Share

Bab 2

WANITA PANGGILAN 2

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Membahas masalah keluarga di depan orang asing terkadang menimbulkan rasa sungkan dan tidak enak. Apalagi jika menyangkut tentang masalah keluarga. Meski bukan masalah besar, tetapi Lian merasa terlalu cepat untuk membiarkan Mayasha mengetahui sisi lain seorang Lian Erza. 

Namun, bukankah tujuannya menemui Mayasha juga untuk ini? Lian mulai tidak bisa mengerti dirinya sendiri.

Melihat sang ibu sampai menelpon begini, pasti Keya telah mengadu padanya. Entah drama apa lagi yang ia keluhkan. Padahal, tiga hari yang lalu, Lian sudah meminta menghentikan semuanya dengan alasan yang jelas disertai bukti nyata.

Akan tetapi, ia tidak menyangka kalau Keya masih ingin merajut kisah yang telah terputus benangnya.

"Lian, kamu dengar Ibu nggak?! Pokoknya sekarang kamu pulang, jelasin apa yang terjadi sama Ibu! Keya barusan cerita semua, katanya kamu membatalkan pertunangan." Suara sang ibu kembali menyambar lamunan Lian ketika akalnya mencari senjata yang tepat untuk membuat wanita di seberang sana mengerti.

Lian menghela napas dalam, lalu mengembuskannya kasar. Bahkan tubuhnya benar-benar membuat jarak dengan Mayasha.

"Iya ... Lian pulang sekarang!" 

Lian memutus sambungan telepon sepihak, lalu memasukkan ponsel ke saku celana. Matanya menatap wanita di sebelahnya yang masih memandangnya lekat. Entah apa arti tatapan itu, yang jelas seakan meminta penjelasan untuk kelanjutan panggilan ini.

"Maaf, May ... saya harus pulang. Ada urusan mendesak yang harus diselesaikan. Saya akan tetap membayarmu sesuai kesepakatan," ucapnya sembari meletakkan amplop berwarna coklat muda. 

Sebagai anak dari Nyonya Elsa Erza–pemilik swalayan terbesar di kota membuatnya menjadi penerus tahta. Mengeluarkan lembaran uang untuk hal pribadi sangatlah mudah. Sebab Lian juga ikut andil bekerja di sana sebagai manager. Otomatis dirinya juga mendapat uang sendiri dari kerja kerasnya selama beberapa tahun ini.

Mayasha mengambil amplop itu lalu menghitungnya dengan cepat. Jumlahnya benar-benar sesuai dengan kesepakatan, padahal dirinya hanya memberi fasilitas seadanya. Dua jam waktunya dihargai tiga puluh lembaran kertas berwarna merah. 

"Kau yakin ingin membayar sesuai kesepakatan? Kita saja baru bertemu tiga puluh menit. Jangan buat saya merasa berhutang," ucap Mayasha sambil menyodorkan kembali amplop itu.

Lian tersenyum. Ternyata seorang wanita seperti Mayasha jauh lebih bisa menghargai hal semacam ini, beda jauh dengan Keya–sang mantan kekasih yang selalu menang sendiri.

"Kalau kau merasa berhutang, selalu bersiaplah jika saya memanggil kapan saja. Siapa tahu saya membutuhkan untuk banyak hal," ujarnya lalu bersiap pergi.

"Tunggu, Li!" Mayasha menahan langkah pria yang hampir membuka pintu rumahnya.

"Ada apa lagi?" jawabnya setelah berbalik menatap wajah yang mulai membuatnya tertarik tanpa disadari.

"Boleh minta nomor ponselmu? Agar gampang membayar waktu yang tersisa?" 

Seketika Lian mengambil ponsel dalam sakunya. "Berapa nomormu?"

Tangan pria itu mulai mengetik sesuai arahan dari wanita di depannya. Sedetik kemudian, ponsel Mayasha berdering, pertanda ada panggilan masuk.

"Itu nomor saya. Kau simpan saja. Terima kasih untuk malam ini. Meski sebentar, lumayan menenangkan kekalutan hati ini. Saya pulang." Lian memasukkan kembali ponselnya, lalu benar-benar menghilang di balik pintu. 

Ia tidak menyadari kalau separuh hatinya tertinggal di tempat yang tidak seharusnya. Memang semudah itu untuk menjatuhkan hati, tetapi butuh waktu seumur hidup untuk melupakan. Itulah mengapa Mayasha mengunci rapat pintu hatinya setelah Kai Marvin mengoyaknya hingga tercecer.

Namun, malam ini pintu itu seakan bertemu kunci yang tidak sengaja berhasil membukanya dengan cara h*na.

Mayasha menatap nomor dalam layar ponsel. Senyumnya tanpa sengaja terukir di kedua sudut bibir. Dari beberapa pria yang memanggilnya, hanya Lian yang berhasil mengajak hatinya ikut bermain.

Kaki telanjangnya segera menyambar sandal jepit untuk keluar sejenak. Ia ingin menatap kepergian Lian meski terhalang lampu temaram. Punggung itu kian menjauh dari pandang. 

"Haruskah aku menjadi serakah jika mulai mendambanya?" Satu pertanyaan itu menyentil batinnya kala menyadari siapa dirinya. Tidak mungkin pria sesempurna Lian akan tertarik pada wanita panggilan seperti dirinya.

Mayasha kembali terhempas ke bumi ketika angannya hampir melesat setinggi angkasa. Dirinya tidak mau seperti pungguk yang merindukan bulan. Menggapai bintang di langit itu laksana memaksa terbang dengan tangan kosong.

Suara getar ponsel dalam saku menyadarkan akal wanita yang masih berdiri menatap gelapnya jalanan. Jalan itu persis seperti dirinya yang hitam karena berbalut selimut dosa. Satu pesan dari Elena kembali mengingatkan tentang sentuhan pria yang baru saja kembali pulang.

Elena

[Gimana, May? Oke nggak?]

Mayasha membalas pesan dari Elena sambil masuk ke rumah, lalu merebahkan diri di sofa bekas Lian mendudukinya.

Mayasha

[Oke, El. Lumayan lah. Dia beda dari yang lain. Aku suka dengan caranya.]

Lagi, senyum itu tanpa sadar menghiasi bibirnya. Sedetik kemudian pesan balasan kembali masuk.

Elena

[Awas, jangan main hati, May. Itu bisa memicu hal yang mungkin tidak bisa kamu kendalikan. Ya sudah, selamat istirahat.]

Pesan dari Elena kembali menyadarkan semuanya. Logikanya membenarkan hal itu. Ia kembali membuka kontak telepon yang baru saja dihiasai nomor Lian. 

"Mungkin yang dikatakan Elena benar. Lebih baik aku ganti baju lalu tidur," lirihnya kemudian beranjak ke kamar. 

Baju tidur bermotif polkadot kini membalut tubuh Mayasha. Tidak ada lagi lekuk tubuh yang terlihat menggoda. Ia bahkan menantang cermin untuk menilai tubuh indahnya. Namun, fokusnya terpecah saat bayangan bibir itu terpantul jelas di kaca. 

Ingatan tentang sentuhan Lian kembali berputar dalam kepalanya. Sisa manis itu masih terasa sangat jelas saat tangannya meraba bibirnya sendiri.

"Ada apa denganku? Kenapa jadi b*doh begini. Sadar, Yesha!" Mayasha menamp*r pipinya sendiri, lalu merebahkan diri ke tempat tidur. Berusaha melupakan tentang Lian lewat malam.

~

Di rumah, Lian yang baru saja memarkir motor langsung disambut oleh sang mama di depan pintu. Wajahnya seakan menahan amarah. Mungkin masih tidak terima akan keputusan mendadak yang diambilnya.

"Kamu dari mana sebenarnya? Kenapa kamu memutuskan pertunangan tanpa memberitahu Ibu?" cecarnya saat anak lelakinya berada di hadapannya.

Lian hanya bisa mengembuskan napasnya kasar. Baru juga sampai rumah sudah dijejali banyak pertanyaan. Membuatnya malas berada di rumah.

"Emang Keya nggak bilang kenapa, Bu?" Lian balik bertanya. 

"Keya cuma bilang kalau kamu memutuskan pertunangan. Ibu nggak tanya alasannya," jelas sang ibu membuat Lian tertawa.

"Asal Ibu tahu. Lian bisa menerima segala sikap Keya yang kadang tak masuk akal. Tapi jika itu suatu pengkhianatan, Lian tidak terima, Bu. Lebih baik menyudahi daripada melanjutkan hubungan yang sudah jomplang." Lian menjelaskan sesuai kenyataan yang ada.

"Maksud kamu, Keya mendua?" tanya sang ibu yang masih tidak percaya Keya mampu melakukan itu.

Lian mengangguk. Membenarkan kalau Keya telah mengkhianati hubungan yang susah payah dijalani setahun terakhir. 

"Jadi, Lian mohon mulai sekarang ... jangan pernah membahas Keya apalagi menyuruh untuk melanjutkan pertunangan," jelas Lian sambil melewati sang ibu.

Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar namanya dipanggil oleh seseorang yang begitu dikenal suaranya.

"Lian! Tunggu! Aku ingin bicara!" 

Keya–wanita yang telah tega mengkhianati kepercayaannya kini berada di depannya. Membuat luka itu kembali nyeri kala melihat wajahnya.

"Mau bicara apa lagi? Semua sudah selesai! Kamu bebas mau apa saja dengan Marvin!" jawab Lian serasa enggan berlama-lama bersama wanita sepertinya.

"Aku mohon beri kesempatan sekali lagi. Aku janji tidak akan berpaling darimu. Aku tidak mencintai Marvin," mohon Keya sambil mengenggam jemari Lian, tetapi sang pria menepisnya. 

"Terserah! Aku sudah memutuskan. Sekarang pergilah!" ujar Lian kemudian masuk begitu saja meninggalkan Keya dan semua lukanya.

Melihat pintu tertutup dengan kasar, Keya berusaha mengetuk untuk mengharap kesempatan dari Lian.

"Lian, aku minta maaf! Aku menyesal! Tolong jangan putuskan pertunangan kita. Aku mohon!" Keya terus mengiba sambil mengetuk pintu. Namun, Lian sama sekali tidak terpengaruh. Rasa simpatinya sudah sirna saat melihat Keya berbagi raga dengan pria lain.

Dari balik pintu, Lian bisa mendengar suara ibunya yang memberi pengertian pada Keya.

"Keya, Sayang ... lebih baik kamu pulang ya? Lian masih emosi. Apalagi kamu tahu sendiri, kalau Lian tidak suka dikhianati. Jadilah wanita manis untuk mendapat maafnya," ucapnya sembari mengelus punggung wanita yang telah membuat anaknya terluka.

"Tapi, Tante ... Lian kalau sudah marah berarti yang namanya kesempatan kedua tidak pernah ada. Aku tidak mau kehilangan kesempatan itu," jawab Keya dengan air mata yang mulai membasahi pipi.

"Tante tahu. Tapi ngomong sekarang pun percuma. Kamu sebaiknya pulang dulu ya?" titah Tante Elsa–ibunya Lian.

Dari balik pintu, Lian tertawa mendengar ucapan Keya. Memang tidak akan pernah ada kesempatan kedua untuk sebuah pengkhianatan. Buat apa menuang air dalam gelas yang retak, sia-sia.

Mendadak ingatan tentang Mayasha terngiang di kepalanya. C*uman itu membuat gejo-laknya menggetarkan dada. Padahal Mayasha bukan wanita biasa. Lian tahu betul jika berhubungan dengan wanita sepertinya pasti akan langsung mendapat pertentangan.

Akan tetapi, akalnya tidak bisa berhenti memikirkannya. Semakin kalut hatinya, semakin kuat ingatannya tentang seorang Mayasha.

"Ada apa dengan hati ini? Kenapa wajahnya malah datang tanpa diundang?"

---------***-------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status