Tidak ada perbincangan di atas meja makan, semua menikmati hidangan yang tersedia, hanya suara denting sendok dan garpu yang terdengar.
“Mama punya sesuatu untuk kalian,” kata nyonya Iriana setelah selesai makan malam sambil duduk di ruang tengah rumah.
“Apa ini Ma?” tanya Davin.
“Itu Madu hitam, bagus untuk kalian konsumsi.”
“Untuk apa?” Davin kembali bertanya sambil memutar-mutar botol yang diberikan mamanya.
“Agar Renata cepat hamil,” ujar nyonya Iriana sambil melihat kearah Renata.
Davin dan Renata saling berpandangan. “Apa perlu Ma, aku rasa kita hanya belum dikasih momongan saja,” ucap Renata.
“Kalian sudah dua tahun menikah, mau menunggu berapa lama lagi?”
“Sudahlah Dav, ikuti saja saran Mamamu, tidak ada salahnya juga dicoba,” ujar sang papa menjelaskan.
“Benar Davin, papa dan mama sudah sangat kangen untuk menimang cucu,” ikut menimpali ucapan suaminya.
Tidak ada jawaban dari Davin maupun Renata, mereka memilih diam dari pada memberikan jawaban yang justru akan membuat berdebatan semakin panjang.
Banyak nasehat dan saran yang disampaikan oleh sang mertua kepada Renata, mulai dari harus rutin berkonsultasi kepada dokter sampai kepada hal agar rajin mengkonsumsi obatan-obatan herbal seperti madu hitam seperti yang mereka dibawa.
Menjelang pukul 11 malam kedua orang tua Davin pamit untuk pulang. Davin dan Renata mengantar sampai di halaman rumah. Sambil mencium Renata, nyonya Iriana kembali mengulangi pesannya untuk selalu berkonsultasi kepada dokter dan menjaga kesehatan.
Selepas kepergian kedua mertuanya, Renata memilih menyendiri di kamar tamu yang ia tempati, tiba-tiba Davin masuk tanpa mengetuk pintu kamar, sementara Renata sedang membuka baju untuk berganti pakaian.
“Davin! Kamu ngapain di sini?” tanya Renata terkejut.“Kenapa kamu tidak ke kamar?”
“Kamar mana? Kamarku di sini dan aku akan tidur di sini,” tegas Renata.
“Kalau begitu aku juga akan tidur di sini,” ucap Davin sambil merebahkan diri di atas tempat tidur.
“Nggak Davin! Kamu jangan ngaco, cepat pindah ke kamar kamu sana!” seru Renata seraya menarik lengan Davin, namun Davin menarik lengan Renata hingga terjatuh tepat di atas dada Davin.
“Kita ini suami istri sudah selayaknya kita tidur dalam satu kamar,” ucap Davin.
“Bagaimana jika kita kabulkan permintaan Mama,” lanjut Davin.
“Maksud kamu?” tanya Renata sambil bangkit dari tempat tidur.
“Kita suami istri, tidak ada salahnya mencoba.”
“Tidak Davin kita ini sahabat, itu yang selalu kamu katakan,” kilah Renata.
Namun Davin langsung memeluk dan membungkam mulut Renata dengan ciuman, sontak Renata terkejut dan reflek mendorong Davin hingga terjembab ke tempat tidur, tapi cepat Davin bangkit dan kembali menarik tubuh Renata.
“Apa kamu tidak ingin memiliki anak dari aku?” tanya Davin.
“Bukan seperti itu Davin, kamu punya Kanza, apa kamu bisa bayangkan bagaimana perasaan dia jika tau kita melakukan ini,” papar Renata.
Namun Davin tidak memperdulikan ucapan-ucapan Renata, ia terus saja memeluk dan menciumi Renata. Meski awalnya menolak, namun ciuman serta cumbuan yang Davin lakukan membuat Renata terbuai dan bahkan menikmati.
Malam pertama itupun terjadi setelah dua tahun pernikahan, Renata mencoba berdiri dan melangkah menuju kamar mandi dengan merasakan sedikit nyeri di organ intimnya, air mata Renata mengalir bersama air shower yang membasahi sekujur tubuhnya.
“Ya Tuhan, apa yang aku lakukan? Atas dasar apa Davin melakukan ini? Cinta? Atau hanya nafsu belaka?” Renata terus bertanya dalam hati.
Hari–hari mereka lalui seperti biasa, kejadian satu minggu yang lalu nyaris terlupakan karena setelah itu Kanza kembali hadir di dalam rumah mereka.
“Kamu kenapa Re? Sakit?” tanya Davin saat melihat Renata melintas depan kamarnya.
“Mungkin masuk angin, aku mau istirahat saja,” ucap Renata lantas membalikan badan menuju kamar tamu.
Di dalam kamar Renata tidak dapat beristirahat seperti yang ia inginkan, rasa mual dan pusing terus mendera tubuhnya, hingga ia memutuskan untuk keluar rumah.
“Mau kemana Re?” tanya Davin melihat Renata keluar dari rumah.
“Keluar sebentar, sepertinya aku butuh udara segar,” jawab Renata tanpa mempedulikan kedua sejoli itu yang sedang asik bercengkrama di gazebo halaman rumah.
Tanpa tujuan Renata mengendarai mini coper berwarna kuning kesayangannya, hingga tiba di depan sebuah apotek ia menghentikan mini coper yang ia kendarai, “Sebaiknya aku cari obat dulu,” gumamnya.
Saat sedang berdiri menunggu pelayanan apotek, tiba-tiba kepala Renata terasa semakin pusing dan terhuyung ke belakang, dengan sigap seseorang yang berada di belakangnya menangkap tubuh Renata.
“Renata? Sedang apa di sini?” tanya seseorang tersebut yang ternyata adalah Reynaldi.
“Rey?” Belum sempat Renata melanjutkan kata-katanya ia langsung tak sadarkan diri.
“Renata…! Renata…!” panggil Reynaldi seraya menguncang tubuh Renata.
“Ada apa Pak?” tanya pelayan apotek yang baru saja keluar dari ruangan.
“Saya tidak tahu tiba-tiba dia tidak sadarkan diri,” jawab Reynaldi sedikit panik.
“Bawa ke kelinik depan saja Pak,” usul pegawai apotek tersebut.
Reynaldi pun membopong tubuh Renata masuk ke dalam mobil miliknya, setiba di klinik Renata langsung mendapatkan penanganan dokter.
“Apa yang terjadi sama kamu Re?” tanya Reynaldi dengan iba menatap Renata yang terlihat lemas dan pucat.
“Selamat siang Pak,” suara suster klinik sedikit mengejutkan Rey. “Bapak diminta ke ruangan dokter sekarang,” lanjut suster tersebut.
“Baik Suster,” jawab Reynaldi lantas mengikuti langkah suster menuju ruangan dokter.
“Sebelumnya saya ucapkan selamat Pak, Istri anda sedang hamil saat ini,” ucap dokter tersebut setelah Rey tiba diruangannya.
“Istri saya? Hamil?” jawab Reynaldi terkejut.
“Iya pak, saya harap anda bisa menjaga pola makan dan kestabilan emosi istri anda, karena kehamilan di trimester pertama sangat beresiko, kondisi emosional, sikologis dan mental calon ibu akan sangat berdampak pada tumbuh kembang janin dalam rahimnya,” papar sang dokter yang tidak mempedulikan raut wajah bingung Reynaldi.
Tak lama Reynaldi pamit dari ruangan dokter, bergegas menuju ruangan dimana Renata terbaring lemah disana.
“Hey Cantik, bagaimana? Sudah merasa lebih baik?” sapa Reynaldi melihat Renata sudah duduk bersandar di tempat tidur.
“Apa kamu yang membawaku ke sini?” tanya Renata heran.
“Seperti yang kamu lihat, sekarang aku ada di sini bersama kamu.”
“Apa yang terjadi? Tadi aku akan membeli obat pusing di apotek.”
“Iya dan kamu pingsan, kebetulan aku sedang membeli vitamin di sana.”
“Owh… makasih ya.”
“Di mana suamimu,” ujar Reynaldi sambil melangkah ke arah tempat tidur.
“Sudahlah untuk apa kamu mempertanyakan keberadaan suamiku?”
“Apa sekarang suamimu sedang bersama dengan perempuan itu?” Reynaldi berusaha menerka.
“Jangan terlalu ikut campur urusanku,” ketus Renata.
“Sekarang kondisi kamu sedang hamil, sebagai suami dia harus tahu.”
APAKAH INI RINDU?“Siang, Bu?” sapa, Dita sang sekretaris begitu melihat Renata nberjalan mendekati mejanya.“Siang, Dit. Apa jadwalku hari ini?” tanya Renata.“Tidak ada, Bu. Hanya bebrapa berkas yang perlu Ibu tandatangani,” ujar Dita.“Ok, antarkan keruanganku ya.” kemudian Renata berjalan menuju ruangannya, diiringi Bimantara.Tidak seberapa lama Dita masuk dengan membawa berkas-berkas ke meja Renata.“Dita, apakah ruanganku sudah bisa digunakan?” tanya Bimantara yang sedang duduk di sofa.“Untuk saat ini belum, Pak. Kemungkinan lusa sudah bisa digunakan,” jawab Dita.“Ruangan? Ruangan apa?” tanya Renata tidak mengerti.“Aku sudah resmi di angkat menjadi asisten pribadimu,” ujar Bagaskara dengan rasa percaya diri.“Asisten pribadiku? Siapa yang menganggkatnya?” “Mas, Rey.”“Ish! Kenapa orang itu selalu bertindak sesuka hatinya?” heran Renata.“Maaf, Pak, Bu… saya
SIDANG PERTAMA PERCERAIANPagi-pagi sekali, Renata sudah rapih dan bermain dengan putra kecilnya yang semakin hari semakin menggemaskan.“Apa rencana hari ini, Re,” tanya Martha di sela candanya dengan sang cucu.“Pagi ini sidang pertama aku dan Davin akan di laksanakan, Mah,” ucap Renata sambil menghela nafas.“Papa tidak bisa menemanimu hari ini, Nak,” ucap Gunawan sambil berjalan mendekat.“Tidak apa, Pah, nanti akan ada Bima yang menemaniku,” ucap Renata sambil tersenyum.“Semoga semua berjalan dengan baik,” ujar Martha seraya menggenggam tangan sang putri.Renata, mengangguk serta mengaminkan ucapan mamanya, disusul kecupan sayang dari sang papa.“Jangan pernah merasa sendiri, Papa tau kamu anak yang kuat dan mandiri, Papa akan lakukan apapun untuk kebahagiaan kamu dan Arkana,” ujar Gunawan memebrikan suport.“Terimakasih, Mah, Pah. Kalian selalu memberikan yang terbaik untukku,” ucap Renata.
PESONA SANG CEOSuara ketukan pintu menghentikan perbincangan Reynaldi dan Renata dalam ruangan CEO.“Permisi, Pak, Bu. Meeting akan segera dimulai,” ucap seorang wanita muda dengan penampilan kantor yang rapih.“Oiya… Dita, kenalkan ini Ibu Renata, mulai saat ini kamu akan bekerja untuk beliau, Re… kenalkan ini Dita yang akan menjadi sekretarismu,” ucap Reynaldi memeperkenalkan kedua wanita di hadapannya.“Baik, Bu Renata, selamat datang dikantor,” ucap Dita sambil membungkukkan badannya.“Terimakasih, Dita semoga kedepannya kita dapat bekerjasama dengan baik,” sambut Renata seraya mengulurkan jabatan tangan.“Baik, kita keruangan meeting sekerang, Dita semua berkas sudah di persiapkan?” ujar Reynaldi.“Semua sudah beres, Pak.” Jawab Dita.Mereka berjalan menuju ruangan meeting dimana para direksi dan petinggi perusahaan sudah berkumpul.“Selamat siang semuanya,” sapa Reynaldi, setibanya mereka di ruan
HARI BARU UNTUK RENATADavin, menepikan mobilnya, diikuti Renata, belum sempurna ia memarkirkan kendaraannya di trotoar jalan, nampak Davin berjalan ke arahnya. Laki-laki tampan yang diam-diam ia puja sejak kecil, yang berhasil mengukir senyum di bibirnya sekaligus menorehkan luka yang teramat dalam di hatinya.Davin, membantu membukakan pintu mobil Renata.“Tidak perlu berlebihan, Davin. Aku bisa sendiri,” ujar Renata.“Aku hanya ingin membantu membukakan pintu mobil,” jawab Davin.“Katakan apa maumu?” tanya Renata.“Kita bicara di sana,” ucap Davin, seraya menunjuk ke arah mini market yang terdapat tempat duduk di depannya.Tanpa bertanya lagi, Renata langsung berjalan menuju tempat yang di maksud oleh Davin.“Re… aku merindukanmu,” ucap Davin sambil berusaha meraih tangan Renata yang berada di atas meja.“Sudah cukup sandiwaramu,” ucap Renata tanpa melihat Davin yang duduk di hadapannya dan menarik tangan
PERJUMPAAN DI LAMPU MERAHKanza, terbelalak melihat notif di layar handponenya, ada no tidak di kenal mengirimkan beberapa gambar dirinya yang sedang bersama dengan, Kevin teman lelakinya.Ia berusaha menghubungi, tetapi sepertinya nomer tersebut adalah nomer fiktif yang hanya sekali pakai.Kanza, membanting hanphonenya ke atas sofa, lalu berjalan ke arah whastafel membasuh wajah tegangnya.“Siapa yang berani melakukan hal ini?” tanyanya dalam hati.“Apa mungkin, Renata?” sambungnya sambil megerutkan kedua alisnya.Davin, keluar dari kamar, bergegas Kanza meraih ponsel dan menyembunyikannya di balik badan, Davin napak rapih pagi ini, setahu Kanza, Davin sudah tidak lagi bekerja.“Mau kemana, Mas?” tanya, Kanza seraya memandang penampilan, Davin.“Kantor,” jawab Davin singkat.“Sudah mendapat pekerjaan?”Davin, tidak mejawab pertanyaan, Kanza. Ia memasukan laptop ke dalam tasnya.“Mungkin, a
DENDAM RENATADi dalam kamar, Renata baru saja membuka mata, ia memperhatikan sekeliling ruangan.“Di mana aku?” ucapnyan lirih, ia pun terkejut dengan pakaian yang ia kenakan.“Apa yang terjadi?” Renata beringsut dari atas tempat tidur, langsung berdiri dan berjalan ke arah kaca, ia memandang wajah dan sekujur tubuhnya.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Re… sudah bangun?” tanya Reynaldi, seraya membuka pintu.“Apa yang terjadi denganku?” tanya Renata.“Kamu, tidak ingat sama sekali?” tanya, Reynaldi. “Coba di ingat-ingat, apa yang kamu makan atau minum di tempat acara tadi malam,” ucap Reynaldi, seraya menyentil kening, Renata dengan jarinya. Lalu duduk di sudut tempat tidur.Renata, duduk di bangku depan cermin, Reynaldi memperhatikan wajah cantik di hadapannya. Hanya dengan mengenakan kaos oblong, celana pendak, rambut di ikat sembarangan terkesan berantakan, namun tidak mengurangi kecantikan seorang,