Share

Mantan

Bara keluar dari mobil, kemudian berputar dan membukakan pintu untukku, tangannya terulur bak seorang pangeran menyambut permaisurinya.

Aku tak bergeming.

"Come on," ucapnya.

Dengan ragu kusambut uluran tangannya. Bara menggenggamnya dan sedikit meremasnya.

"Sepertinya kamu kedinginan," ucap Bara. Dia semakin mendempetkan tubuhnya padaku saat kami berjalan masuk ke dalam kafe.

Ya, aku memang kedinginan, karena darahku rasanya seakan berhenti mengalir.

"Rileks, jangan tegang begitu," bisiknya di ubun-ubunku.

Di tengah-tengah kafe aku melihat ada sekumpulan orang, salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah kami seakan memberi isyarat.

"Santai, jangan lupa tersenyum dan ingat jangan banyak bicara. Tetaplah berada di sampingku dan jangan pernah lepaskan genggamanku, karena apa yang kau lihat nanti bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bisa saja mereka tersenyum di depanmu, tetapi mencibir di belakang, bisa saja mereka baik di depanmu, namun punya rencana lain di belakangmu. Paham? Satu lagi, jangan pernah tundukkan kepalamu!"

Aku mengangguk, karena sudah hafal semua pesan-pesan Bara.

"Selamat siang," sapa Bara.

Beberapa orang yang awalnya asyik mengobrol sambil menikmati hidangan menatap padaku dan bergantian pada Bara, sepertinya mereka mempertanyakan siapa aku.

"Dia Laras--kekasihku." Bara menatap padaku dan tersenyum.

"Wow ... ternyata kamu bisa mendapatkan yang lebih cantik daripada Sesil. Aku yakin dia pasti akan sangat menyesal dengan keputusannya," celoteh seorang laki-laki berambut ikal, jika aku perhatikan mungkin usianya tidak jauh beda dengan Bara.

"Ya, selain cantik Laras juga sangat baik." Bara meraih tanganku dan mengecupnya. Sumpah, aku gugup sekali, badanku panas dingin dibuatnya. Apalagi saat menatap matanya yang tajam.

"Ayo, Sayang, kita duduk." Bara menggeserkan kursi untukku di antara sekumpulan orang itu.

Setelah itu aku hanya diam, sedangkan mereka mulai diasikkan dengan pembahasan yang entah apa, karena pikiranku malah tertuju pada Langit. Harap-harap cemas menunggu hari di mana dia akan dioperasi. Semoga anakku kuat menjalaninya.

"Iya, kan, Sayang?" Aku tersentak ketika Bara meremas tanganku.

Aku hanya mengangguk sesuai dengan apa yang diperintahkan Bara, meskipun aku tak tahu entah apa yang ditanyakannya.

"Bara, aku mau ke toilet," bisikku.

"Pergilah dan cepat kembali," sahutnya.

"Permisi semuanya," pamitku pada teman-teman Bara. Dan aku tak yakin, apa mereka memang berteman atau hanya terikat dalam sebuah simbiosis.

                                                                        ***

"Laras?"

Aku terkejut saat seorang laki-laki menyebut namaku dengan suara yang sangat familier di telingaku, meski sudah sekian tahun aku tak mendengar suara itu.

"Denis?" Dia adalah ayahnya Langit. Ayah yang tak mau tahu tentang keadaan anaknya. Ayah yang lebih memilih meninggalkan anaknya demi untuk bersama dan bersenang-senang dengan gundik peliharaannya. Lalu, masih pantaskah panggilan itu disematkan padanya? Tidak! Sama sekali tidak.

"Sepertinya kau hidup bahagia sekarang," ucapnya sambil tersenyum, tapi aku muak melihatnya.

"Ya, seperti yang kau lihat. Aku bahkan jauh lebih bahagia dari apa yang terlihat olehmu," sinisku. Sengaja tak kuberi tahu keadaanku yang sebenarnya, apalagi menceritakan Langit, tak ada niat sedikit pun untuk memberi tahukan padanya.

"Selain itu kau juga tampak lebih cantik." Laki-laki bajingan itu mendekat padaku. Aku mundur, namun sayang, ternyata posisiku sudah di ambang pintu.

"Kenapa? Apa kau tidak merindukanku?" Denis bertanya sembari mengulurkan tangannya hendak menyentuhku.

"Jangan kurang ajar!" sergahku dan aku menepiskan tangannya.

"Jangan munafik, Laras, aku tak yakin kalau kau sudah melupakan aku dan kenangan kita." Denis mengerling nakal padaku, membuat aku semakin jijik melihatnya.

"Bahkan bertemu denganmu seperti bencana bagiku!"

Seperti tak tahu malu Denis mendorongku hingga aku kembali masuk ke dalam toilet, kemudian bergegas dia menutup pintu. Namun, beruntung, saat pintu akan tertutup ada sebuah tangan besar yang menghambatnya.

"Siapa kau? Jangan ikut campur!" hardik Denis.

"Kau mengganggu kekasihku, maka kau akan berurusan denganku!" gertak Bara sambil mencengkeram erat kerah baju yang dipakai Denis.

"Kekasih? Oh, kalau begitu selamat menikmati bekasku!" Denis menyingkirkan tangan Bara dari kerah bajunya, kemudian berlalu begitu saja setelah melemparkan senyum sinis seperti merendahkanku. 

"Bekas? Siapa dia?" tanya Bara.

"Oh, sudahlah, tak perlu dijelaskan, karena aku yakin dia pasti salah satu dari sekian orang yang memakai jasamu."

Ada yang nyeri di dalam sini mendengar Bara mengucapkan kalimat itu. Sepertinya dia benar-benar berpikir kalau aku adalah seorang wanita sewaan yang harga dirinya bisa ditukar dengan rupiah. Seandainya dia tahu ... sudahlah, lebih baik dia memang tak perlu tahu apa-apa tentang kehidupanku. 

Bara keluar dari mobil, kemudian berputar dan membukakan pintu untukku, tangannya terulur bak seorang pangeran menyambut permaisurinya.

Aku tak bergeming.

"Come on," ucapnya.

Dengan ragu kusambut uluran tangannya. Bara menggenggamnya dan sedikit meremasnya.

"Sepertinya kamu kedinginan," ucap Bara. Dia semakin mendempetkan tubuhnya padaku saat kami berjalan masuk ke dalam kafe.

Ya, aku memang kedinginan, karena darahku rasanya seakan berhenti mengalir.

"Rileks, jangan tegang begitu," bisiknya di ubun-ubunku.

Di tengah-tengah kafe aku melihat ada sekumpulan orang, salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah kami seakan memberi isyarat.

"Santai, jangan lupa tersenyum dan ingat jangan banyak bicara. Tetaplah berada di sampingku dan jangan pernah lepaskan genggamanku, karena apa yang kau lihat nanti bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bisa saja mereka tersenyum di depanmu, tetapi mencibir di belakang, bisa saja mereka baik di depanmu, namun punya rencana lain di belakangmu. Paham? Satu lagi, jangan pernah tundukkan kepalamu!"

Aku mengangguk, karena sudah hafal semua pesan-pesan Bara.

"Selamat siang," sapa Bara.

Beberapa orang yang awalnya asyik mengobrol sambil menikmati hidangan menatap padaku dan bergantian pada Bara, sepertinya mereka mempertanyakan siapa aku.

"Dia Laras--kekasihku." Bara menatap padaku dan tersenyum.

"Wow ... ternyata kamu bisa mendapatkan yang lebih cantik daripada Sesil. Aku yakin dia pasti akan sangat menyesal dengan keputusannya," celoteh seorang laki-laki berambut ikal, jika aku perhatikan mungkin usianya tidak jauh beda dengan Bara.

"Ya, selain cantik Laras juga sangat baik." Bara meraih tanganku dan mengecupnya. Sumpah, aku gugup sekali, badanku panas dingin dibuatnya. Apalagi saat menatap matanya yang tajam.

"Ayo, Sayang, kita duduk." Bara menggeserkan kursi untukku di antara sekumpulan orang itu.

Setelah itu aku hanya diam, sedangkan mereka mulai diasikkan dengan pembahasan yang entah apa, karena pikiranku malah tertuju pada Langit. Harap-harap cemas menunggu hari di mana dia akan dioperasi. Semoga anakku kuat menjalaninya.

"Iya, kan, Sayang?" Aku tersentak ketika Bara meremas tanganku.

Aku hanya mengangguk sesuai dengan apa yang diperintahkan Bara, meskipun aku tak tahu entah apa yang ditanyakannya.

"Bara, aku mau ke toilet," bisikku.

"Pergilah dan cepat kembali," sahutnya.

"Permisi semuanya," pamitku pada teman-teman Bara. Dan aku tak yakin, apa mereka memang berteman atau hanya terikat dalam sebuah simbiosis.

                                                                        ***

"Laras?"

Aku terkejut saat seorang laki-laki menyebut namaku dengan suara yang sangat familier di telingaku, meski sudah sekian tahun aku tak mendengar suara itu.

"Denis?" Dia adalah ayahnya Langit. Ayah yang tak mau tahu tentang keadaan anaknya. Ayah yang lebih memilih meninggalkan anaknya demi untuk bersama dan bersenang-senang dengan gundik peliharaannya. Lalu, masih pantaskah panggilan itu disematkan padanya? Tidak! Sama sekali tidak.

"Sepertinya kau hidup bahagia sekarang," ucapnya sambil tersenyum, tapi aku muak melihatnya.

"Ya, seperti yang kau lihat. Aku bahkan jauh lebih bahagia dari apa yang terlihat olehmu," sinisku. Sengaja tak kuberi tahu keadaanku yang sebenarnya, apalagi menceritakan Langit, tak ada niat sedikit pun untuk memberi tahukan padanya.

"Selain itu kau juga tampak lebih cantik." Laki-laki bajingan itu mendekat padaku. Aku mundur, namun sayang, ternyata posisiku sudah di ambang pintu.

"Kenapa? Apa kau tidak merindukanku?" Denis bertanya sembari mengulurkan tangannya hendak menyentuhku.

"Jangan kurang ajar!" sergahku dan aku menepiskan tangannya.

"Jangan munafik, Laras, aku tak yakin kalau kau sudah melupakan aku dan kenangan kita." Denis mengerling nakal padaku, membuat aku semakin jijik melihatnya.

"Bahkan bertemu denganmu seperti bencana bagiku!"

Seperti tak tahu malu Denis mendorongku hingga aku kembali masuk ke dalam toilet, kemudian bergegas dia menutup pintu. Namun, beruntung, saat pintu akan tertutup ada sebuah tangan besar yang menghambatnya.

"Siapa kau? Jangan ikut campur!" hardik Denis.

"Kau mengganggu kekasihku, maka kau akan berurusan denganku!" gertak Bara sambil mencengkeram erat kerah baju yang dipakai Denis.

"Kekasih? Oh, kalau begitu selamat menikmati bekasku!" Denis menyingkirkan tangan Bara dari kerah bajunya, kemudian berlalu begitu saja setelah melemparkan senyum sinis seperti merendahkanku. 

"Bekas? Siapa dia?" tanya Bara.

"Oh, sudahlah, tak perlu dijelaskan, karena aku yakin dia pasti salah satu dari sekian orang yang memakai jasamu."

Ada yang nyeri di dalam sini mendengar Bara mengucapkan kalimat itu. Sepertinya dia benar-benar berpikir kalau aku adalah seorang wanita sewaan yang harga dirinya bisa ditukar dengan rupiah. Seandainya dia tahu ... sudahlah, lebih baik dia memang tak perlu tahu apa-apa tentang kehidupanku. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mersiana Handayani
bingung kayak diulanh-ulang dbab akhir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status