Share

Anggap Aku Seperti Kekasihmu!

Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai.

"Aduh ...." Bara mengerang.

Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri.

"Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.

Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan.

"Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik.

"Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.

Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka.

"Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up. 

"Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya.

"Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit kuning langsat itu mengerutkan keningnya.

Aku menggeleng pelan.

"Belum kenal tapi, kok ...."

"Hei, cepatlah! Jangan mengobrol, nanti Tuan Bara marah karena menunggu terlalu lama." Miranda menimpali.

"Nona, kamu suka yang mana? Ini atau ini?" tanya Tika sambil memperagakan dua buah gaun padaku, satu berwarna peach dan satunya lagi berwarna maroon. Di mataku keduanya tampak bagus.

"Terserahlah, aku tak paham."

Miranda mendekat, memperhatikan dua buah gaun itu dengan saksama dan menunjuk gaun berwarna maroon, "Yang ini simpel, tetapi aku yakin kalau Nona Laras yang memakainya pasti akan terlihat anggun."

Aku menghirup napas dalam mendengar panggilan yang mereka sematkan padaku, sungguh rasanya aku tidak cocok dengan panggilan itu.

"Apa aku bisa minta tolong?" tanyaku menatap mereka bergantian.

"Tentu!" sahut Miranda, "Apa yang harus kami lakukan?"

"Jangan panggil aku nona! Cukup panggil Laras saja!"

Serentak mereka menggeleng, "Tidak mungkin, kami tidak siap ditegur apalagi sampai dipecat oleh Tuan Bara," ucap Tika.

"Ya, sudah ... ayo kita mulai!" Miranda menyerahkan baju berwarna maroon padaku agar aku segera berganti pakaian.

                                                                            ***

"Perfect." Miranda tersenyum puas setelah meletakkan lipstik kembali ke dalam koper kecil yang dia bawa.

"Ayo kita lihat penampilanmu hari ini!" Tika menggandengku menuju sebuah cermin besar yang terpasang di lemari.

"Terima kasih," ucapku sembari memutar badan ke kiri dan ke kanan.

"Pakai ini agar semakin wah." Sebuah tas kecil berwarna silver diberikan Miranda padaku, juga sepasang high heels berwarna senada. Entah ke mana lagi Bara akan membawaku hari ini sampai-sampai aku harus berdandan secetar ini.

"Silakan temui sang pangeran yang sudah menunggu," ucap Tika.

"Terima kasih karena sudah membantuku.” Kupeluk mereka satu per satu, rasanya aku mendapatkan dua sahabat lagi setelah bertemu dengan mereka.

"Sudah selesai?" Aku melepaskan pelukanku dari Miranda ketika mendengar suara berat milik Bara.

"Ya," sahutku singkat.

                                                                        ***

Saat melewati lorong, Bara memperlambat jalannya, sehingga kami berdampingan, padahal awalnya aku tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

Aku seperti merasakan sengatan listrik ketika Bara menautkan jemari kami, seketika tubuhku terasa dingin dan berkeringat saat telapak tanganku bersentuhan dengan telapak tangannya. 

"Santai," ucapnya cuek tanpa menoleh.

Tidak hanya sampai di sana, ketika melewati meja resepsionis saat kami baru keluar dari lift, Bara bahkan merangkulku. Dari jarak yang sangat dekat aku bisa menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya. Meski jantung bertabuh hebat, namun sekuat tenaga kucoba untuk menenangkannya, dan ternyata itu tak mudah.

Beberapa karyawan hotel menunduk hormat pada Bara ketika kami melewati mereka. Aneh, kenapa mereka terlihat begitu menyegani Bara, sedangkan aku perhatikan itu tidak terjadi pada pengunjung lainnya yang keluar masuk. Sedangkan Bara hanya menganggukkan kepala tanpa senyuman. Ah, sepertinya laki-laki ini terlalu kaku.

Seperti yang dilakukannya semalam, Bara membukakan pintu mobilnya untukku.

"Bersikaplah biasa saja! Jangan tegang, anggap kalau aku benar-benar kekasihmu!" ucap Bara sambil menatap dalam mataku.

Seketika wajahku terasa dijalari rasa hangat begitu kalimat itu keluar dari mulut Bara.

"Apa kita harus melakukan hal yang dilakukan sepasang kekasih agar kau terbiasa?"

Belum lagi hilang rasa hangat yang menyerang wajahku, kini Bara sudah menyulutnya lagi.

Diam ... hening ... bingung, respons atau jawaban apa yang harus kuberikan.

Bara memutar tubuhnya sedikit agar berhadapan denganku, tanpa diduga satu kecupan dia daratkan di keningku.

"Belajarlah untuk terbiasa," ucapnya sambil mengelus pipiku.

Aku merutuki diriku yang hanya bisa terdiam saat Bara melakukan itu, sepertinya aku sudah terhipnotis dengan tatapannya sehingga tubuhku menerima apa pun yang dia lakukan.

Kesadaranku mulai muncul saat Bara melajukan mobilnya. Aku mengusap wajahku yang masih terasa hangat dan memperbaiki posisi dudukku.

                                                                        ***

Mobil berhenti di sebuah kafe, tapi berbeda dengan kafe tempatku bekerja, kafe ini terlihat sangat mewah dan elite.

"Ingat pesanku, bersikaplah seolah kalau kita memang sepasang kekasih!" Bara mengingatkanku lagi.

"Baik," sahutku.

"Coba buktikan!"

Keningku berkerut mendengar ucapan Bara, "Maksudnya?"

"Coba lakukan sesuatu padaku seperti yang dilakukan sepasang kekasih!"

Aku paham apa yang dimaksud Bara, tapi tetap saja aku tak bisa melakukannya, karena bagiku Bara tetaplah orang asing yang belum kukenal, bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu layaknya sepasang kekasih.

Bara melepas sabuk pengamannya, kemudian sabuk pengamanku, aku tersandar ke sandaran kursi saat dia melepaskan pengaitnya.

Napasku tertahan dengan jantung yang berdegup semakin kencang saat nyaris tak ada jarak di antara kami. Bara kembali menatapku, tak ingin terhipnotis lagi aku memalingkan wajah ke jendela.

"Bagaimana kau bisa terbiasa dengan peranmu? Menatapku saja kamu tak sanggup. Padahal aku sudah memberikan bayaranmu di awal,” cetus Bara tanpa mengubah posisinya.

"Ya sudah, kalau kau memang tak bisa ... kembalikan saja uang yang sudah kuberikan semalam. Belum habis ‘kan?”

Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Kalau Bara membatalkan kerja samanya denganku bagaimana nasib Langit? Lagi pula uang itu sudah kubayarkan pada rumah sakit.

Tanganku mencekal lengan Bara saat dia hendak menarik dirinya, karena mengingat keadaan Langit membuatku punya keberanian untuk menatap lekat mata laki-laki itu.

Kubingkai wajahnya, mengesampingkan rasa malu kukecup singkat bibirnya yang berwarna merah alami.

Bara terdiam tak berkedip, kemudian tersenyum, "Good job," ucapnya sembari menyunggingkan senyuman. Sedangkan aku? Aku merasa tubuhku mengecil. Jika bukan demi Langit, aku takkan mau terlihat seperti wanita murahan begini.

Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai.

"Aduh ...." Bara mengerang.

Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri.

"Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.

Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan.

"Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik.

"Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.

Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka.

"Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up. 

"Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya.

"Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit kuning langsat itu mengerutkan keningnya.

Aku menggeleng pelan.

"Belum kenal tapi, kok ...."

"Hei, cepatlah! Jangan mengobrol, nanti Tuan Bara marah karena menunggu terlalu lama." Miranda menimpali.

"Nona, kamu suka yang mana? Ini atau ini?" tanya Tika sambil memperagakan dua buah gaun padaku, satu berwarna peach dan satunya lagi berwarna maroon. Di mataku keduanya tampak bagus.

"Terserahlah, aku tak paham."

Miranda mendekat, memperhatikan dua buah gaun itu dengan saksama dan menunjuk gaun berwarna maroon, "Yang ini simpel, tetapi aku yakin kalau Nona Laras yang memakainya pasti akan terlihat anggun."

Aku menghirup napas dalam mendengar panggilan yang mereka sematkan padaku, sungguh rasanya aku tidak cocok dengan panggilan itu.

"Apa aku bisa minta tolong?" tanyaku menatap mereka bergantian.

"Tentu!" sahut Miranda, "Apa yang harus kami lakukan?"

"Jangan panggil aku nona! Cukup panggil Laras saja!"

Serentak mereka menggeleng, "Tidak mungkin, kami tidak siap ditegur apalagi sampai dipecat oleh Tuan Bara," ucap Tika.

"Ya, sudah ... ayo kita mulai!" Miranda menyerahkan baju berwarna maroon padaku agar aku segera berganti pakaian.

                                                                            ***

"Perfect." Miranda tersenyum puas setelah meletakkan lipstik kembali ke dalam koper kecil yang dia bawa.

"Ayo kita lihat penampilanmu hari ini!" Tika menggandengku menuju sebuah cermin besar yang terpasang di lemari.

"Terima kasih," ucapku sembari memutar badan ke kiri dan ke kanan.

"Pakai ini agar semakin wah." Sebuah tas kecil berwarna silver diberikan Miranda padaku, juga sepasang high heels berwarna senada. Entah ke mana lagi Bara akan membawaku hari ini sampai-sampai aku harus berdandan secetar ini.

"Silakan temui sang pangeran yang sudah menunggu," ucap Tika.

"Terima kasih karena sudah membantuku.” Kupeluk mereka satu per satu, rasanya aku mendapatkan dua sahabat lagi setelah bertemu dengan mereka.

"Sudah selesai?" Aku melepaskan pelukanku dari Miranda ketika mendengar suara berat milik Bara.

"Ya," sahutku singkat.

                                                                        ***

Saat melewati lorong, Bara memperlambat jalannya, sehingga kami berdampingan, padahal awalnya aku tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

Aku seperti merasakan sengatan listrik ketika Bara menautkan jemari kami, seketika tubuhku terasa dingin dan berkeringat saat telapak tanganku bersentuhan dengan telapak tangannya. 

"Santai," ucapnya cuek tanpa menoleh.

Tidak hanya sampai di sana, ketika melewati meja resepsionis saat kami baru keluar dari lift, Bara bahkan merangkulku. Dari jarak yang sangat dekat aku bisa menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya. Meski jantung bertabuh hebat, namun sekuat tenaga kucoba untuk menenangkannya, dan ternyata itu tak mudah.

Beberapa karyawan hotel menunduk hormat pada Bara ketika kami melewati mereka. Aneh, kenapa mereka terlihat begitu menyegani Bara, sedangkan aku perhatikan itu tidak terjadi pada pengunjung lainnya yang keluar masuk. Sedangkan Bara hanya menganggukkan kepala tanpa senyuman. Ah, sepertinya laki-laki ini terlalu kaku.

Seperti yang dilakukannya semalam, Bara membukakan pintu mobilnya untukku.

"Bersikaplah biasa saja! Jangan tegang, anggap kalau aku benar-benar kekasihmu!" ucap Bara sambil menatap dalam mataku.

Seketika wajahku terasa dijalari rasa hangat begitu kalimat itu keluar dari mulut Bara.

"Apa kita harus melakukan hal yang dilakukan sepasang kekasih agar kau terbiasa?"

Belum lagi hilang rasa hangat yang menyerang wajahku, kini Bara sudah menyulutnya lagi.

Diam ... hening ... bingung, respons atau jawaban apa yang harus kuberikan.

Bara memutar tubuhnya sedikit agar berhadapan denganku, tanpa diduga satu kecupan dia daratkan di keningku.

"Belajarlah untuk terbiasa," ucapnya sambil mengelus pipiku.

Aku merutuki diriku yang hanya bisa terdiam saat Bara melakukan itu, sepertinya aku sudah terhipnotis dengan tatapannya sehingga tubuhku menerima apa pun yang dia lakukan.

Kesadaranku mulai muncul saat Bara melajukan mobilnya. Aku mengusap wajahku yang masih terasa hangat dan memperbaiki posisi dudukku.

                                                                        ***

Mobil berhenti di sebuah kafe, tapi berbeda dengan kafe tempatku bekerja, kafe ini terlihat sangat mewah dan elite.

"Ingat pesanku, bersikaplah seolah kalau kita memang sepasang kekasih!" Bara mengingatkanku lagi.

"Baik," sahutku.

"Coba buktikan!"

Keningku berkerut mendengar ucapan Bara, "Maksudnya?"

"Coba lakukan sesuatu padaku seperti yang dilakukan sepasang kekasih!"

Aku paham apa yang dimaksud Bara, tapi tetap saja aku tak bisa melakukannya, karena bagiku Bara tetaplah orang asing yang belum kukenal, bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu layaknya sepasang kekasih.

Bara melepas sabuk pengamannya, kemudian sabuk pengamanku, aku tersandar ke sandaran kursi saat dia melepaskan pengaitnya.

Napasku tertahan dengan jantung yang berdegup semakin kencang saat nyaris tak ada jarak di antara kami. Bara kembali menatapku, tak ingin terhipnotis lagi aku memalingkan wajah ke jendela.

"Bagaimana kau bisa terbiasa dengan peranmu? Menatapku saja kamu tak sanggup. Padahal aku sudah memberikan bayaranmu di awal,” cetus Bara tanpa mengubah posisinya.

"Ya sudah, kalau kau memang tak bisa ... kembalikan saja uang yang sudah kuberikan semalam. Belum habis ‘kan?”

Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Kalau Bara membatalkan kerja samanya denganku bagaimana nasib Langit? Lagi pula uang itu sudah kubayarkan pada rumah sakit.

Tanganku mencekal lengan Bara saat dia hendak menarik dirinya, karena mengingat keadaan Langit membuatku punya keberanian untuk menatap lekat mata laki-laki itu.

Kubingkai wajahnya, mengesampingkan rasa malu kukecup singkat bibirnya yang berwarna merah alami.

Bara terdiam tak berkedip, kemudian tersenyum, "Good job," ucapnya sembari menyunggingkan senyuman. Sedangkan aku? Aku merasa tubuhku mengecil. Jika bukan demi Langit, aku takkan mau terlihat seperti wanita murahan begini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status