WANITA KEDUA
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
“Thifa, kamu itu bego atau bodoh sih?! Kamu itu cantik, pekerjaan pun lumayan! Kenapa harus terjebak sama pria yang bukan milikmu?! Kalau aku jadi kamu, aku enggak akan takut kehilangan pria macam Aksa Gautama! Cinta boleh, tapi logika juga harus ada. Kamu itu cuma dijadikan wanita kedua yang kebetulan hadir tanpa sengaja! Kamu itu bukan akhir muaranya!”
Satu pertanyaan panjang dari Yula Naura tiba-tiba terasa seperti petir di siang bolong. Athifa Arsyana—wanita yang dengan sadar memilih menjalin asmara dengan pria beristri. Sebenarnya bukan kali ini ia merasa tertampar oleh ucapan sahabatnya. Namun, Thifa sama sekali tidak bisa melawan kehendak hatinya sendiri. Ia mencintai Aksa itu dari hati, tanpa tapi meski hanya mendapatkan luka karena hubungan yang ada tidak akan bisa bermuara.
“Thifa!” panggil Yula—sahabat sekaligus partner kerja di salah satu swalayan terbesar di kota untuk kedua kali. Melihat Thifa kerap melamun sering membuat hatinya tidak tega sekaligus marah. Marah sebab dirinya tidak bisa menghentikan kegilaan sahabatnya.
Bukannya menjawab, Thifa justru tersenyum getir membayangkan kisah asmaranya. Ia sendiri tidak menyangka kalau garis Tuhan mempertemukan hatinya dengan cinta yang rumit. Bahkan, nyaris membuat batinnya sakit terhimpit perasaan yang tidak bisa lagi ia kendalikan. Bukan keinginannya menjadi bagian dari seorang Aksa Gautama—pria pemilik restoran yang berjejeran dengan swalayan tempatnya bekerja.
“Bisa enggak, La ... aku mohon jangan hakimi perasaan ini terus-menerus. Aku tahu, aku salah. Tapi, tolong jangan ingatkan setiap hari. Seandainya aku bisa berpaling dan melupakan Aksa, aku akan senang hati pergi. Tapi, aku enggak bisa. Dadaku sesak jika kabarnya tiada,” jawabnya memohon sembari mengusap bulir bening yang menetes tanpa disadari.
Sebagai sahabat yang baik, Yula tidak tahu lagi harus berkata seperti apa lagi. Karena selama yang ia tahu, Thifa sering terlihat menangis. Namun, tidak memungkiri ada ceria di wajah cantiknya sejak berhubungan dengan pria itu. Meskipun sangat disayangkan karena keadaan justru menghalangi. Berbagai kata andai kerap terselip untuk kebahagiaannya.
“Aku minta maaf, Thifa ... soalnya aku enggak tega lihat kamu sering menangis begini kalau ingat Aksa. Padahal di luar sana masih banyak pria single yang mungkin jauh lebih baik darinya.” Yula sering merasa bersalah tanpa menghilangkan logikanya sebagai wanita soal cinta.
“Sudahlah, La. Lebih baik kita bersiap kembali bekerja. Waktu istirahat hampir habis. Tentang baik atau tidaknya itu hanya hati dan diri sendiri yang tahu. Baik untuk orang lain belum tentu baik untuk diri sendiri. Begitu juga sebaliknya,” jawabnya sembari merapikan ujung baju dan hijabnya.
Sebagai karyawan tetap di swalayan yang pemiliknya beragama muslim, mewajibkan mengenakan hijab saat bekerja. Oleh karena itu, Thifa mulai terbiasa dan merasa tenang dari berbagai rayuan pria hidung belang. Akan tetapi, kenyataan nasib membawanya terjerat oleh perhatian kecil yang perlahan membesar dari hati bukan semestinya. Bukan salah perasaan yang terlanjur tumbuh, melainkan keadaan yang tidak tepat waktu. Bukan pula salah penampilannya jika bersikap demikian.
Sebelum langkah menjauh dari musala swalayan, satu pesan mendadak mengalihkan perhatian dua wanita yang akan kembali menjalankan tugasnya. Yula memperhatikan wajah Thifa yang membentuk dua lesung pipi. Ia bisa menebak dengan mudah siapa pengirim pesan tersebut. Siapa lagi kalau bukan Aksa.
“Ya udah. Aku duluan. Jangan lama-lama balas pesannya. Nanti telat,” goda Yula tapi dengan sedikit sendiran.
Thifa mendongak, “Iya, La. Pasti.”
Bola mata seakan berbinar membaca pesan itu penuh senyum semangat. Meski hanya sekadar ucapan selamat siang atau jangan lupa makan, tetapi mampu membuat hati berbunga-bunga.
Aksa
[Kerjanya yang semangat, Sayang ... nanti habis pulang kerja, mampir ya? Aku kasih makanan menu istimewa restoran hari ini. Biar kamu enggak capek habis kerja bisa langsung makan. Ya udah. Daahh, Sayang ....] Emoji kiss menutup pesan yang memang terasa manis.
Perhatian kecil seperti ini pun terasa begitu istimewa. Aksa terkadang memberi makanan dari restorannya dengan alasan telah memesan sebelumnya. Semua itu untuk menutupi hubungannya dari Serena Jasmin—istrinya. Selama hampir lima bulan lebih hubungan yang ada masih berjalan sesuai keinginan tanpa ketahuan.
Thifa menggeleng beberapa kali, mengenyahkan kenangan waktu yang telah dijalani bersama. Semua itu akan tersimpan abadi layaknya pesan-pesan yang sering menghiasi ponselnya. Semua itu akan menjadi harta paling berharga jika suatu saat nanti hubungan yang ada harus menghilang. Setidaknya ada sisa udara untuk menyambung hidup jika nanti tanpanya.
Membayangkan saja dada seakan dipenuhi duri. Perih dan sesak. Thifa memilih membalas pesan agar pria di sana tidak menunggu terlalu lama. Biarlah dirinya saja yang merasakan gelisah karena menunggu hal yang jelas tidak akan datang.
Thifa
[Iya ini mau masuk lagi, Mas ... enggak usah repot-repot. Aku sama Yula pasti selalu makan kalau habis pulang kerja. Ya udah nanti aku mampir, tapi tetep bayar makanannya seperti biasa. Aku enggak mau nanti Mbak Rena curiga. Ya udah, Daahh ....] Emoji kiss pun tidak ketinggalan sebagai balasan.
Begitulah seorang Thifa yang terjatuh cinta pada sosok Aksa Gautama. Ia akan rela melakukan apa pun asal pria itu tetap ada menemani. Meskipun banyak dari mereka menganggapnya suatu kebodohan. Namun, sebodoh apa pun logika, hati tetap akan memiliki pembenaran untuk cinta.
Setelah membalas pesan penuh cinta, wanita yang masih berusia dua puluh tujuh tahun itu bergegas masuk swalayan untuk memenuhi kewajibannya sebagai pekerja. Thifa merasa cukup bersyukur karena baru setahun bergabung di Swalayan Melati sudah bisa menjadi karyawan tetap. Hal itu perlahan mampu mengubah perekonomian meski tidak terlalu mewah.
~
Di ruang ganti, dua wanita yang sering bersama kembali terlibat obrolan ringan. Kebiasaan mereka sejenak untuk sedikit melepaskan lelah selepas jam kerja usai.
“Apa kamu akan mampir ke tempat biasa?” tanya Yula yang tahu persis kegiatan Thifa setelah pulang bekerja.
“Hmm ... tadi Mas Aksa mau kasih makanan lagi. Kamu temenin ya? Biar Mbak Rena enggak curiga,” jawabnya santai seakan sudah biasa menghadapi tatapan wanita yang memiliki raga seorang Aksa.
Yula hanya bisa menarik napas dalam. Mengiakan ajakan wanita di sebelahnya adalah jalan satu-satunya untuk memastikan keamanan hati dan raga sahabatnya. Ia tidak mau kalau Thifa sampai dipermalukan wanita pertama yang lebih berhak atas pria di sana. Apalagi jika harus sampai di media sosial. Ia tidak akan sanggup membayangkan keadaan sahabatnya apabila itu terjadi.
“Udah belum? Kalau udah kita ke sana sekarang?” Yula pura-pura tidak bertanya tentangnya.
“Udah.”
“Ya ayo, buruan. Entar kesorean. Cuma ambil dan bayar seperti biasa, kan?” tanya Yula memastikan lagi. Kakinya merasa lelah setelah seharian berdiri dan berjalan. Pulang juga rebahan adalah keinginan terbesar saat ini.
“Iya, Yula, Sayang ... makasih buat semuanya.” Thifa memeluk wanita yang selama ini menemami dengan setia meski kadang menghakimi asmaranya.
“Enggak usah melow gini, ah! Aku akan coba tetap ada buat kamu meski cintamu itu buat tangan ini ingin menampar pria bernama Aksa.” Yula tidak kuasa menahan bulir bening saat bayang persahabatan yang selama ini terajut begitu penuh arti. Baik suka dan duka selalu menyisakan kesan tersendiri.
“Maaf ... ya udah kita ke tempatnya Mas Aksa sekarang.”
Kedua wanita itu keluar bersama menuju parkiran di dekat musala swalayan. Kebetulan rumah mereka berdekatan, jadi, sering berangkat dan pulang bersama. Karena jarak swalayan dan restoran tidak jauh, mereka hanya membutuhkan kurang dari lima menit untuk sampai di tujuan.
Thifa dan Yula pun bergesas melangkah mengambil makanan yang dijanjikan sang pria. Pelayanan yang terbilang ramah cukup membuat pembeli merasa nyaman. Bahkan, terkadang sang pemilik turun tangan sendiri menyambut pembeli. Baik itu Mas Aksa dan Mbak Rena. Seperti sekarang, pria yang ingin memberikan makanan spesial untuk Thifa telah berdiri menunggu kedatangannya.
“Selamat datang, Thifa ... ini pesanan kamu,” ujar sang pria yang menatap penuh binar rindu. Hanya cara seperti ini yang bisa ia lakukan agar bisa melihat wanita yang berhasil membelah hati dan perhatiannya.
“Makasih, Mas ... ini uangnya.” Thifa menyodorkan selembar kertas berwarna merah, lalu menunduk agar tidak terlalu kentara ada rindu yang mengguncang dada.
“Enggak usah, Thifa ... bukan untuk ini aku kasih semua ini. Aku enggak mau kamu sakit karena sering lupa makan. Kamu simpan aja lagi uangnya,” tolak pria yang tertarik sisi lain dari Athifa Arsyana. Ia bukan hanya cantik wajah, tetapi hatinya pun cantik. Selain itu, ia terpikat sifatnya yang tidak pernah menuntut apa pun darinya selain perhatian dan kasih sayang.
“Enggak apa-apa, Mas ... aku enggak mau Mbak Rena curiga,” ujar Thifa kekeh menyelipkan lembaran itu di sela genganggam tangan.
Dari arah kasir, wanita yang memiliki hak penuh atas restoran tersebut menatap penuh curiga. Bukan hanya sekali melihat prianya begitu ramah pada wanita yang sama, melainkan dari beberapa bulan lalu. Bahkan, senyum di wajah sang pria yang resmi miliknya terlihat begitu bahagia.
“Ada apa dengan tatapan Mas Aksa? Senyum itu seolah memberi tahu kalau ada cinta. Apa selama ini kamu bermain di belakangku, Mas?”
--------***--------
Bersambung
WANITA KEDUA 2Oleh: Kenong Auliya ZhafiraTerkadang kecurigaan yang tertumpuk karena pengamatan kerap memunculkan tanda tanya yang jawabannya mendekati kebenaran. Apalagi firasat seorang wanita pada pasangan. Kemungkinan benar pasti nyaris seratus persen. Serena bergegas mendekat untuk menuntaskan rasa penasarannya. Wajah prianya begitu kentara berbinar penuh bahagia. Senyum itu seakan mewakili bahasa tubuh yang jujur. “Mas ... kok, pembelinya tidak disuruh masuk? Kenapa hanya di depan pintu begitu? Tidak sopan menyambut pembeli seperti itu,” ucap Rena tiba-tiba yang sudah berada di antara mereka. Membuat ketiga orang di depannya menoleh secara bersamaan.Thifa memaksa bibirnya tersenyum untuk menyembunyikan perasaan takut sekaligus cemas. Ya, ia takut apabila hatinya harus kehilangan dan tidak bisa melihat pria di depannya jika hubungannya terbuka. Ia sengaja menatap arah lain untuk menghindari tatapan Mbak Rena yang selalu terlihat penuh bahagia bisa memiliki Mas Aksa sepenuhnya.
WANITA KEDUA 3Oleh: Kenong Auliya ZhafiraJanji orang yang tidak bisa dimiliki mungkin ibarat pasir dalam genggaman. Semakin kuat tergenggam, maka semakin sakit. Bahkan, semakin melemah genggaman, maka segalanya semakin jatuh berserakan. Dua keadaan yang sama-sama tidak bisa menjamin kebahagiaan. Akan tetapi, keyakinan terkadang menyala layaknya temaram untuk hati yang terlanjur tenggelam akan cinta berselimut cerita kelam. Thifa sekuat mungkin berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ucapan pria di sana itu adalah sebuah kesungguhan, bukan semata sekadar rayuan. Meski hubungan yang tersulam tidak wajar, tetapi perasaan justru semakin membesar. Bahkan, gejolak rindu itu mampu terus membara setelah lima bulan berlalu. Namun, ketakutan-ketakutan kecil hingga besar masih menghampiri jika mendengar cintanya sebuah kesalahan. Sementara ia hanya bermodalkan perhatian dan ketulusan. “Aku percaya sama Mas Aksa tidak akan pergi begitu saja. Aku yakin dia pasti menepati janjinya untuk selalu
WANITA KEDUA 4Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMencintai milik orang memang kerap dianggap sebagai kesalahan. Akan tetapi, rasa itu tetaplah anugerah Tuhan yang akan memberi pelajaran akan arti ketulusan dalam hidup. Sekuat apa logika menyalahkan perasaan, hati akan selalu kalah melawan.Wanita yang terjebak cinta terlarang itu menarik napasnya dalam. Thifa berucap sendiri mempertanyakan hal yang sama setiap hari tentang hatinya. Terkadang ambisi menyelimuti hati untuk bisa memiliki sang pria seutuhnya, tetapi kenyataan begitu kejam menghentikan.“Kepalaku pusing jika harus membahas tentang rasa ini terus menerus. Maafkan aku jika cinta yang ada mulai mengubahku menjadi wanita egois, Mas ... sungguh, jika bisa, aku ingin pergi dari perasaan yang rumit ini. Tapi, aku benar-benar takut kehilanganmu. Lebih baik aku menahan lara daripada enggak bisa melihat Mas Aksa sama sekali," lirihnya sekali lagi sembari memegang kepala yang perlahan berdenyut.Thifa mencoba beranjak, meninggalkan ruang t
WANITA KEDUA 5Oleh: Kenong Auliya ZhafiraMenghindar dari suatu pukulan yang datang tanpa pemberitahuan adalah hal sia-sia. Mau tidak mau, suka tidak suka tetap jalan satu-satunya adalah menghadapi. Entah nantinya akan seperti apa biarlah menjadi urusan Sang Pemberi Hidup. Meskipun ancaman kehilangan orang yang dicintai semakin besar. Thifa membaca pesan itu kedua kali dengan memasrahkan segala hubungan yang terjalin dengan sang pria. Mau ikatan itu terlepas dengan bebas atau tetap terjalin dengan setengah rasa yakin, biarlah menjadi keputusan Tuhan. Akan tetapi, rasa kehilangan memang begitu mudah mengubah perasaan tenang diselimuti gamang. “Balas enggak ya? Apa aku kasih tahu Mas Aksa dulu? Tapi, takut mereka lagi bareng. Kejadian tadi sore aja udah buat bertengkar, apalagi kalau tahu soal ini. Aku harus gimana? Apa aku temui Mbak Rena tanpa sepengetahuan Mas Aksa?” tanya Thifa tanpa pernah tahu siapa yang akan menjawab pertanyaannya.Wanita yang tidak tahu harus mengambil keputu
WANITA KEDUA 6Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKejujuran memang bisa saja membawa pada kehancuran. Begitu juga kebohongan. Akan tetapi, ada satu keadaan yang membuat dua pilihan itu menjadi bentuk keselamatan perasaan. Ya, keselamatan dari jurang kehilangan orang yang memiliki tempat istimewa di hati. Meskipun harus menempatkan harga diri pada tempat paling dasar. Wanita yang masih berusaha menelan ludahnya sendiri terus memikirkan jawaban dengan perasaan entah. Ya, Thifa merasa kejadian sekarang terlalu cepat terjadi. Di mana hubungan yang beberapa bulan terjalin secara rahasia mulai menyebarkan aroma. “Em-mm ... gimana maksudnya, Mbak?” Thifa berusaha memperlambat waktu dengan berpura-pura bodoh. Ada harapan jika dirinya akan selamat dari puluhan pertanyaan apabila karyawan swalayan berdatangan. Karena wanita di depannya kemungkinan besar memilih pergi daripada malu terperih caci. “Kamu enggak usah berlagak bodoh! Aku bisa melihat dari tatapan kalian berdua. Kamu ada sesuatu sama Mas
WANITA KEDUA 7Oleh: Kenong Auliya ZhafiraKecerobohan bertindak atau berucap terkadang memang bisa menyisakan penyesalan. Apalagi jika sesal itu meninggalkan bekas luka dan rasa malu sebab menaruhkan harga diri. Bukan tidak bisa menjaga, tetapi keadaan mengalahkan kesabaran. Meskipun semua itu hanyalah sebuah pembelaan hati yang menggadaikan nurani demi satu ikatan tidak semestinya. Ya, Thifa melakukan kebodohan tanpa pernah memikirkan harga dirinya tercecer serupa sampah. Apalagi pria yang memiliki kuasa penuh akan pekerjaannya telah memberi peringatan. “Tenang, Thifa, tenang ... kamu hanya harus bisa menahan ego agar tidak mudah terpancing lagi jika Mbak Rena bicara. Kamu harus sadar, sekuat apa membela diri, kesalahan terbesar tetap jatuh padamu. Karena kamu memang salah. Benar yang dikatakan Pak Lian,” gumamnya sekali lagi meratapi kejadian beberapa menit lalu. Beruntung yang mengetahui hanya Pak Lian—sang pemilik swalayan. Ketika tengah meratapi nasib diri, satu tepukan lembu
WANITA KEDUA 8Oleh: Kenong Auliya ZhafiraRasa bosan dan muak bisa saja menghampiri jika dihadapkan dengan pertanyaan yang berujung ancaman. Apalagi sengaja menjadikan janji masa lalu sebagai senjata. Meskipun langkah ingin sekali menjauh, tetapi keadaan justru masih terus menahan gerak kaki. Seandainya tidak pernah ada situasi yang mengikat layaknya janji sekerat, maka keraguan untuk pergi mungkin bisa saja tertanam kuat. Akan tetapi, keadaan justru membuat pertikaian hati dan akal kian panas membabat.Pria yang ingat betul ucapannya dulu akan berada di sisi seorang Serena dengan catatan membantu ekonomi keluarga seketika menarik napasnya dalam. Lalu mengembuskannya perlahan agar amarah dalam dada tidak ikut tersulut dan lekas padam. Aksa memberanikan diri menatap wanita yang memasang wajah penuh amarah. “Aku sama Thifa hanya saling peduli, Rena ... jadi tolong jangan ganggu dia dengan tingkah konyolmu seperti sekarang. Dan kalau kamu menyalahkan, jangan salahkan dia! Salahkan aku
WANITA KEDUA 9 Oleh: Kenong Auliya ZhafiraSabahat itu akan selalu dengan mudah merasakan perbedaan pada orang terdekat apabila telah terjadi sesuatu. Bukan hanya sekadar ingin tahu atau penasaran, tetapi memang ada kepedulian yang mendasari ikatan persahabatan. Apalagi jika semua pernyataan diri dibarengi kenyataan yang tepat di hadapan. Hal itu jelas semakin menambah pikiran berkelana lebih luas. Yula masih mencoba menerka apa yang kini tengah terjadi. Di mana pria yang memiliki kuasa penuh atas swalayan memberi peringatan kedua kali pada Thifa—sahabatnya. Rasa peduli dan takut hal buruk terjadi seakan berlomba memperebutkan siapa yang akan menjadi penguasa hati. “Thifa ... emangnya tadi pagi kamu kenapa? Kamu buat kesalahan tadi?” bisik Yula pada wanita yang masih memasang wajah setengah gugup. Akan tetapi, Thifa tidak menjawab dan hanya fokus pada pria yang menatapnya dengan wajah serius tapi tetap memiliki kharisma. Lian yang merasa butuh jawaban mengulangi pertanyaannya, “Ka