Share

BAB 2

WANITA KEDUA 2

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Terkadang kecurigaan yang tertumpuk karena pengamatan kerap memunculkan tanda tanya yang jawabannya mendekati kebenaran. Apalagi firasat seorang wanita pada pasangan. Kemungkinan benar pasti nyaris seratus persen. 

Serena bergegas mendekat untuk menuntaskan rasa penasarannya. Wajah prianya begitu kentara berbinar penuh bahagia. Senyum itu seakan mewakili bahasa tubuh yang jujur. 

“Mas ... kok, pembelinya tidak disuruh masuk? Kenapa hanya di depan pintu begitu? Tidak sopan menyambut pembeli seperti itu,” ucap Rena tiba-tiba yang sudah berada di antara mereka. Membuat ketiga orang di depannya menoleh secara bersamaan.

Thifa memaksa bibirnya tersenyum untuk menyembunyikan perasaan takut sekaligus cemas. Ya, ia takut apabila hatinya harus kehilangan dan tidak bisa melihat pria di depannya jika hubungannya terbuka. Ia sengaja menatap arah lain untuk menghindari tatapan Mbak Rena yang selalu terlihat penuh bahagia bisa memiliki Mas Aksa sepenuhnya. Berbeda dengan dirinya yang hanya memiliki setengah hati dan perhatiannya. 

Sementara pria yang diam-diam memiliki wanita kedua dalam hatinya berusaha menelan ludah pelan untuk menetralkan debaran jantungnya akan kehadiran sang istri. 

“Bukannya tidak sopan, Dek ... tapi, Thifa yang buru-buru karena hari udah terlalu sore. Dan mungkin juga dia merasa lelah dan ingin segera pulang setelah bekerja,” jawabnya sengaja berbohong diselipi senyum manis. 

Wanita yang mendengar ucapan sang pria tanpa nada tinggi membuat api cemburu perlahan menyala dan memanaskan dada. Karena kata-kata manis itu bukan ditujukan untuk dirinya. Meski kerap berpikiran seperti demikian, Thifa langsung menyadari bahwa bukan haknya untuk cemburu. Tanpa diberi kode seperti ini pun, ia bisa tahu kalau sebenarnya Mbak Rena menginginkan segera pergi dan pulang ke rumah.

Kesadaran posisi dan siapa yang lebih berhak atas Aksa Gautama sering kali menjatuhkan hati dan harga dirinya sebagai wanita. Akan tetapi, perasaan yang ada mengalahkan tanpa tapi. Ia akan memilih diam merasakan segala perih dari segala resiko memberikan setengah hatinya pada pria yang menurutnya sempurna. 

“Ya udah, Mas Aksa dan Mbak Rena ... saya mau pulang dulu karena udah mendapat pesanan,” pamit Thifa sembari menarik tangan Yula—sahabatnya. Biarlah cemburu yang ada ia redam sendiri tanpa harus membuat pria di sana merasa bersalah. 

Rena yang sengaja mendekat, memperhatikan wanita bernama Thifa dan suaminya secara bergantian. Thifa yang melangkah tanpa menoleh, sang suami yang menatap punggung itu menjauh dengan wajah berbinar tanpa beralih sedikit pun.

“Lihatnya begitu banget, Mas? Suka sama Thifa?” Satu pertanyaan yang sejak tadi mencekik leher meluncur begitu saja dari bibirnya. 

Aksa menoleh, “Kalau ngomong jangan sembarangan. Entar jadi beneran.” 

“Emang itu beneran, kan? Kamu suka sama Thifa, kan? Kamu ada apa-apa dengan wanita itu, kan?  Dasar wanita murahan. Di luar aja banyak pria yang single, kenapa harus menggoda pria beristri,” tuduhnya dengan rasa begitu menggebu. Sorot mata sang pria sudah cukup memberi bukti. 

Mendengar tuduhan yang jauh dari kenyataan tentang seorang Thifa Arsyana membuat kesabaran Aksa berkurang. Memilih dirinya sebagai pelengkap setengah hati bukanlah tentang murah mahalnya seorang wanita. Ini tentang hati dan perasaan yang tidak mengenal perbedaan tanpa harus saling memaksakan. 

“Serena Jasmin ... aku tahu kamu adalah wanita terhormat dengan segudang harta yang tidak akan pernah habis. Kenapa mulai ke sini, pikiranmu selalu negatif tentang orang lain? Belum tentu Thifa itu sesuai apa yang kamu tuduhkan. Murah mahalnya seorang wanita itu bukan dari kisah asmaranya, melainkan dari cara bersikap dan berkata. Kamu paham, kan?” jelas pria yang merasa ikut terhina oleh perkataan sang istri. Bukan niat membelanya, tetapi ia melakukan itu untuk menjaga harga diri Serena agar tidak ikut terjatuh oleh tutur katanya sendiri yang tidak bisa terjaga. Bukankah ucapan pun bisa setajam belati? Bisa melukai tanpa harus terluka menganga dan berdarah. 

Wanita yang kembali merasakan nalurinya benar langsung tersulut emosi mendapati Aksa berkata tanpa memikirkan perasaannya. Ada cemburu menyeruak karena pria yang selama ini terlihat begitu setia ternyata berani membela wanita lain selain dirinya. 

“Kamu belain, Thifa, Mas?! Jadi, bener kalian bermain di belakangku?" tanyanya lagi dan lagi dengan tuduhan yang kian menjadi.

Aksa menunduk, menurunkan amarah sebisa mungkin. Pelan, ia mengangkat kepalanya seraya menatap wanita yang selama ini menemani hidup. Bukan seperti ini kehidupan yang ia inginkan. Perkataan Serena yang kadang bisa tidak terkendali pelan-pelan meredupkan cinta. Bersama Thifa, ia menemukan hati yang tidak pernah memaki dan terus memberi meski tahu tidak akan ada harapan apa pun dalam menjalani hubungan. 

“Oke, jika kamu hanya diam, Mas ... aku akan menganggap jawaban kamu adalah iya. Aku enggak nyangka kamu tega melakukan ini padaku. Aku yang selama ini di sisimu, tapi sekarang dengan mudahnya membagi hatimu pada wanita lain. Lebih muda lagi. Kalau sudah bosan, bilang, Mas ... enggak perlu begini,” ujarnya lagi tanpa meninggikan suara. Rasa kecewa tidak mungkin bisa lagi disembunyikan. 

Pria yang merasa kini disudutkan menarik napasnya dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aksa tahu betul tabiat Serena yang kerap mengubah emosi dalam satu waktu mampu menggoyahkan mental sekaligus hati dan berakhir dengan perasaan bersalah. Namun, sikapnya kali ini pada Thifa sungguh keterlaluan. 

“Bukankah mau aku diam atau menjawab, bibirmu akan selalu menuduhku begitu, Dek? Jadi, buat apa lagi menjelaskan. Aku mau kembali ke dalam, enggak enak dilihat mereka, " jawab sang pria sembari memperlihatkan tatapan orang-orang yang lewat di sekitar restoran. Kemudian pergi begitu saja, meninggalkan wanita yang mungkin mencari arti tatapan yang entah.

Sungguh, hatinya mendadak tidak rela apabila Thifa dianggap wanita murahan oleh istrinya sendiri. Bukan tanpa sebab rasa itu mendadak ada, Aksa menyadari sendiri sekuat apa wanita itu bertahan menahan harapannya untuk ego dalam hubungan yang ada. 

Rena seketika mengedarkan pandang ke sekeliling. Tatapan orang-orang malah seakan menghakimi sikapnya, padahal di sini ia menjadi wanita yang tersakiti. 

“Apa lihat-lihat? Enggak pernah lihat pasangan bertengkar?” ucapnya ketus pada orang-orang yang berseliweran di depan restoran. “Awas aja kamu, Mas ... kamu udah menyangkal ucapanku dan membuat harga diriku tercoreng,” ujarnya lagi sembari tangannya  meremas ujung baju, lalu masuk restoran dengan bibir membentuk kerucut. Umpatan dalam hati masih terus menggema tanpa ingin berhenti sebagai bentuk rasa kecewa. 

~

Sementara di rumah, wanita yang masih merasa deg-degan karena kecurigaan Mbak Rena akan kehadirannya membuat pikiran tidak tenang. Thifa mengkhawatirkan keadaan pria di sana. Hanya itu yang bisa ia berikan selama menjalani hubungan rumit ini. 

“Semoga kamu enggak apa-apa, Mas ... aku jadi khawatir begini setelah tahu tatapan Mbak Rena yang terlihat penuh curiga," ucapnya pada diri sendiri sembari menatap bungkusan makanan dari sang pujaan. 

Entah kenapa selera makan mendadak hilang. Pikiran yang selalu tertuju sosok Aksa Gautama perlahan menurunkan segala hasrat, termasuk makan. Mungkinkah efek samping dari cinta begitu besar, hingga mampu mengubah sikap manusia? Semua itu pastinya tergantung ketahanan mental masing-masing. 

“Ehem! Sayang amat, tuh, makanan cuma dilihatin? Buat aku aja kalau kamu enggak doyan.”  Yula sengaja menghampiri rumah sahabat sekaligus tetangga untuk menemani sebentar setelah kejadian tadi sore. Bahkan, ia datang tanpa memberi pesan dan langsung menggoda pada pemberian sang pria yang dengan tidak sopan membawa setengah hati untuk cinta. 

Thifa menoleh ke arah sumber suara, “Tumben main malam-malam? Ada yang ketinggalan di rumahku?”

“Iya. Aku ketinggalan rasa cemas. Kamu enggak apa-apa?” tanyanya lagi memastikan keadaan Thifa setelah kejadian tadi sore. 

Wanita yang masih saja merasa cemas hanya menanggapi dengan senyum gerir. “Aku enggak apa-apa, La ... selama Mas Aksa tidak meminta pergi, aku tidak akan berhenti dalam hubungan ini.”

Yula membuang napas kasar saat mendapati sahabatnya selalu terlihat baik-baik saja. Padahal dalam hatinya pasti menahan banyak rasa. Apalagi ditambah kejadian tadi sore. 

“Kamu kenapa selalu berpura-pura sih, Thifa? Kalau kamu sakit, bilang sakit! Kalau mau nangis, ya, nangis aja! Kamu enggak perlu selalu baik-baik saja, sedangkan pria di sana mungkin sedang mencari banyak alasan untuk menutupi kebohongannya! Kalau bisa, sudahi, Thifa ... Aku enggak mau kalau istrinya Aksa nekat dan melakukan hal yang di luar kendali,” ujar wanita yang hafal sikap sahabatnya. 

Wanita yang terjebak dengan perasaannya sendiri seketika terdiam. Bayangan istri sah memperlakukan wanita kedua para suami yang mendua mendadak melemahkan raga. Thifa sadar kejadian demikian kemungkinan cepat atau lambat akan menghampiri dirinya. 

“Aku yakin kalau Mas Aksa akan melindungi seperti janjinya selama ini yang tidak akan pergi. Dia bukan tipe orang yang munafik. Tapi, tatapan Mbak Rena tadi sore terlihat penuh curiga dan menyimpan amarah. Gimana kalau ucapan Yula beneran terjadi? Apa Mas Aksa akan tetap menggenggam tanganku? Atau malah memutuskan pergi?”

--------***--------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status