Cantika tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah saat ia menjadi pasien dari seorang dokter tampan dan dingin bernama Pangeran. Di balik tatapan tajam dan sikap tegasnya, tersembunyi kelembutan yang perlahan meluluhkan hati Cantika. Namun, cinta itu bukan miliknya sendiri. Pangeran sudah bertunangan dengan Zolanda, asisten sekaligus wanita pilihan sang ayah. Zolanda bukan wanita biasa. Ia ambisius, licik, dan siap melakukan apapun demi mempertahankan Pangeran. Meski begitu, ibu Pangeran diam-diam lebih menyukai Cantika dan mendukung keputusan apapun yang anaknya ambil, meski harus melawan kehendak suaminya sendiri. Di tengah rumitnya perasaan, hadir Marsel—pria baik yang selalu ada untuk Cantika, berharap cinta gadis itu akan berbalik padanya. Tapi hati Cantika sudah tertambat pada Pangeran, meski ia tahu mencintai sang dokter berarti siap menanggung luka dan pengorbanan. Saat cinta, tanggung jawab, dan keluarga saling bertabrakan, akankah Cantika dan Pangeran berani melawan takdir demi cinta yang mereka yakini?
View MoreHujan mengguyur deras sejak pagi, menggantungkan langit dengan awan kelabu yang menyesakkan. Cantika menatap kosong ke luar jendela taksi, matanya menerobos kabut tipis yang mengembun di kaca. Suara klakson bersahut-sahutan, dan jalanan ibu kota macet seperti biasa. Tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.
Ia sedang menuju rumah sakit tempat ia akan diperiksa oleh dokter baru—dr. Pangeran. Namanya saja sudah membuat dada Cantika berdebar sejak seminggu lalu saat nama itu disebut perawat. "Dokter spesialis baru, sangat berbakat dan cukup terkenal di kalangan sosialita," kata mereka. Tapi Cantika tidak tertarik dengan popularitas. Ia hanya ingin sembuh. Tubuhnya yang kian lemah membuatnya sering sesak dan pingsan tanpa sebab. Begitu taksi berhenti di depan rumah sakit mewah itu, Cantika menarik napas panjang. Hatinya diliputi keraguan. Ia bukan siapa-siapa, hanya wanita biasa dengan latar belakang sederhana. Tapi rumah sakit ini—tempat orang-orang kaya berobat—terlalu megah untuknya. Di lobi, semuanya serba putih, dingin, dan wangi antiseptik. Cantika melangkah pelan ke meja informasi. “Saya ada janji dengan dr. Pangeran,” ucapnya pelan. Perawat menatapnya cepat dari atas ke bawah, seolah menilai dari penampilan bahwa Cantika bukan pasien kalangan atas. Tapi wajahnya langsung berubah sopan saat membaca nama di sistem. “Silakan ke lantai tiga, ruang 305. Dokter sudah menunggu.” Cantika mengangguk dan menuju lift. Ia berusaha mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Entah kenapa jantungnya berdebar seperti sedang mau ujian nasional. --- Dr. Pangeran baru saja melepaskan sarung tangan operasi saat asistennya, Zolanda, masuk ke ruangannya. “Pasien berikutnya sudah di lantai tiga,” katanya dengan suara datar tapi halus. Pangeran hanya mengangguk. Wajahnya tenang, namun selalu terlihat dingin dan tak bisa ditebak. Banyak yang bilang ia tak pernah tersenyum kecuali pada pasien anak-anak. Tapi bahkan saat tersenyum pun, matanya tetap tak menunjukkan kehangatan. Tak lama kemudian, pintu diketuk. Zolanda membukanya. “Silakan masuk,” katanya. Cantika masuk dengan langkah ragu. Dan saat matanya bertemu mata dokter itu, napasnya tercekat. Tinggi, tampan, bersih, dengan tatapan tajam namun misterius—itulah yang dilihatnya. “Cantika,” katanya pelan, membaca nama dari berkas. “Silakan duduk.” Cantika duduk, mencoba menenangkan dirinya. Tapi bagaimana bisa tenang kalau doktermu tampak seperti pangeran dalam dongeng? Pangeran membaca laporan medis Cantika. “Sering pingsan, nyeri dada, dan sulit bernapas saat stres?” tanyanya. “Iya, Dok,” jawab Cantika lirih. “Pernah trauma sebelumnya?” Cantika sengerjap, terdiam. “Pernah Kecelakaan… waktu kecil. Ayah saya meninggal di depan mata saya.” Pangeran berhenti menulis sejenak. Ada sesuatu dalam sorot mata Cantika yang membuatnya tak bisa langsung mengalihkan pandangan. Luka. Kepedihan. Tapi dibungkus senyum. “Baik, kita akan lakukan beberapa tes. Tapi untuk sekarang saya ingin Anda istirahat total selama seminggu.” Cantika mengangguk pelan. Zolanda, yang berdiri di dekat pintu, menatap Cantika tajam. Wanita itu terlalu manis. Terlalu… menarik perhatian. Dan Zolanda tidak suka itu. --- Hari berganti, dan Cantika menjalani serangkaian tes. Setiap kali ia datang, Pangeran akan memeriksanya dengan tenang, profesional, dan… semakin membuat Cantika sulit tidur tiap malam. Ia mulai menunggu-nunggu sesi konsultasi itu, bukan karena takut, tapi karena ingin melihat wajah pria itu lagi. Namun di balik diamnya, Pangeran perlahan mulai memperhatikan Cantika. Ia berbeda dari pasien lain. Cantika tidak berpura-pura kuat, tapi juga tidak meminta dikasihani. Ia jujur dalam rasa sakitnya, dan tetap berani menghadapinya. Suatu hari, Pangeran sedang berdiri di balkon ruang dokter, memandangi langit sore yang mulai memerah. Zolanda mendekatinya. “Kau semakin sering memandang ke luar jendela sejak ada Cantika,” kata Zolanda, setengah menggoda. Pangeran hanya menatap lurus ke depan. “Dia pasien. Biasa saja.” Zolanda tertawa pelan, lalu berdiri di sampingnya. “Tapi aku bukan pasien. Aku tunanganmu. Dan Ayahmu ingin kita segera menikah. Kenapa kamu terus menundanya?” Pangeran memejamkan mata sejenak. “Aku tidak mencintaimu, Zol.” Zolanda menegang. “Tapi Ayahmu yang menjodohkan kita. Kamu tahu dia tidak suka perempuan seperti Cantika.” Pangeran menoleh, dan untuk pertama kalinya suaranya terdengar dingin. “Berhentilah bicara tentang dia. Aku belum memutuskan apapun.” Zolanda mengepalkan tangan di balik jas putihnya. Wajah cantiknya tetap tersenyum, tapi matanya menyala. “Aku tidak akan membiarkan perempuan biasa itu merebutmu dariku.” --- Sementara itu, Cantika berjalan sendirian ke taman rumah sakit. Hari itu jadwalnya kosong, tapi ia datang hanya untuk menikmati udara dan berharap bisa melihat Pangeran dari kejauhan. Tapi yang datang justru Marsel. “Cantika?” suara Marsel membuat Cantika menoleh. “Marsel?” Cantika tersenyum. “Kamu ngapain di sini?” “Aku dengar kamu sering ke rumah sakit. Aku khawatir.” Marsel adalah sahabat masa kecil Cantika. Diam-diam, ia menyimpan cinta yang belum pernah ia ungkap. Tapi Cantika selalu melihatnya sebagai kakak, sahabat, pelindung. “Aku baik-baik aja kok. Cuma periksa kesehatan.” Marsel menatap mata Cantika. “Tapi kenapa setiap kali kamu menyebut nama dokter itu, mata kamu berbinar?” Cantika terdiam. “Aku nggak tahu, Marsel. Aku nggak bermaksud jatuh cinta... tapi rasanya aku makin tenggelam.” Marsel tersenyum getir. “Kamu tahu dia sudah punya tunangan?” “Iya. Dan itu yang bikin semua ini makin menyakitkan.” --- Malam itu, Pangeran duduk di ruang kerjanya, membuka kembali hasil tes Cantika. Ada kelainan jantung yang belum diketahui penyebab pastinya. Tapi pikirannya bukan hanya tentang penyakit itu. Ia memejamkan mata. Mengingat sorot mata Cantika. Cara ia tersenyum meski kesakitan. Cara ia tetap hidup meski dikelilingi kematian sejak kecil. Pangeran tahu, hatinya sedang runtuh. Tapi apa boleh seorang dokter mencintai pasiennya? --- Di sisi lain, Zolanda sedang berbicara dengan Ayah Pangeran. “Saya rasa perempuan itu akan jadi penghalang.” Sang Ayah—Pria berambut perak yang berkuasa dan keras kepala—mengangguk. “Kalau begitu, singkirkan dia dengan cara yang tak mencoreng nama keluarga.” --- Dan di tempat lain, Ibu Pangeran sedang duduk di ruang pribadinya, menatap foto Pangeran kecil. “Kalau hatimu memilih Cantika, Ibu akan berdiri di belakangmu… bahkan kalau harus melawan ayahmu sendiri.” ___ Di sebuah ruangan beraroma kayu cendana dan lampu gantung antik yang menggantung di langit-langit, Ayah Pangeran duduk di kursi kayunya yang besar. Posturnya tegak, raut wajahnya tegas. Pria itu adalah tipe ayah yang tak suka ditentang, apalagi oleh anaknya sendiri. Zolanda datang dengan mengenakan blouse biru muda dan rok pensil, dandanan rapi seperti wanita sempurna yang dipersiapkan menjadi istri idaman. Senyumnya manis, tapi matanya penuh perhitungan. “Selamat malam, Om,” ucap Zolanda sopan, menunduk hormat. “Duduk, Zolanda,” sahut sang ayah tanpa senyum, tapi juga tanpa nada mengusir. Zolanda duduk dengan anggun. Ia meletakkan tas kecilnya di samping, lalu menatap pria di hadapannya dengan tatapan tunduk tapi penuh maksud. “Saya hanya ingin mampir sebentar, memastikan Om sehat. Dan… tentu saja, membicarakan Pangeran.” Sang ayah meletakkan cangkir tehnya perlahan. “Anak itu semakin keras kepala. Menolak perjodohan, menunda rencana pernikahan. Apa kau tahu alasannya?” Zolanda menggeleng perlahan. “Saya rasa dia sedang banyak tekanan, Om. Tapi saya tetap sabar. Saya percaya dia hanya butuh waktu untuk menerima keadaan.” “Keadaan?” Sang ayah menaikkan alis. “Keadaan bahwa saya adalah wanita terbaik untuknya.” Suara Zolanda lembut tapi penuh percaya diri. “Saya mengerti dunia medisnya, saya tahu cara bekerja dengannya, dan saya bisa menjaga nama baik keluarga.” Ayah Pangeran menatap Zolanda dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Kamu memang berbeda dari perempuan lain. Cerdas, terdidik, dan tidak emosional.” Zolanda tersenyum, menyembunyikan rasa puasnya. “Tapi akhir-akhir ini, saya dengar dia sering menghabiskan waktu dengan seorang pasien wanita. Cantika.” Zolanda pura-pura terkejut. “Saya dengar juga, Om… dan terus terang, saya khawatir. Perempuan itu bukan dari dunia kita. Saya takut dia membawa pengaruh yang… kurang baik.” “Jika perempuan itu mengganggu masa depan Pangeran, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” ujar sang ayah tajam. Zolanda menunduk dalam-dalam. “Saya akan lakukan apa pun demi kebaikan Pangeran. Dan keluarga ini.” Diam-diam, ia tersenyum puas dalam hati. Ia telah mendapatkan kepercayaan sang ayah. Itu langkah pertama menuju kemenangannya. Yang harus ia lakukan sekarang adalah memastikan Cantika tidak akan pernah bisa menginjakkan kaki lagi dalam hidup Pangeran. ---Matahari pagi menyinari perlahan jendela kamar rawat itu. Di dalamnya, Putra mulai bisa duduk sendiri, walau masih dibantu sandaran. Wajahnya belum sepenuhnya pulih, tapi semangat hidupnya… sudah kembali.Putri duduk di samping tempat tidur, memegang buku cerita yang dulu sering mereka baca berdua.“Kau masih ingat ini?” tanya Putri pelan.Putra mengangguk kecil. “Kita dulu suka tiru suara tokohnya…”Putri tersenyum, lalu mencoba menirukan suara tokoh si kucing pintar.“‘Aku tahu jalannya! Ikuti aku, miaw!’”Putra tertawa kecil. Tawa yang sudah lama tak terdengar.Namun di balik kehangatan itu, ada ketegangan yang tak mereka pahami sepenuhnya. Mereka merasa diawasi. Setiap kali suster baru masuk, Putri akan menatapnya lama. Dan Putra—meski belum berkata banyak—bisa merasakan perubahan itu.“Mereka semua… takut,” bisik Putra.Putri menoleh. “Siapa?”Putra menatap langit-langit. “Orang-orang besar… Ayah, Pangeran, Om Marsel… mereka sembunyikan sesuatu.”Putri menunduk, menggenggam tanga
Langit sore itu mendung, seolah menyimpan sesuatu yang akan pecah dalam waktu dekat. Rumah sakit tampak tenang di permukaan, tapi di dalamnya, ketegangan merayap seperti kabut — tak terlihat, tapi terasa. Marsel sedang duduk di kursi ruang tunggu, menatap layar ponselnya yang kosong. Ia hanya berniat menjaga suasana, menemani Pangeran dan Reno yang masih rapat dengan tim keamanan. Tapi nalurinya sebagai mantan intel tak pernah tidur. Saat itulah, matanya menangkap gerakan kecil yang tidak biasa di ujung lorong. Seorang pria dengan jaket hitam, wajah tertutup masker dan topi, tampak berdiri agak lama di depan ruang perawatan Putri. Ia tidak masuk, hanya memandang ke dalam dari balik kaca. Tapi ada sesuatu dari caranya berdiri… seperti sedang menghitung… atau mencatat. Marsel menyipitkan mata. "Siapa lo..." bisiknya pelan. Ia bangkit dari kursinya, berjalan pelan namun mantap ke arah pria itu. Tapi saat ia makin dekat, pria tersebut langsung berbalik dan berjalan cepat menjauh. “
Pagi itu langit mendung, seolah mencerminkan suasana hati Reno yang dipenuhi amarah dan kegelisahan. Mobil hitamnya berhenti tepat di depan pintu penjara — tempat Zolanda dikurung, namun tetap bisa mengendalikan ancaman dari balik jeruji.Reno berjalan pelan memasuki ruang kunjungan. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Di balik kaca pemisah, Zolanda duduk santai dengan senyum tipis yang seolah mengejek.“Lama tak jumpa, Reno,” ucap Zolanda, nada suaranya dingin tapi santai. “Bagaimana kabar Cantika... dan Putri?”Reno menahan diri agar tidak meledak di tempat. Tangannya mengepal di atas meja.“Jangan main-main, Zolanda,” suaranya berat, penuh tekanan. “Orangmu nyaris mencelakai Cantika di parkiran. Apa tujuannya? Mau bikin kami takut?”Zolanda mengangkat alis, pura-pura polos.“Cantika wanita cerdas, dia pasti tahu hidup di dunia ini tidak pernah aman, Ren. Lagipula... aku hanya tahanan, apa mungkin aku bisa atur semua itu?”Ia terkekeh pelan, seolah tak merasa bersala
Hari-hari di rumah sakit berjalan lambat, tapi penuh kehangatan. Setelah melewati masa kritis, Putra mulai bisa duduk di ranjangnya, meski tubuhnya masih lemah dan langkah kakinya belum sanggup menopang. Sedangkan Putri, walau memar di tubuhnya perlahan memudar, masih tetap setia berada di sisi sahabat kecilnya itu.Setiap pagi, suster datang membawa sarapan ringan, dan setiap kali Putra kesulitan menggenggam sendok, Putri yang tanpa banyak bicara akan mengambil alih, menyuapinya dengan hati-hati.“Pelan-pelan ya, biar nggak tersedak,” ucap Putri sambil tersenyum, meski dirinya sendiri kadang menahan nyeri di lengan yang belum pulih sempurna.Putra menatap Putri dalam diam, ada rasa haru yang sulit ia ungkapkan.“Kenapa kamu nggak istirahat aja, Putri?” bisiknya pelan.Putri menggeleng, tatapannya penuh keyakinan.“Karena kamu butuh aku. Sahabat nggak ninggalin sahabat, kan?”Ucapan sederhana itu selalu jadi obat paling mujarab bagi Putra. Bukan infus, bukan obat-obatan dari dokter —
Malam mulai turun perlahan, menyelimuti rumah sakit dengan bayangan kelabu yang sunyi. Di ruang perawatan anak, Putri terbangun dari tidurnya dengan nafas berat. Memar di lengan dan kakinya masih jelas terlihat, dan dadanya terasa sesak setiap kali mencoba bangun.Tapi ada satu suara dalam hatinya yang memanggil…“Putra…”Dengan susah payah, Putri turun dari tempat tidurnya. Kakinya masih gemetar, namun mata kecilnya bersinar penuh tekad. Dia tahu Putra sedang kesakitan. Dia tahu, sahabat kecilnya itu butuh dirinya.Tangannya meraba dinding untuk bertahan agar tidak jatuh. Suster jaga malam itu tertidur di meja, membuat jalan menuju ruang ICU sepi… terlalu sepi.Setiap langkah terasa seperti membawa beban seribu kilo. Rasa sakitnya belum sembuh. Tapi hatinya terlalu kuat untuk berhenti.“Sabar ya, Putra… Putri datang…”**Sementara itu, di ruang keluarga rumah sakit, Cantika bersandar di bahu Pangeran. Reno dan Marsel tengah berdiskusi di meja seberang, membicarakan rencana pelacakan
Reno berdiri di balkon lantai dua rumahnya, tatapannya kosong menatap langit subuh yang mulai membiru. Angin dingin menusuk hingga ke tulang, namun pikirannya jauh lebih dingin—membeku dalam kecemasan yang tak kunjung mereda.Sudah empat hari Putri menghilang. Sudah empat malam pula Reno tak tidur. Semua CCTV, saksi mata, hingga jaringan bawah tanah yang ia miliki telah dikerahkan, namun nihil. Seolah Putri benar-benar menghilang dari muka bumi.“Kamu harus makan, Ren…” suara Pangeran yang berdiri di ambang pintu, berusaha terdengar tenang.Reno menggeleng, tatapannya tetap kosong. “Aku CEO, aku bisa lacak orang sejauh benua… tapi untuk menemukan anakku sendiri, aku gagal…”Pangeran menepuk bahu Reno. “Kamu ayah, bukan Tuhan. Kita akan temukan dia. Bersama.”Di ruang tengah, Cantika duduk memeluk Putra yang mulai membaik, namun tetap murung tanpa kehadiran Putri. Sementara Caca dan Marsel bolak-balik membawa makanan, minuman, dan laporan pencarian yang tak pernah ada kabar cerahnya.R
Hari itu mentari bersinar lembut. Putra dan Putri berlarian di halaman rumah, mengenakan seragam SD mereka yang baru. Usia mereka genap 6 tahun. Tawa ceria menghiasi udara, tak ada yang menyangka… badai akan segera datang.Di dalam rumah, Cantika dan Pangeran sedang membereskan bekal anak-anak, sementara Reno membaca koran di teras belakang. Caca dan Marsel sibuk bercanda soal siapa nanti yang akan antar jemput sekolah.Tiba-tiba… sebuah amplop cokelat tergelincir lewat celah pintu pagar.Marsel yang melihatnya pertama kali, segera memanggil, “Pangeran! Ini... kayaknya bukan surat biasa!”Pangeran buru-buru mengambil dan membukanya. Di dalamnya hanya ada satu foto—foto Putra dan Putri sedang tertidur di kamar.Cantika langsung pucat.“Astaga… ini foto semalam…”---Di balik foto itu, tertera tulisan tangan miring yang dikenali semua orang:> “Kalian pikir aku tak akan kembali? Tunggu saja… aku akan menghancurkan ketenangan kalian seperti kalian menghancurkan hidupku. – Z”Pangeran men
Malam itu, rumah keluarga besar Pangeran tampak tenang. Tapi sebenarnya, semua orang waspada. Reno, Marsel, dan ayah Pangeran memperketat penjagaan karena firasat buruk masih terasa. Putra dan Putri tidur di kamar yang sama, diawasi bergantian oleh keluarga dan penjaga.Di ruang tengah, Marsel yang kebagian jaga mulai ngantuk berat. Tapi seperti biasa, Caca datang dengan tingkah usilnya.“Wahai, penjaga malam, jangan tertidur! Kalau tertidur, siap-siap aku lukis kumismu pakai spidol permanen!” kata Caca sambil nyengir.Marsel langsung terbangun, “Jangan ya! Aku ini sedang fokus menjaga ketenteraman dua bayi masa depan dunia!” ucapnya sok serius.Caca tertawa terpingkal-pingkal, lalu dengan iseng menyembunyikan kopi Marsel dan menggantinya dengan air jeruk nipis. Marsel yang tidak sadar langsung meneguknya dan...“AAAHH!! APAAN NIH?! Ini kopi rasa rujak!!” teriaknya sambil berlari ke dapur.Tawa Caca pun meledak.Tapi di tengah kekonyolan itu, suasana berubah drastis ketika Reno mendap
Malam mulai larut, tapi rumah Pangeran tetap terjaga. Reno duduk di kursi ruang tamu, matanya terus menatap layar CCTV kecil yang menampilkan halaman depan dan belakang rumah. Marsel dan Pangeran sedang berjaga bergantian, sementara Cantika dan Caca mencoba menenangkan bayi Putra dan Putri yang masih gelisah.Namun, saat jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari, layar monitor tiba-tiba blank selama dua detik."Damn. Itu sinyal kamera diputus," gumam Reno sambil berdiri cepat.Pangeran langsung siaga. “Marsel, cek kamar bayi!”Seketika mereka semua berlari ke kamar tempat Putra dan Putri tidur.Dan benar saja.Dua pria bertopeng sudah berada di sana—satu tengah mengangkat Putri, satu lagi baru saja menggendong Putra. Namun aksi mereka terhenti saat lampu kamar menyala dan Reno menodongkan pistol kecil ke arah mereka.“LETAKKAN BAYINYA!” teriak Reno.Marsel bergegas ke arah pria bertopeng yang menggendong Putra, menghajarnya dengan pukulan keras hingga pria itu jatuh tersungkur. Pangeran l
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments