada penobatan lelaki tertega, itu pantas disematkan padanya.

Kalaulah aku seorang pendosa. Durhaka dan tak tahu diri wajarlah ia berpaling . Ini’kan tidak. Hubungan kami pun baik-baik saja. Jangankan bertengkar, bahkan bersuara tinggi padanya pun aku tak pernah

Ah, sudahlah! Takdir tak dapat diubah. Jodohku dan jodohnya hanya di rentang tujuh tahun saja. Meski belum dapat kulihat hikmah di balik tragedi ini, aku percaya pasti ada kebaikan di depan sana.

*

“Papa, kok belum pulang, Ma?” tanya Azka, putra sulungku setelah hari ketiga papanya tak datang lagi.

“Papa masih banyak kerjaan, jadi belum bisa pulang,” jawabku atas pertanyaan yang entah sudah berapa kali ia lontarkan. Sebanyak itu pula aku berbohong agar anak sekecil itu tak perlu masuk pada hal yang belum pantas diketahui.

“Kerjanya lama amat. Kakak ‘kan pengen ketemu papa. Katanya mau beliin mobil-mobilan baru,” rajuk Azka. Kalau sudah begini aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bicara apa untuk membuatnya mengerti bahwa Sekarang keadaannya beda. Papa takkan tinggal bersamanya lagi. Acara bermain dan beli mainan mungkin takkan pernah terjadi lagi.

“Kakak sekarang mandi dulu, ya. ‘Kan udah Ashar harus pergi ngaji?” titahku untuk mengakhiri pertanyaan yang jawaban aslinya pasti menyedihkan. Sebelum ia menyanggah, aku cepat-cepat meraih tangannya dan membawa anak ini ke kamar mandi.

“Kakak mandi sendiri, ya. Mama mau ambil adik. Bangunkayaknya, ”perintah lanjutanku pada anak lelaki itu.

Azka tak menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan. Setelah menutup pintu kamar mandi aku bergegas menuju kamar.

“Eh, anak Mama bangun! Kok, nangis?” ucapku pada putri kecil yang baru berusia dua tahun. Aku meraih dan mendudukkannya di pangkuan.

Kukecup pipi gembul yang membuat siapapun jadi gemas. Dilihat dari sisi manapun Azkia amatlah lucu. Namun, aku bingung mengapa kelucuan putri kecil ini tak membuat mas Adnan mengubah pikirannya. Setersesat itukah napsunya.

Padahal katakan saja apa kurangku supaya bisa memperbaiki diri. Demi kelanggengan rumah tangga, aku rela menjadikan diri lebih baik lagi. Alih-alih menjawab pertanyaan tentang kekurangan, ia malah membentengi hatinya dengan napsu bertopengkan cinta.

Katanya ia tak sanggup menahan hasrat pada Ela hingga takut terjerumus pada dosa. Dengan alasan itu ia bergeming saat air mata ini jatuh sebab sakit yang tak terlukiskan.

Ketika kutawarkan poligami, ia katakan Ela tak bersedia jadi istri kedua. Wanita itu memberi syarat jika mas Adnan menginginkannya, maka aku harus diceraikan.

Kesedihan, kemarahan dan kehancuranku bagai debu tertiup angin. Semuanya tak berarti apapun di sisinya.

Keras, teramat keras hatinya saat ini.

“Ibu jangan pergi, rumah ini hak ibu dan anak-anak. Enak saja pelakor jalang itu yang menguasai semuanya. Saya gak rela, Bu!” ucap bi Enah yang sudah membantuku mengurus rumah tiga tahun lamanya. Aku mempekerjakan asisten saya mengandung Azkia. Sebelumnya semua kutangani sendiri.

“Saya tak ingin hidup dalam bayang-bayang masa lalu, Bi. Saya juga ingin menyelamatkan anak-anak dari hayalan kebersamaan dengan papanya. Mereka akan lebih menderita kalau ada di sini. Saya ingin pergi dan melupakan semuanya. Saya dan anak-anak berhak bahagia!”

Bi Enah memelukku. Ia terisak-isak sebab terlalu sedih melihat nasib majikannya ini.

“Bawa semua benda berharga, Bu. Jangan sisakan satupun untuk pelakor itu. Jual saja semua benda-benda ini dan bawa uangnya pergi!” saran bi Enah. Nampak sekali emosi dari nada suara yang dikeluarkan.

Aku menggeleng perlahan. Kukatakan semua barang itu milik mas Adnan.

Meski ada hak anak-anak, nanti saja kalau sudah besar urusannya.

Aku ingin menjauh dan menenangkan diri dalam batas waktu tertentu. Mungkin dengan pergi dari masa lalu, luka ini dapat sembuh secepatnya. Akan lebih menyakitkan kalau aku harus menyaksikan kemesraan pasangan itu.

Dengan terpaksa, bi Enah mengepak barang-barang yang akan kubawa. Sesekali ia masih menyeka air mata. Aku tahu kesedihan itu bukan rekayasa. Namun, keputusan pergi ini sudah bulat.

Aku hanya membawa barang-barang yang memang diakadkan untuk pribadi saat dibelikan mas Adnan. Seperti perhiasan, pakaian, uang, surat tanah dan mobil yang dibeli atas namaku. Ponsel akan kutinggalkan agar tak bisa dilacak. Mobil pun rencananya akan dijual agar tak meninggalkan jejak.

Setelah semua beres, aku pamitan pada bi Enah. Saat kuberi uang pesangon ia menolak. Katanya nanti minta saja pada mas Adnan. Meski dipaksa, ia tetap menolak.

“Ini surat untuk mas Adnan. Tolong sampaikan padanya. Sekali lagi saya minta maaf telah membuat bi Enah repot. Maaf, Bi!”

Kami berpelukan tanpa bisa menahan jatuhnya air mata kembali. Wanita paruh baya ini mengelus punggungku. Tak lupa ia melantunkan doa untuk kebaikanku dan anak-anak.

“Hati-hati, ya, Bu!”

Setelah itu ia tak bisa berkata lagi. Air matanyalah yang mengiringi kepergian ini.

Selamat tinggal, Mas. Kuharap kita takkan pernah bertemu lagi. Biarlah segala sakit hati dan derita ini, Allah yang akan membalasnya. Aku berjanji akan mendidik anak-anak sebaik-baiknya. Yang pasti mereka tak boleh mewarisi sifatmu..

Sebelum benar-benar pergi, aku menoleh sekali lagi. Kukedipkan mata dua kali untuk menahan runtuhnya kembali air mata. Aku harus tegar menutup masa lalu dan menatap masa depan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Baguslah Rida pergi sejauh mungkin dari mantan suaminya
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
laki² kalau udah ujiannya terhadap wanita rmang susah kalau ga kuat iman
goodnovel comment avatar
Ati Husni
yang kuat ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • WAJAH ASLI ISTRI BARUKU    ENDING

    RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in

  • WAJAH ASLI ISTRI BARUKU    MENUJU ENDING

    RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel

  • WAJAH ASLI ISTRI BARUKU    TERDALAM

    ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.

  • WAJAH ASLI ISTRI BARUKU    LUPA

    ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber

  • WAJAH ASLI ISTRI BARUKU    TAKUT

    ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada

  • WAJAH ASLI ISTRI BARUKU    BINTANG

    ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status