Share

BAB 3

WANITA KEDUA 3

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Janji orang yang tidak bisa dimiliki mungkin ibarat pasir dalam genggaman. Semakin kuat tergenggam, maka semakin sakit. Bahkan, semakin melemah genggaman, maka segalanya semakin jatuh berserakan. Dua keadaan yang sama-sama tidak bisa menjamin kebahagiaan. Akan tetapi, keyakinan terkadang menyala layaknya temaram untuk hati yang terlanjur tenggelam akan cinta berselimut cerita kelam. 

Thifa sekuat mungkin berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ucapan pria di sana itu adalah sebuah kesungguhan, bukan semata sekadar rayuan. Meski hubungan yang tersulam tidak wajar, tetapi perasaan justru semakin membesar. Bahkan, gejolak rindu itu mampu terus membara setelah lima bulan berlalu. Namun, ketakutan-ketakutan kecil hingga besar masih menghampiri jika mendengar cintanya sebuah kesalahan. Sementara ia hanya bermodalkan perhatian dan ketulusan. 

 “Aku percaya sama Mas Aksa tidak akan pergi begitu saja. Aku yakin dia pasti menepati janjinya untuk selalu ada.” Thifa meyakinkan diri sendiri kedua kali. Menghibur dengan kata-kata 'tidak akan' kerap membuat hati menjadi lebih baik. Namun, hati tidak bisa berbohong kalau gelisah akan hal itu sering datang mengganggu. 

Sebagai sahabat yang tahu persis kisah cinta rumit itu, Yula sering mengingatkan sebab akibat dan sebisa mungkin tetap menemani apa pun kondisi Thifa—wanita yang rela terluka untuk seorang Aksa Gautama. Ia sendiri sadar bahwa hati tidak bisa meminta kepada siapa akan berlabuh. Semua telah digariskan oleh Sang Pemilik Hati. Manusia hanya bisa berserah dan menjalani sebagai ujian dan pembelajaran, atau bisa juga serupa pencarian jati diri. 

Seperti sekarang, ia mencoba menyadarkan akal yang  terlanjur terisi cinta pria beristri tanpa ingin menyudutkan atau pun menghakimi. Akan tetapi, tentang hati itu memang tidak bisa dipaksa. 

“Thifa ...  kamu denger aku, kan?” ujar Yula sembari mengusap lembut punggung yang menurutnya begitu kuat karena bisa memikul beban mencintai milik orang. 

Thifa bergegas mengusap bulir bening yang tanpa disadari menetes begitu saja membasahi pipi. “Aku enggak apa-apa, La ... aku hanya yakin kalau Mas Aksa adalah pria yang baik terlepas dari hubungan terlarang ini. Kalau dia jahat, dia pasti udah ngapa-ngapain aku. Tapi, nyatanya dia bisa menjaga semuanya. Mencium bibir ini aja bisa hanya sesekali, itu pun kalau rindu terasa mencekik leher. Aku ingin percaya kata-katanya, La ... aku mencintai dia dari sini,” jawabnya sembari menunjuk dadanya. Di mana semua rasa bersemayam penuh di satu tempat. 

“Ya udah. Aku cuma mengingatkan aja kalau resiko dari hubungan yang kamu jalani itu enggak sembarangan. Banyak yang harus disimpan di sini. Terutama keadaan hatimu sendiri yang berpura-pura kuat. Kalau kamu ingin menangis, menangis aja. Kalau begitu, aku pulang. Jangan lupa itu makanan dimakan. Kasian, entar mubazir.” Yula mengusap punggung yang berpura-pura kuat itu sekali lagi, lalu beranjak meninggalkan sahabatnya sendiri. 

“Makasih, La ... kamu memang sahabat sejati. Maaf, kalau aku sering bikin kamu marah dan repot,” ucapnya sebelum langkah Yula menjauh. 

”Sama-sama. Enggak usah berterima kasih terus. Kita ini teman, udah keharusan saling bantu.” Yula memamerkan senyum manisnya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan. 

Wanita yang masih merasa cemas itu memaksa kedua sudut bibir membentuk lesung pipi. Setelahnya kembali menatap bungkusan makanan di meja dengan hati tidak karuan. Ia masih tidak menyangka kalau kisah asmaranya akan sepelik dan serumit sekarang. Memang banyak pria single di luaran, tetapi entah kenapa justru terjatuh pada pria istimewa yang telah berpunya. Ingin menyalahkan seseorang pun tidak tahu harus kepada siapa. Karena tentang rasa tidak ada yang kuasa membaliknya kecuali Tuhan. 

“Mungkin lebih baik aku mandi lebih dulu. Lepas itu makan. Bener kata Yula, entar mubazir makanannya,” katanya pada diri sendiri, lalu bangkit untuk membersihkan diri. 

Sebagai wanita yang bekerja di salah satu swalayan besar dengan pergantian jam kerja, Thifa kerap membersihkan diri pada waktu seadanya. Ia hanya mengandalkan air hangat sebagai penyegar raga setelah seharian lelah bekerja. Tentunya ditambah pesan-pesan mesra dari sang pria. Baginya, Aksa adalah penyemangat hidup setelah kedua orang tuanya pergi untuk selamanya. 

Bersama Aksa, ia mampu menemukan sosok Ayah sekaligus Ibu yang kerap menghujani harinya dengan cinta dan kasih sayang. Bahkan, perlahan kejadian yang merenggut nyawa orang tuanya mulai samar dari ingatan. Ya, kecelakaan itu membuat hidup seorang Thifa Arsyana mau tidak mau harus tetap bertahan. Meski perih itu terus mengoyak, raga sebisa mungkin bertahan hidup. Ia rela melepas impiannya menjadi sarjana dan memilih bekerja setelah kepergian orang terkasih. 

“Kenapa aku jadi inget mereka lagi? Padahal udah lima tahun lebih berlalu,” batinnya saat baru selesai membersihkan diri. Tawa kecil terlepas begitu saja membayangkan nasibnya yang jauh dari kata sempurna. Saat-saat seperti ini selalu menumbuhkan rindu teramat sangat pada pria di sana. Apalagi setelah mendapat kejadian seperti tadi sore. Rindu dan khawatir tertumpuk menjadi satu. 

“Apa Mas Aksa baik-baik saja? Kenapa belum kasih kabar juga? Apa jangan-jangan ucapan Yula itu benar? Aku belum siap jika harus kehilangan dia saat ini,” ujarnya sembari menyisir rambut yang hanya sepanjang bahu. Akan tetapi, satu notifikasi pesan menghentikan geraknya. 

Satu pesan yang sejak tadi ditunggu akhirnya mampu melenyapkan segala ketakutan. Pria di sana masih mengingat untuk tetap dan akan selalu ada. Dengan segenap perasaan takut dan rindu, Thifa membaca pesan itu disertai debaran dada. 

Aksa

[Malam, Sayang ... kamu enggak apa-apa, kan? Maafkan kejadian tadi sore ya? Aku enggak bisa belain kamu. Kamu baik-baik di situ. Aku di sini enggak apa-apa. Kamu enggak usah terlalu mikirin. Biar aku aja. Jangan lupa makan. Pasti belum makan, kan? Kamu harus sehat, enggak boleh sakit.] 

Pesan-pesan sederhana seperti inilah yang membuat Thifa bertekuk lutut dan tidak bisa berpaling. Meskipun hanya sebuah hubungan tanpa nama, tetapi membuat hati merasa tenteram. Bahkan, impian bisa bersama suatu saat ini tidak pernah karam. Saling mengkhawatirkan seperti ini yang menumbuhkan perasaan semakin dalam. Dengan cepat, jemari lentik itu menari di layar ponsel merangkai pesan balasan. 

Thifa

[Malam juga, Mas ... aku enggak apa-apa. Mas enggak apa-apa? Aku takut kalian berantem tadi. Mbak Rena sepertinya marah. Maaf, Mas ... aku enggak ada niat buat kalian bertengkar. Mas enggak perlu khawatirin aku. Di sini aku baik-baik saja. Aku juga pasti makan. Aku hanya takut kalau hubungan ini hilang dan Mas milih pergi. Aku enggak tahu harus ke mana kalau sendiri.] 

Aksa

[Bertengkar sedikit tadi. Kamu enggak usah khawatir. Rena biar menjadi urusanku. Kamu enggak salah ngapain minta maaf? Dan kamu juga enggak usah mikir macam-macam. Aku enggak akan pergi dan enggak akan ada yang hilang. Ya udah, kamu makan gih ... love you.] 

Thifa

[Iya. Habis ini makan. Love you more.] 

Aksa

[Emoji kiss berjajar rapi seperti kereta.]

Pesan sengaja dibiarkan tidak lagi berbalas. Thifa merasa tenang mengetahui pria yang membawa hatinya di waktu kurang tepat tidak akan pergi. Ia bisa merasakan setiap kata yang tertulis adalah kesungguhan. Oleh sebab itu percik-percik api harapan untuk bersama kerap menyala begitu saja. Meskipun tahu hubungan yang ada tidak akan pernah bermuara. 

“Apakah aku salah jika mulai serakah dengan menginginkan dia? Aku tahu cinta itu tidak selalu harus bersama. Tapi, aku juga sadar bahwa itu tidak mungkin aku pinta pada Tuhan. Kenapa cinta ini harus datang di waktu yang kurang tepat?”

--------***--------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status