Share

BAB 4

WANITA KEDUA 4

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Mencintai milik orang memang kerap dianggap sebagai kesalahan. Akan tetapi, rasa itu tetaplah anugerah Tuhan yang akan memberi pelajaran akan arti ketulusan dalam hidup. Sekuat apa logika menyalahkan perasaan, hati akan selalu kalah melawan.

Wanita yang terjebak cinta terlarang itu menarik napasnya dalam. Thifa berucap sendiri mempertanyakan hal yang sama setiap hari tentang hatinya. Terkadang ambisi menyelimuti hati untuk bisa memiliki sang pria seutuhnya, tetapi kenyataan begitu kejam menghentikan.

“Kepalaku pusing jika harus membahas tentang rasa ini terus menerus. Maafkan aku jika cinta yang ada mulai mengubahku menjadi wanita egois, Mas ... sungguh, jika bisa, aku ingin pergi dari perasaan yang rumit ini. Tapi, aku benar-benar takut kehilanganmu. Lebih baik aku menahan lara daripada enggak bisa melihat Mas Aksa sama sekali," lirihnya sekali lagi sembari memegang kepala yang perlahan berdenyut.

Thifa mencoba beranjak, meninggalkan ruang tamu sembari membawa bungkus makanan yang tersisa setengah. Selera makan biasa menghilang jika pikiran terkepung keadaan sesungguhnya. Di mana duduk berdua dengan pria pujaan ibarat tangan menggapai rembulan. Tidak mungkin.

“Sayang sekali makanan ini jadi mubazir. Harusnya tadi aku bagi dua sama Yula. Apa aku ke sana aja ya? Ini lauk sengaja enggak aku acak-acak pas makan tadi.” Entah kenapa tiba-tiba terlintas bayangan Yula dalam kepala. Baginya, ia bukan hanya sekadar teman kerja dan tetangga, melainkan saudara perempuan. “Tapi, kepalaku pusing banget. Baiknya gimana ya? Apa aku telepon Yula aja suruh ke sini?” pikirnya lagi mengingat kondisi yang tiba-tiba tidak bersahabat. Mungkin karena terlalu memikirkan kejadian lalu membuat kepala memberontak lelah.

Wanita yang hatinya terbawa pria berpunya memilih duduk kembali di kursi. Jemarinya cepat mengambil ponsel dan menghubungi Yula dalam sekali sentuhan panggilan. Suara khas cemprengnya seketika menyapa telinga.

“Halo, Thifa ... ada apa? Enggak biasanya telepon malem? Aku beneran tadi enggak bawa apa pun dari rumahmu,” ujarnya berbicara tanpa jeda. Ia sedikit paham kalau seorang Thifa melakukan panggilan telepon pasti ada sesuatu yang penting.

Thifa menahan tawa, takut suara itu menambah pusing kepalanya. “Enggak, La ... ini, kamu udah makan belum? Tadi makanan dari Mas Aksa masih sisa lauknya. Mau enggak? Kalau iya ambil ke sini. Aku tunggu,” jawabnya memberi tawaran yang sama-sama saling menguntungkan. Yula dapat makanan, dirinya tidak harus pergi keluar agar kepala tidak bertambah pusing.

“Boleh deh ... sebenernya aku baru aja mau masak mi. Malam-malam gini lumayan cocok buat makan mi. Ya udah aku ke situ sekarang. Biar mi-nya buat besok aja.”

“Ya udah. Aku tunggu. Jangan kelamaan, aku mau tiduran.”

“Iya, Thifa cantik ... aku otewe nih. Ya udah.”

Sambungan telepon terputus. Thifa kembali memijat pelipisnya untuk sekadar menyamarkan sakit pada kepala yang terus menguat. Entah kenapa saat-saat seperti ini selalu merindukan sosok Aksa Gautama. Di mana kata-kata penyemangat menghujani hati yang kering tandus tanpa belaian kasih penuh kehangatan. Akan tetapi, bayangan tadi sore masih meninggalkan kekhawatiran. Ia tidak mau jika pria di sana terjebak keributan yang berarti, lalu berakhir menyakiti dan pergi. Sungguh, itu adalah hal yang tidak ingin terbayang apalagi terjadi.

Sebagai pengobat rindu yang semakin hari semakin membesar, ia hanya bisa menatap foto dan membaca pesan-pesan terdahulu. Hal itu cukup untuk mengisi setengah kerinduan dalam hatinya. Meskipun ujungnya semakin menambah perih karena tidak mampu memiliki raga sang pria.

“Aku kangen sama kamu, Mas ...,” rintihnya sembari mengusap layar ponsel. Bulir bening yang sejak tadi tertahan kini mulai lolos perlahan membasahi pipi. Rindu yang menghampiri setiap malam selalu menyesakkan dada. Bahkan, kerap menyita setengah napasnya hingga melemahkan raga.

Yula yang biasa datang tanpa suara hanya bisa menggeleng. Entah harus bagaimana lagi memberi tahu bahwa hubungan yang ada akan selalu memberi luka dan air mata. Namun, perasaan cinta itu tidak salah. Ia tidak mungkin menyalahkan terus menerus apa yang dirasakan oleh Thifa—sahabatnya.

“Ehem! Lauknya mana? Kata tadi nawarin lauk.” Wanita yang begitu ingin menampar pria bernama Aksa itu sengaja bertanya tanpa basa-basi untuk mengalihkan perhatian seorang Thifa yang tengah terkurung jeruji kegelisahan. Sebagai sahabat, ia hanya bisa menjadi teman yang selalu berada di sisi apa pun keadaannya.

Thifa sedkit terkejut, lalu bangkit dan duduk bersandar di punggung sofa. Rasa pusing itu memaksa raga lemahnya membutuhkan sandaran. Meskipun ia tahu kalau semua sakit yang ada adalah dari dirinya sendiri dengan tekad mendekati luka. Namun, itulah pilihan yang ia inginkan untuk menyambung hidup.

“Kamu cepet datengnya. Lauknya masih di meja. Tuuuhh ...,” tunjuk Thifa ke arah meja dengan dagunya. Entah kenapa rasanya begitu lelah dan lesu setelah kejadian tadi sore.

Wanita yang tahu seorang Athifa menatap meja penuh tanda tanya. Tidak biasanya ia makan dari restoran Aksa berakhir sisa. “Kamu kenapa? Tumben makan dari pria egois itu enggak habis. Nyisa lauk banyak pula. Diet?” tanya Yula pura-pura melupakan kejadian beberapa jam lalu.

Thifa tertawa getir, “Aku? Diet? Yang ada bukannya langsing, tapi kurus.”

“Ya, makanya makan yang banyak. Dan enggak usah mikirin Aksa terus. Biar aja dia sama istrinya. Udah cukup kamu nangisin pria seperti dia, Thifa ... apa kamu enggak sayang sama diri sendiri?” Yula sengaja mengembalikan pertanyaan agar wanita di depannya bisa menyadari bahwa cintanya adalah sebuah kesalahan. Meskipun itu akan serupa angin yang pergi menerbangkan dedauan.

Bukannya menjawab, Thifa justru menundukkan kepala dan menyembunyikannya di sela kedua kaki. Ada air mata yang siap tumpah selayaknya deras hujan.

“Yula ... apa segitu salahkah jika aku mencinta dia? Aku tahu dia udah punya istri. Tapi, aku juga enggak bisa menolak apa yang kurasa. Aku enggak pernah minta berada di posisi seperti ini. Jujur, iya, aku kadang sakit lihat dia begitu manis sama istrinya. Tapi, aku jauh lebih sakit jika harus tanpa dia,” tanyanya dengan kedua pipi yang banjir air mata.

Yula menarik napasnya dalam mendengar ucapan wanita yang terjebak pada raga berpunya. Memang benar kalau cinta itu bukan keslahan. Akan tetapi, jika hadir di waktu dan tempat yang salah hanya akan memberi sakit berkepanjangan. Bahkan bisa diibaratkan mendekati jurang kematian tanpa harus membawa sebilah pisau. Sebab melihatnya bersama orang yang lebih berhak rasanya sama dengan memegang bara api. Panas.

“Sst ... Thifa ... jangan nangis! Kamu enggak salah ... aku tahu kamu bukan tipe orang yang merusak rumah tangga orang. Udah, jangan nyalahin diri sendiri. Kalau kamu memang enggak bisa hidup tanpa dia, ya, udah jalani semampunya. Kalau kamu kuat, jalani. Kamu pasti paham resikonya seperti apa jika berhubungan dengan Aksa. Aku hanya minta kamu berhati-hati. Jangan sampai istrinya Aksa menyakitimu. Aku enggak rela jika kamu yang ditekan. Padahal di sini Aksa yang menginginkan kamu,” tutur Yula panjang lebar untuk menenangkan sahabatnya. Tangannya pun mengusap lembut punggung yang kerap berpura-pura kuat padahal sekarat.

Wanita pemilik mata kehitaman itu mengangkat kepala mendengar ucapan teman sekaligus tetangganya. Ada kebenaran dan penghakiman sekaligus peringatan di dalamnya. Punggung tangan lemahnya pun menghapus perlahan kedua pipi yang masih membasah sebab hujan begitu deras menghampiri hatinya.

“Udah ... sekarang jangan nangis lagi. Aku gemes sendiri lihat kamu begini. Mau aku nampar dan nyuruh kamu pergi dari pria itu ribuan kali pun, percuma! Sebab yang ada di kepala dan hatimu cuma Aksa, Aksa, Aksa, dan Aksa. Kamu ikuti aja jalan yang sedang Tuhan berikan sampai kamu lelah. Sekarang kamu tidur. Udah malem. Aku juga mau pulang. Makasih untuk lauknya,” ucap Yula sekali lagi tanpa memberi penghakiman dan pengadilan bertubi-tubi. Baginya, hukuman bagi wanita yang sadar menjadi bagian kedua adalah tersiksa jeruji rindu tanpa bisa memiliki dan kehilangan jalan untuk keluar. Itulah hukuman yang sesungguhnya. Sakit tanpa bisa menjerit.

Thifa merasakan ada kesejukan sedikit bisa bertemu Yula malam ini. Meski lauk menjadi alasannya untuk mencari tempat bicara. “Makasih, Yula ... aku jadi sedikit lebih tenang setelah bicara sama kamu. Dari tadi rasanya kepalaku pusing gara-gara kepikiran Mas Aksa," ungkap Thifa jujur.

“Enggak usah terima kasih. Kamu tidur, dan enggak usah mikirin kejadian tadi sore. Kamu doakan aja yang baik untuk diri kamu sendiri. Aku pulang," ucapnya lalu bangkit dan keluar rumah dengan perasaan setengah khawatir. Meski tahu Thifa tersesat di hati yang salah, tetapi ia mengakui kalau ada rona bahagia di wajahnya ketika tengah bersama pria pemilik dua hati. Ia tidak mungkin tega menjatuhkan lagi air mata lebih banyak untuk seorang Athifa Arsyana.

Sementara Thifa masih menatap pintu rumahnya yang terutup setelah kepergian sahabatnya. Meski ada sedikit kelegaan, tetapi bayangan pria di sana bertengkar masih saja menghantui. Bahkan pesan dari sang pria yang mengatakan baik-baik saja tidak cukup menenangkan hati dan pikiran.

Perlahan, ia beranjak menuju kamar untuk berdamai sejenak bersama malam. Melepaskan lelah yang semakin membuat hati lemah. Meski berusaha pasrah, tetapi nurani tetap saja kalah. Menyerah akan perasaan adalah keputusan yang sempat menggoyahkan langkah.

“Semoga kamu baik-baik aja ... karena jika kamu begitu, maka aku di sini pun akan baik-baik aja. Juga sebaliknya,” gumamnya dalam hati sebelum merayu kedua mata menutup. Akan tetapi, satu getaran ponsel berhasil mengalihkan perhatiannya.

Thifa mengerutkan dahi sejenak melihat pesan dari nomor tidak bernama. “Nomor baru? Siapa ya ...,” batinnya. Dengan sekali ketukan pesan itu terbaca jelas dan tertuju memang untuk dirinya.

08578xxxxxxx

[Malam, Thifa. Besok saya ingin bicara empat mata sama kamu tentang Mas Aksa. Saya tunggu kamu di area parkir swalayan. Saya benar-benar penasaran akan hubungan kedekatan kalian.]

Wanita yang merasa dunia telah menurunkan badai menggenggam erat ponselnya. Hal yang ia takutkan selama ini akhirnya benar-benar terjadi. Di mana wanita yang berhak atas diri Aksa Gautama mencium aroma kehadirannya. Resiko paling pahit pun mendadak menyedot setengah napasnya. Thifa belum mempersiapkan diri untuk hal ini jika harus kehilangan.

“Apa yang harus aku lakukan? Enggak mungkin aku menghindar dari Mbak Rena. Tapi untuk kehilangan pun aku belum sanggup ....”

-------***-------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status