“Pak, stop ... stop dulu,” kataku pada supir grab yang kami tumpangi.
Mendadak mobil kami berhenti.
“Ada apa, Mbak?” tanyanya bingung.
“Mundur, Pak. Mundur dikit mobilnya,” perintahku padanya.
Tanpa banyak tanya ia menuruti. Mobil bergerak mundur perlahan. Lalu, aku menyuruhnya menghentikan mobil, ketika sampai di dekat tempat di mana aku melihat wanita yang mirip Desi tadi.
“Kenapa, sih, Lena?” Tanya Vika penasaran.
Tanpa menjawab, aku mengeluarkan ponsel, lalu memfoto wanita itu yang tengah bersama dengan seorang pria, tetapi pria itu bukan suamiku.
Vika melongokkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang ku foto. Spontan aku menariknya, dan menutup jendela mobil, agar kami tak terlihat oleh Desi.
“Itu sepertinya Desi, baju yang dia pakai sama dengan yang dikenakannya tadi pagi saat berangkat dari rumah,” terangku padanya.
Vika hanya manggut-manggut, sambil memperhatikan foto yang ku jepret barusan. Sementara aku masih terus mengawasi gerak-gerik Desi dan lelaki itu di balik jendela mobil. Lelaki itu ku taksir seumuran Desi, yang tampil stylish dengan memakai hoodie dan celana ripped jeans yang model robek, celana yang sedang nge-trend di kalangan anak muda saat ini. Lelaki itu lumayan tampan, dengan gaya rambut gondrong yang dikuncir.
Lelaki itu berkali-kali meraih tangan Desi, dan sebanyak itu juga Desi menepisnya, terlihat beberapa kali ia mengepalkan tangan di keningnya sambil menarik nafas kesal.
“Jalan, Pak,” ujarku pada supir, setelah hampir 15 menit kami memata-matai mereka.Mobil pun melaju perlahan menuju kost-an Vika.
“Aku turun, ya, ntar kabar-kabari apa aksi detektif Alvik selanjutnya,” ucapnya sambil menggerakan tangannya di kepala memberi salam hormat.
“Detektif Alvik? Siapa itu?” tanyaku bingung plus penasaran.
“Detektif Alena-Vika,” jelasnya sambil tertawa. Aku pun tersenyum lucu melihat kekonyolan sahabatku ini.
“Oke. See you, bye-bye.” Aku melambaikan tangan padanya.
“See you too,” ucapnya padaku sambil turun dan menuju kost-nya.
“Lanjut, Pak,” kataku pada supir.
***
Setibanya aku di rumah, ku lihat mobil Mas Rafael sudah terparkir di halaman rumah, itu artinya dia sudah pulang. Sekarang baru jam 5, tumben dia cepat pulang pikirku.
Saat aku membuka pintu, ku dapati dia tengah berjalan mondar-mandi di ruang tamu sambil memegang gawainya.
Aku yang masih kesal padanya membuatku malas menyapanya. Ku langkahkan kakiku menuju kamar, ingin berbaring sejenak, setelah seharian capek dalam perjalanan.
“Alena!!” bentaknya padaku sambil menarik tanganku.
Ku hentikan langkahku dan menatapnya dengan memutar bola mata malas padanya.
“Kamu dari mana saja, hah?” bentaknya marah padaku.
Tak pernah ku dapati ia semarah ini padaku semenjak mengenalnya. Aku hanya menarik dan membuang napas kasar tanpa menjawab pertanyaannya.
“Mas cemas mikirin kamu, tidak ada kabar juga sama sekali,” ucapnya mulai melembut.
Hatiku tiba-tiba memanas, kedua netraku mulai berembun. Aku tak bisa menahan kepedihan dan kekesalan hatiku yang selama ini ku pendam karena merasa dipermainkan olehnya.
“Kamu membohongiku, Mas. Kamu membohongiku!!!” pekikku padanya dengan suara bergetar.
“Membohongimu apa?” tanyanya bingung padaku.
“Jelaskan ada hubungan apa kamu dengan Desi, Massss!!!” jeritku disertai buliran air yang terus mengalir di kedua sudut netraku.
Dia hanya diam mematung, ku lihat wajahnya memerah menahan amarah.
“Aku sudah tahu semuanya, Mas. Aku sudah tahu!!! Desi bukan adik iparmu, kalian punya hubungan khusus!!!” tandasku.
“Maksudmu apa Alena, kamu tenangkan dulu dirimu,” ucapnya sambil memegang bahuku.
Ku tepis tangannya dari bahuku. “Sekarang ceraikan aku, Mas!!” pintaku padanya dengan menahan sakit di luka hati yang terasa perih.
“Tidak, Lena. Tidak akan pernah!! Aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu, Alena!!” lirihnya padaku.
“Dasar pembohong!! Jelas-jelas aku sudah mendengar percakapanmu dengan Desi saat di kamar dan di dapur itu. Namun, aku berpura-pura bodoh saja, menunggu sampai kamu menjelaskannya sendiri padaku!” beberku padanya.
“I‐itu hanya sebuah kesalahan, percayalah padaku. Aku tidak mencintainya!!” sesalnya.
“Kesalahan apa? Hah? Pokoknya kita harus bercerai!!” ucapku berlalu, meskipun hatiku sebenarnya tak menginginkan hal itu.
Tiba-tiba dia menarik tanganku dan mendorongku ke dinding. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku. Ku coba melepaskan diri dari kungkungan tangannya, tetapi tenaganya jauh lebih kuat dariku.
“Toloong ... !!!” jeritku berusaha melepaskan diri.
“ Toloongg ... “ jeritku meronta sambil memalingkan wajah darinya.Dia semakin mendekatkan bibirnya ke arahku, dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Semakin aku mencoba bergerak untuk melepaskan diri dengan menggoyang-goyangkan kepalaku, dia malah semakin memepetku dan melumat bibirku. Antara terbuai oleh perasaan menikmati dan juga seketika merasa jijik membayangkan bahwa hal yang sama pasti pernah dia lakukan dengan Desi.Dengan sekuat tenaga aku mendorongnya dan menjerit, “Lepaassskannn!!!” Refleks ia melepasku.Sementara aku mengusap kasar bibirku yang ku rasa najis karena telah ternoda oleh lelaki yang telah menghianatiku ini.Sesaat ia mematung menatapku, seperti yang sedang pulih kesadaran. “Maaf, Alena,” ujarnya menarik napas berat.“Aku terbawa perasaan. Tolong jangan pernah ucapkan lagi kalimat perceraian padaku, jika kamu tak ingin aku berbuat macam-macam padamu,” tekannya padaku.
Aku memilih untuk mengunci pintu kamar, tak berniat untuk melihat wajah Mas Rafael, apalagi bila harus sekamar dengannya malam ini. Kejadian tadi sungguh sangat membuatku malu bila mengingatnya. Jujur saja, selama mengenalnya, ia belum pernah mengecup bibirku, apalagi berbuat macam-macam padaku.Menenggelamkan wajah ke kasur dan menutup kepala dengan bantal adalah hal yang kulakukan agar tak terpengaruh oleh perdebatan dan adu mulut mereka berdua di luar yang masih terdengar samar-samar di telingaku. Ku coba menutup mata, berharap bisa tidur nyenyak, meski pikiranku sedang menyusun rencana agar bisa menjebak keduanya. ‘Sepertinya aku harus berpura-pura pulang ke rumah orang tuaku saja,’ pikirku.Esoknya, kala mentari sudah mulai menampakkan sinar dan kehangatannya, aku gegas mempersiapkan diri dan beberapa keperluan pribadi yang ku butuhkan saja selama pergi seminggu itu yang akan ku bawa. Tak lupa juga aku meletakkan beberapa CCTV yang ku sambung di HP yan
Melihatku mengkerutkan kening sambil menatap layar ponselku, membuat Vika mendekatiku dan turut nimbrung. “Kenapa, Len?” tanyanya sambil melihat ponselku, lalu aku kembali memutar rekaman CCTV yang barusan kulihat tadi. “Halah, dasar ganjen! Cowok mana aja diembat!” lontar Vika padaku. “Kamu kenal cowo ini gak, Vik?” tanyaku penasaran. “Gak,” jawabnya. “Kayaknya kita harus cari tahu siapa lelaki itu,” ucapku. “Oke, mari kita came on!” ajak Vika sambil meraih kunci motor dan helmnya. “Loh, ke mana?” tanyaku bingung. “Lakukan penyamaran!” ujarnya sambil menarik kaca helmnya kebawah. “Penyamaran apa?” “Lah, untuk menyelidiki siapa itu si gondrong!” tukas Vika berlalu menuju motornya. Aku menurut saja. Gegas kumasukkan ponselku dalam saku celana, memakai jaket hoodie pinkku dan menutupi kepala dengan topi jaket tersebut, serta tak lupa memakai masker agar penyamaran ini tak ketahuan. Kusodork
Segera kugeser logo telepon hijau ke atas. “Halo, Vik. Apa sudah dapat informasi?” tanyaku tak sabar.Terdengar suara berisik di seberang sana, tidak jelas apa yang sedang Vika katakan. Hanya suara grasa-grusu dan terdengar suara Vika seperti menjerit meminta pertolongan. Perasaanku tak enak, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari nomor Vika yang isinya [SOS! Saya memerlukan bantuan darurat. (Dikirim dari jam saya)], disusul dengan pesan lain yang menunjukkan lokasi keberadaannya.Tak berpikir lama, kunyalakan starter motor vespa bututnya. Tangan kanan di handle gas sambil menjalankan motor, sementara tangan kiri memegang HP membuka alamat di mana dia berada dengan memakai aplikasi google map.Berkali-kali aku mencoba menghubunginya. Namun tidak terhubung. Pikiranku makin kacau, belum selesai masalah yang satu malah masalah lain muncul lagi. Kulajukan vespa butut milik Vika dengan kecepatan tinggi. Ketika hendak membelok di pertigaan jalan, motor ya
Untung saja vespanya tidak rusak. Segera ku naiki motor tersebut dan tancap gas, tanpa menghiraukan suamiku yang berteriak memanggilku. Ku biarkan rasa perih di kakiku, yang ada di pikiranku sekarang adalah menemukan keberadaan Desi. Kembali ku periksa pesan masuk di gawaiku tersebut. Mengecek kembali pesan S.O.S dari Desi, dengan mencari titik lokasi keberadaannya lewat maps. Ku coba menelepon nomornya, tetapi tak juga diangkat. Pikiranku makin galau dibuatnya. Setelah 30 menit mengendarai motor menuju lokasi terakhir tempat Vika berada yang dikirim lewat pesan S.O.S tadi, akhirnya aplikasi peta digital yang sedang ku gunakan juga menunjukkan titik posisi keberadaan Vika yang hanya berjarak 300m lagi. Namun, aku bingung, perasaan sekitar lokasi ini padat rumah dan ramai orangnya. Tak mungkin jika tak ada satu orang pun yang tak bisa menolong atau menyelamatkan Vika jika benar ia dalam bahaya. Mencoba bertanya pada beberapa orang yang lalu lalang di sekitarku, dengan
POV Rafael Pertama sekali aku bertemu Alena ketika mobilnya tiba-tiba berhenti mendadak di depan mobilku. Nyaris saja mobilku menabrak mobilnya dari belakang, beruntung aku mendadak merem mobilku. Aku turun dari mobil dan mengetuk pintu mobilnya, ternyata pengemudinya seorang wanita. Yah, pantas saja tak ada aksinya saat tahu bannya bocor. Dengan tulus, ku tawarkan jasaku dan membantunya mengganti ban yang bocor tersebut dengan ban cadangannya. Beberapa kali aku menangkapnya mencuri pandang padaku. Saat aku meliriknya atau sekedar mengajaknya berbicara, hal itu membuatnya gugup dan salah tingkah padaku. Aku hanya tersenyum lucu melihat reaksinya padaku. Setelah pertemuan pertama dengannya, jujur aku tak ada lagi memikirkan tentang dia. Bagiku, menolong orang saat butuh bantuan adalah hal yang wajar. Sama halnya ketika aku membantu Alena mengganti ban mobilnya, tak ada harapan atau perasaan lebih untuk mengenalnya lebih jauh. Meski ku akui Alena adalah gadis y
“Len ... tuh,” ujar Vika sambil melempar lirikan ke pojokan warung.Aku menoleh ke arah lirikannya. Lalu, memutar bola mata malas.“Cabut, yuk!” ajakku sambil beranjak dari kursi.“Mi ayamnya, gimana?” tanya Vika menggerutu sambil mengerucutkan bibirnya padaku.“Cari warung yang lain aja, buruan!” bentakku padanya.“Iya, iya, bentar tak bayarin dulu. Kasihan Kang baksonya,” ujar Vika sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.Segera kutarik tangan Vika untuk pergi dari warung tersebut“Alena ... Len! Tunggu!” ujar lelaki yang duduk di pojokan warung tadi sambil mengejar kami.Segera kulajukan vespa milik Vika. “Lena, bukankah itu suami kamu?” tanya Vika saat motor kami sudah agak menjauh dari warung mi ayam tadi.“Iya.”“Kenapa kita langsung pergi buru-buru? Gak kangen apa?”&ldq
Hari ini, aku terpaksa harus kembali ke rumah Mas Rafael. Meski sangat berat untukku kembali ke rumah itu, tapi apa boleh buat? Misiku masih belum selesai. Tak mungkin untuk berterus terang pada Mama mengenai masalah yang kuhadapi. Yang ada nanti masalah makin runyam jika harus melibatkan kedua orang tuaku.Segera kumasukkan kembali barang-barangku ke dalam koper kecil itu. Setelah semuanya beres, aku berpamitan pada sahabatku ini. “Vik, aku pulang, ya. Aku takut nyokap beneran ke sini, jika aku gak pulang-pulang ke rumah Mas Rafael,” ujarku sambil memeluk Vika.“Jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa, telepon aku, ya. Aku siap 24 jam untuk menolong kamu,” ujar Vika sambil mengangkat tangan kanannya membentuk segitiga di sisi kepala kanannya, seolah-olah memberi salam hormat, seperti seorang prajurit yang memberi hormat atau sebagai tanda salam perpisahan kepada komandannya.“Okay,” balasku sambil mencubit pipinya, dan berla