Share

WANITA KEDUA
WANITA KEDUA
Author: Kenong Auliya Zhafira

BAB 1

WANITA KEDUA

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

“Thifa, kamu itu bego atau bodoh sih?! Kamu itu cantik, pekerjaan pun lumayan! Kenapa harus terjebak sama pria yang bukan milikmu?! Kalau aku jadi kamu, aku enggak akan takut kehilangan pria macam Aksa Gautama! Cinta boleh, tapi logika juga harus ada. Kamu itu cuma dijadikan wanita kedua yang kebetulan hadir tanpa sengaja! Kamu itu bukan akhir muaranya!”

Satu pertanyaan panjang dari Yula Naura tiba-tiba terasa seperti petir di siang bolong. Athifa Arsyana—wanita yang dengan sadar memilih menjalin asmara dengan pria beristri. Sebenarnya bukan kali ini ia merasa tertampar oleh ucapan sahabatnya. Namun, Thifa sama sekali tidak bisa melawan kehendak hatinya sendiri. Ia mencintai Aksa itu dari hati, tanpa tapi meski hanya mendapatkan luka karena hubungan yang ada tidak akan bisa bermuara. 

“Thifa!” panggil Yula—sahabat sekaligus partner kerja di salah satu swalayan terbesar di kota untuk kedua kali. Melihat Thifa kerap melamun sering membuat hatinya tidak tega sekaligus marah. Marah sebab dirinya tidak bisa menghentikan kegilaan sahabatnya. 

Bukannya menjawab, Thifa justru tersenyum getir membayangkan kisah asmaranya. Ia sendiri tidak menyangka kalau garis Tuhan mempertemukan hatinya dengan cinta yang rumit. Bahkan, nyaris membuat batinnya sakit terhimpit perasaan yang tidak bisa lagi ia kendalikan. Bukan keinginannya menjadi bagian dari seorang Aksa Gautama—pria pemilik restoran yang berjejeran dengan swalayan tempatnya bekerja. 

“Bisa enggak, La ... aku mohon jangan hakimi perasaan ini terus-menerus. Aku tahu, aku salah. Tapi, tolong jangan ingatkan setiap hari. Seandainya aku bisa berpaling dan melupakan Aksa, aku akan senang hati pergi. Tapi, aku enggak bisa. Dadaku sesak jika kabarnya tiada,” jawabnya memohon sembari mengusap bulir bening yang menetes tanpa disadari.

Sebagai sahabat yang baik, Yula tidak tahu lagi harus berkata seperti apa lagi. Karena selama yang ia tahu, Thifa sering terlihat menangis. Namun, tidak memungkiri ada ceria di wajah cantiknya sejak berhubungan dengan pria itu. Meskipun sangat disayangkan karena keadaan justru menghalangi. Berbagai kata andai kerap terselip untuk kebahagiaannya. 

“Aku minta maaf, Thifa ... soalnya aku enggak tega lihat kamu sering menangis begini kalau ingat Aksa. Padahal di luar sana masih banyak pria single yang mungkin jauh lebih baik darinya.” Yula sering merasa bersalah tanpa menghilangkan logikanya sebagai wanita soal cinta. 

“Sudahlah, La. Lebih baik kita bersiap kembali bekerja. Waktu istirahat hampir habis. Tentang baik atau tidaknya itu hanya hati dan diri sendiri yang tahu. Baik untuk orang lain belum tentu baik untuk diri sendiri. Begitu juga sebaliknya,” jawabnya sembari merapikan ujung baju dan hijabnya. 

Sebagai karyawan tetap di swalayan yang pemiliknya beragama muslim, mewajibkan mengenakan hijab saat bekerja. Oleh karena itu, Thifa mulai terbiasa dan merasa tenang dari berbagai rayuan pria hidung belang. Akan tetapi, kenyataan nasib membawanya terjerat oleh perhatian kecil yang perlahan membesar dari hati bukan semestinya. Bukan salah perasaan yang terlanjur tumbuh, melainkan keadaan yang tidak tepat waktu. Bukan pula salah penampilannya jika bersikap demikian. 

Sebelum langkah menjauh dari musala swalayan, satu pesan mendadak mengalihkan perhatian dua wanita yang akan kembali menjalankan tugasnya. Yula memperhatikan wajah Thifa yang membentuk dua lesung pipi. Ia bisa menebak dengan mudah siapa pengirim pesan tersebut. Siapa lagi kalau bukan Aksa. 

“Ya udah. Aku duluan. Jangan lama-lama balas pesannya. Nanti telat,” goda Yula tapi dengan sedikit sendiran. 

Thifa mendongak, “Iya, La. Pasti.”

Bola mata seakan berbinar membaca pesan itu penuh senyum semangat. Meski hanya sekadar ucapan selamat siang atau jangan lupa makan, tetapi mampu membuat hati berbunga-bunga. 

Aksa

[Kerjanya yang semangat, Sayang ... nanti habis pulang kerja, mampir ya? Aku kasih makanan menu istimewa restoran hari ini. Biar kamu enggak capek habis kerja bisa langsung makan. Ya udah. Daahh, Sayang ....] Emoji kiss menutup pesan yang memang terasa manis. 

Perhatian kecil seperti ini pun terasa begitu istimewa. Aksa terkadang memberi makanan dari restorannya dengan alasan telah memesan sebelumnya. Semua itu untuk menutupi hubungannya dari Serena Jasmin—istrinya. Selama hampir lima bulan lebih hubungan yang ada masih berjalan sesuai keinginan tanpa ketahuan. 

Thifa menggeleng beberapa kali, mengenyahkan kenangan waktu yang telah dijalani bersama. Semua itu akan tersimpan abadi layaknya pesan-pesan yang sering menghiasi ponselnya. Semua itu akan menjadi harta paling berharga jika suatu saat nanti hubungan yang ada harus menghilang. Setidaknya ada sisa udara untuk menyambung hidup jika nanti tanpanya.

Membayangkan saja dada seakan dipenuhi duri. Perih dan sesak. Thifa memilih membalas pesan agar pria di sana tidak menunggu terlalu lama. Biarlah dirinya saja yang merasakan gelisah karena menunggu hal yang jelas tidak akan datang. 

Thifa

[Iya ini mau masuk lagi, Mas ... enggak usah repot-repot. Aku sama Yula pasti selalu makan kalau habis pulang kerja. Ya udah nanti aku mampir, tapi tetep bayar makanannya seperti biasa. Aku enggak mau nanti Mbak Rena curiga. Ya udah, Daahh ....] Emoji  kiss pun tidak ketinggalan sebagai balasan. 

Begitulah seorang Thifa yang terjatuh cinta pada sosok Aksa Gautama. Ia akan rela melakukan apa pun asal pria itu tetap ada menemani. Meskipun banyak dari mereka menganggapnya suatu kebodohan. Namun, sebodoh apa pun logika, hati tetap akan memiliki pembenaran untuk cinta. 

Setelah membalas pesan penuh cinta, wanita yang masih berusia dua puluh tujuh tahun itu bergegas masuk swalayan untuk memenuhi kewajibannya sebagai pekerja. Thifa merasa cukup bersyukur karena baru setahun bergabung di Swalayan Melati sudah bisa menjadi karyawan tetap. Hal itu perlahan mampu mengubah perekonomian meski tidak terlalu mewah. 

~

Di ruang ganti, dua wanita yang sering bersama kembali terlibat obrolan ringan. Kebiasaan mereka sejenak untuk sedikit melepaskan lelah selepas jam kerja usai. 

“Apa kamu akan mampir ke tempat biasa?” tanya Yula yang tahu persis kegiatan Thifa setelah pulang bekerja. 

“Hmm ... tadi Mas Aksa mau kasih makanan lagi. Kamu temenin ya? Biar Mbak Rena enggak curiga,” jawabnya santai seakan sudah biasa menghadapi tatapan wanita yang memiliki raga seorang Aksa. 

Yula hanya bisa menarik napas dalam. Mengiakan ajakan wanita di sebelahnya adalah jalan satu-satunya untuk memastikan keamanan hati dan raga sahabatnya. Ia tidak mau kalau Thifa sampai dipermalukan wanita pertama yang lebih berhak atas pria di sana. Apalagi jika harus sampai di media sosial. Ia tidak akan sanggup membayangkan keadaan sahabatnya apabila itu terjadi. 

“Udah belum? Kalau udah kita ke sana sekarang?” Yula pura-pura tidak bertanya tentangnya. 

“Udah.” 

“Ya ayo, buruan. Entar kesorean. Cuma ambil dan bayar seperti biasa, kan?” tanya Yula memastikan lagi. Kakinya merasa lelah setelah seharian berdiri dan berjalan. Pulang juga rebahan adalah keinginan terbesar saat ini. 

“Iya, Yula, Sayang ... makasih buat semuanya.” Thifa memeluk wanita yang selama ini menemami dengan setia meski kadang menghakimi asmaranya. 

“Enggak usah melow gini, ah! Aku akan coba tetap ada buat kamu meski cintamu itu buat tangan ini ingin menampar pria bernama Aksa.” Yula tidak kuasa menahan bulir bening saat bayang persahabatan yang selama ini terajut begitu penuh arti. Baik suka dan duka selalu menyisakan kesan tersendiri. 

“Maaf ... ya udah kita ke tempatnya Mas Aksa sekarang.”

Kedua wanita itu keluar bersama menuju parkiran di dekat musala swalayan. Kebetulan rumah mereka berdekatan, jadi, sering berangkat dan pulang bersama. Karena jarak swalayan dan restoran tidak jauh, mereka hanya membutuhkan kurang dari lima menit untuk sampai di tujuan. 

Thifa dan Yula pun bergesas melangkah mengambil makanan yang dijanjikan sang pria. Pelayanan yang terbilang ramah cukup membuat pembeli merasa nyaman. Bahkan, terkadang sang pemilik turun tangan sendiri menyambut pembeli. Baik itu Mas Aksa dan Mbak Rena. Seperti sekarang, pria yang ingin memberikan makanan spesial untuk Thifa telah berdiri menunggu kedatangannya. 

“Selamat datang, Thifa ... ini pesanan kamu,” ujar sang pria yang menatap penuh binar rindu. Hanya cara seperti ini yang bisa ia lakukan agar bisa melihat wanita yang berhasil membelah hati dan perhatiannya. 

“Makasih, Mas ... ini uangnya.” Thifa menyodorkan selembar kertas berwarna merah, lalu menunduk agar tidak terlalu kentara ada rindu yang mengguncang dada. 

“Enggak usah, Thifa ... bukan untuk ini aku kasih semua ini. Aku enggak mau kamu sakit karena sering lupa makan. Kamu simpan aja lagi uangnya,” tolak pria yang tertarik sisi lain dari Athifa Arsyana. Ia bukan hanya cantik wajah, tetapi hatinya pun cantik. Selain itu, ia terpikat sifatnya yang tidak pernah menuntut apa pun darinya selain perhatian dan kasih sayang. 

“Enggak apa-apa, Mas ... aku enggak mau Mbak Rena curiga,” ujar Thifa kekeh menyelipkan lembaran itu di sela genganggam tangan. 

Dari arah kasir, wanita yang memiliki hak penuh atas restoran tersebut menatap penuh curiga. Bukan hanya sekali melihat prianya begitu ramah pada wanita yang sama, melainkan dari beberapa bulan lalu. Bahkan, senyum di wajah sang pria yang resmi miliknya terlihat begitu bahagia. 

“Ada apa dengan tatapan Mas Aksa? Senyum itu seolah memberi tahu kalau ada cinta. Apa selama ini kamu bermain di belakangku, Mas?”

--------***--------

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status