"Terima kasih banyak, Pak."
Setelah berterima kasih kepada supir yang mengantar Azka, Ayana langsung membawa tubuh kekasihnya untuk masuk ke dalam. Ayana mengerutkan indra penciumannya di saat bau menyengat mulai menggangu hidungnya.
Padahal baru saja beberapa jam, Ayana menangisi Azka tapi saat melihat mata teler kekasihnya dia langsung saja merasa khawatir. Azka sudah berjanji, dia tidak akan minum alkohol lagi kepada Ayana tapi apa sekarang ini?
Azka mabuk dan tepar di sebuah kursi di ruang tengah rumahnya!
"Kamu mabuk dengan wanita itu hingga jam segini?"
Ayana bermonolog sendiri sambil menatap wajah tampan Azka yang terpejam. Wajah Ayana langsung terlihat bingung di saat otaknya kembali bekerja.
"Dari mana dia tahu alamat rumahku?"
"Eng! Ayana, ini panas sekali. Akh!"
Pikiran Ayana kembali buyar di saat Azka mulai membuka kancing kemejanya, hanya dua kancing atasnya saja yang terbuka karena Azka kembali tidak sadarkan diri.
"Panas," gumam Azka lagi. Sedangkan Ayana kebingungan, Azka pasti kepanasan karena mabuk dan rumahnya tidak menggunakan AC sama sekali.
"Apa aku bawa kipas angin di kamarku saja? Tapi nanti aku tidak bisa tidur lagi. Kenapa kamu harus datang kesini sih?"
Ayana selama ini mati-matian menyembunyikan alamatnya karena malu. Walaupun Azka kekasihnya, tapi rumahnya itu terlihat seperti gubuk bagi Azka. Apalagi saat Ayana pertama kali dibawa ke apartemen Azka, rasanya Ayana tidak akan pernah membawa kekasihnya itu datang ke rumahnya yang kecil.
"Ayana..."
Ayana hanya bisa menatap Azka tanpa berkedip, apa dia boleh sedikit merasa bahagia karena Azka sejak tadi terus menggumamkan namannya?
"Azka, aku akan melepaskan kamu. Jika wanita itu adalah pilihan orang tuamu, aku yang hanya seperti ini bisa apa?" Ayana sedikit menjeda kalimatnya karena rasa sesak yang semakin mencekik dirinya, "Bersaing pun aku merasa tidak pantas."
Pagi pun menyapa, Ayana akhirnya membiarkan Azka tidur di kamarnya lalu dia tidur dengan sang Nenek. Di saat Neneknya terbangun, Ayana beralasan jika ada seorang teman yang menginap.
Kini Ayana tengah membuat sarapan, kemudian dia mendengar suara Azka batuk dari kamar. Ayana pun berinisiatif membawakan air hangat untuk kekasihnya.
Ayana memasuki kamar dan ternyata Azka masih memejamkan matanya, Ayana kira kekasihnya itu sudah terbangun. Ayana hanya bisa menaruh gelas itu di atas nakas dekat ranjangnya, sekilas Ayana melirik jam dinding yang kini menunjukan pukul tujuh pagi.
"Aku harus membangunkannya."
Sebenarnya Ayana tidak tega untuk membangunkan Azka, tapi dia dan Azka harus segera pergi ke kantor. Bahkan Ayana sudah hampir terlambat.
"Azka? Bangunlah! Sudah pagi."
"Engh...."
"Kamu tidak ingin pergi ke kantor?"
"Lima menit lagi, kepalaku masih pusing."
Azka menjawab dengan suara yang serak, dia bahkan sedikit bergumam tidak jelas. Namun detik kemudian Azka langsung melebarkan kedua matanya saat kesadarannya sudah merambat otaknya.
Ruangan yang sangat asing!
Itulah yang Azka simpulkan di saat kedua matanya melirik ruangan itu. Lalu Azka ingat jika barusan suara kekasihnya lah yang baru saja pembangunkannya.
"Ayana?" Panggil Azka sangat terkejut dengan apa yang dia lihat sekarang ini. Ayana juga terkejut dengan ekspresi Azka yang langsung meringsut saat melihat kehadiran dirinya.
"Aku di mana?" Tanya Azka bingung.
"Kamarku."
"Kenapa aku di kamarmu?"
"Seharusnya aku yang bertanya, dari mana kamu tahu alamat rumahku? Lalu kenapa kamu mabuk semalam, huh?"
Ayana bicara tanpa tanda koma, dia sedikit kesal karena Azka melanggar janjinya untuk tidak menyentuh kembali minuman beralkohol itu. Ayana sangat tidak suka pemabuk, itulah kenapa dia tidak suka jika Azka meminum minuman yang memabukkan.
Bagi Ayana orang yang suka mabuk itu orang yang bodoh. Selain, itu hanya merugikan tubuh si peminum, itu juga tidak baik. Lalu yang paling Ayana tidak suka dari si peminum adalah karena alasan mereka itu tidak masuk akal bagi otak kecilnya.
"Azka, kamu melanggar janjimu untuk tidak mabuk lagi!"
Azka kemudian memegang kepalanya yang masih terasa pusing sekali, dia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Bayangan dirinya memasuki club malam kemudian dia mabuk dan karena merasa kesal terus di goda oleh wanita murahan, dia memutuskan untuk pergi.
Dan semua ingatannya langsung kembali, termasuk dia meminta alamat Ayana kepada sekretarisnya. Sepertinya dia sudah membocorkan hubungannya dengan Ayana tanpa sengaja.
"Aku-" Azka menutup mulutnya dengan tangan, tiba-tiba perutnya terasa sangat mual dan ingin muntah. Melihat Azka memberi kode bertanya di mana kamar mandinya, Ayana pun menunjukan pintu luar karena kamar mandinya memang ada di luar kamarnya.
"Di sebelah kiri dapur!" Teriak Ayana saat kekasihnya itu langsung berlari begitu saja. Merasa khawatir dengan keadaan Azka, Ayana kini menyusul pria tampan itu dengan kembali mengambil gelas yang tadi dia bawa.
Ayana berlari kecil untuk menyusul Azka, hingga sang Nenek yang baru saja keluar kamar menahan tangannya.
"Apa temanmu baik-baik saja?"
"Iya, dia bilang perutnya tidak enak. Mungkin masuk angin," jawab Ayana sedikit berbohong.
"Kalau begitu Nenek pergi sekarang saja, Nenek takut kamu nanti terlambat pergi bekerja."
"Tapi Nek-"
"Tak apa, Sayang. Temanmu sepertinya membutuhkan kamu, Nenek pergi sendirian saja. Jangan khawatir, ya?"
Ayana hanya bisa menatap Neneknya pergi dengan batuk yang terus terdengar, padahal Ayana sudah berjanji akan mengantar Neneknya untuk berobat ke klinik, Ayana juga sudah memberikan uang untuk menebus obat-obatan milik Neneknya.
"Huh... sial, kenapa aku harus minum banyak semalam?"
Mendengar ocehan dari Azka yang baru saja keluar dari kamar mandi membuat rasa sedih Ayana di tunda dulu. Urusan dengan kekasihnya itu lebih penting sekarang!
"Ini!" Ayana menyodorkan gelas itu dengan wajah sebalnya. Sedangkan Azka mengambil dengan bibir yang tersenyum, "Terima kasih."
"Kamu marah?" Tanya Azka yang melihat Ayana membuang wajahnya. Seharusnya Azka tidak usah bertanya lagi karena Ayana sudah pasti marah padanya.
"Aku minta maaf, Sayang. Semalam aku sangat stress jadi aku butuh pelampiasan."
"Omong kosong."
"Katakan sekali lagi!"
Ayana sedikit terkejut saat salah satu tangannya di tarik oleh Azka dengan sangat kencang. Ayana juga sedikit takut dengan intonasi yang di keluarkan oleh kekasihnya itu. Terdengar sangat dingin dan mengintimidasi siapapun yang mendengarnya.
"Aku bilang itu omong kosong!" Ayana sebenarnya takut dengan tatapan Azka sekarang ini, tapi hatinya sangat ingin mengeluarkan apa yang mengganjal tidak nyaman.
"Ayana!" Panggilan Azka sangat dingin, baru kali ini Azka memanggilnya dengan nada yang terdengar menahan amarahnya.
Hei... seharusnya Ayana yang marah!
"Kamu tidak datang semalam, aku menunggu kamu berjam-jam di sana. Dan apa yang kamu lakukan malam itu, hah? Kamu bertemu dan tertawa bahagia dengan calon istrimu!"
Tunggu dulu! Azka masih mencerna apa yang baru saja di katakan oleh kekasihnya. Sepertinya ada sedikit salah paham antara mereka berdua.
"Kenapa diam? Aku benarkan? Kamu membiarkan aku menunggumu sedangkan kamu bersenang-senang dengan wanita lain."
"Itu tidak seperti yang kamu pikirkan, aku bisa jelask-"
"Tidak perlu. Ayo kita putus saja," Ayana memotong kalimat Azka dengan cepat. Gadis bermata bulat itu sudah berkaca-kaca di saat dia mulai melepaskan tangannya dari genggaman Azka.
BERSAMBUNG...Tak!Ponsel Ayana seketika terjatuh dari tangannya. Pikirannya sudah melayang entah kemana."Dia Kakakku yang perfeksionis itu, dulu aku sering bercerita tentang dia padamu, kan? Sampai saat ini hubungan kami masih seperti itu, seperti musuh saja. Menyebalkan sekali, kan?"Ocehan Mahen membuat jantung Ayana seketika berdetak tak karuan. Fakta yang sangat mengejutkan bagi Ayana, kenapa dia tidak tahu jika Mahen dan Azka adalah saudara?"Ayana? Ayana?"Mahen memanggil Ayana tapi Ayana sedang terkejut bukan main. Sehingga Mahen menutup panggilannya, sedangkan Ayana masih terdiam dengan tatapan tak percaya."Kenapa? Kenapa harus Mahen yahg menjadi adikknya? Kenapa?" Ayana menjatuhkan air matanya tanpa ia sadari.Baru saja Ayana merasa hidupnya bisa berlanjut tapi mengapa ia harus terus terlibat dengan keluarga Wijaya lagi? Apa sekarang dia harus kabur dari Mahen juga?"Hah... Ayana bodoh, kenapa kamu terus terlibat dengan keluarga mereka?" Gumam Ayana yang langsung mengusap air matanya.T
"Hahaha, apa yang kamu bicarakan? Bercandamu sangat tidak lucu sekali."Ayana menepuk pundak Mahen sambil tertawa. Tapi Mahen tidak merubah ekspresi wajahnya, dia masih begitu serius menatap Ayana. Sampai akhirnya, Ayana perlahan menghentikan tawanya.Mahen menatap dalam, penuh harapan, membuat Ayana menjadi merasa ada aura yang berbeda. Ayana pun mengedipkan kedua matanya dengan lucu."Apa aku terlihat sedang bercanda sekarang?" Tanya Mahen yang membuat Ayana menutup mulutnya rapat-rapat."Aku tidak bercanda, Ayana. Aku ingin menikahimu, kehamilanmu juga akan semakin membesar. Bayi ini membutuhkam sosok Ayah dan aku bersedia menjadi Ayahnya.""...."Ayana masih terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Perlahan, Mahen pun memegang tangan Ayana dan tatapan hangatnya sama sekali tidak pernah redup."Ayo, memulai hidup baru bersamaku, aku akan menerima semuanya. Aku akan mencintaimu dan juga anak dalam kandunganmu, biarkan dia menjadi anakku juga, Ayana."Pengungkapan Mah
"Bagaimana? Apa sampai saat ini kamu tidak bisa mengetahui dia dimana?" Tio menunduk pasrah saat Azka bertanya dengan tatapan yang begitu tajam. Dia langsung memijat pelipisnya, hari demi hari rasanya semakin buruk karena kabar Ayana sama sekali tidak terdengar. "Maafkan saya, Tuan." "Ini sudah hampir 4 bulan, sebenarnya apa yang kamu kerjakan? Kerjamu sangat tidak becus!" Azka langsung saja pergi dari ruangan kerjanya. Kepalanya sedikit terasa berat dan dia pun berjalan menuju kantin, kebetulan sekali, Sang Genral manager itu melihat seorang gadis yang sedang makan dengan lahap di sudut kantin. Dengan kakinya yang gelisah, dia datang menghampiri Olivia, sahabat Ayana. Dia tidak punya pilihan lain, dia harus bertanya langsung pada Olivia. "Boleh saya duduk disini?" Tanya Azka yang membuat Olivia langsung tersedak dengan makanannya. "Uhuk!" "Ah, maaf, membuatmu terkejut." Olivia benar-benar akan mengeluarkan kedua bola matanya karena melihat siapa yang datang ke tempat
"Dengar... aku tidak akan bertanya jika kamu tidak ingin bercerita lebih dulu. Tapi satu hal yang bisa kamu ingat, aku akan selalu ada di sampingmu. Jadi ceritakan apapun yang ingin kamu bagikan denganku, aku siap menjadi pendengar yang baik untukmu."Kedua bola mata Ayana kembali berkaca-kaca, setiap ucapan Mahen sangat menyentuh hatinya. Dengan cepat, Ayana memeluk Mahen."Aku bingung, Mahen. Haruskah aku memberitahu Ayah dari bayi ini? Apa yang harus aku lakukan?"Mahen terdiam untuk sesaat, membiarkan Ayana meluapkan emosinya dengan menangis. Dengan sabar, Mahen menepuk-nepuk punggung Ayana dengan lembut. Berharap itu bisa membantu menenangkan hati Ayana yang kebingungan.Tapi jika boleh Mahen jujur, dia ingin tahu siapa yang telah berani menodai gadis sebaik Ayana. Kenapa Ayana sampai merelakan tubuh dan harga dirinya demi seorang pria?Itu sangat bukan Ayana yang Mahen kenal, dia pikir, Ayana tidak akan terjebak dalam hubungan seperti itu."Apa aku boleh berpendapat?" Tanya Mah
Setelah bertemu kembali dengan Ayana, Mahen semakin sering datang ke Cafe Cielo. Dia datang hanya untuk melihat Ayana, yang ternyata pandai beradaptasi. Sebenarnya Mahen masih merasa ada yang mengganjal, soal tangisan Ayana hari itu."Kenapa kamu terus menatapnya, apa dia gadis yang sering kamu ceritakan padaku?" Cielo bertanya sambil menyeruput kopi miliknya.Dia sejak tadi memperhatikan Mahen yang terus mantap Ayana yang sedang bekerja. Sampai akhirnya Cielo menghampiri Mahen untuk menemaninya sarapan."Dunia ternyata sangat sempit, ya, Cielo. Aku sekarang merasa sangat bodoh, seharusnya aku tidak jadi pengecut dan melarikan diri saat itu.""Kalian masih muda kala itu, jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Aku dengar, dia datang kemari untuk pengobatan Neneknya. Dia juga belum menikah, kalian mungkin di pertemukan kembali agar kalian bisa bersama setelah kalian dewasa." Mahen melirik Cielo lalu tersenyum, "Apa aku boleh mengejar cintanya lagi?""Lakukan sesukamu! Bukankah sela
"Halo, selamat pagi?" Sapa seorang wanita bernama Cielo."Halo, Saya Ayana yang melamar kerja kemarin."Ayana bicara bahasa spanyol sebisanya, dan itu terdengar lucu di telinga Cielo. Cielo pun tersenyum dengan begitu ramah, sampai akhirnya Cielo berbicara bahasa Indonesia yang membuat Ayana sangat terkejut."Oh, kamu orang Indonesia, kan? Silahkan masuk, kita bicara di dalam.""Eh? Anda bisa bahasa Indonesia?" Tanya Ayana yang sangat terkejut dan tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya."Tentu saja, aku dulu pernah tinggal di Indonesia sebagai mahasiswa.""Ah, pantas saja.""Tenang saja, disini juga banyak orang Indonesia yang sering datang. Kamu akan mendapatkan banyak teman nantinya.""Aku harap begitu."Ayana masih malu-malu dengan keramahan yang diberikan oleh Cielo. Dia hanya mengikuti wanita berumur 35 tahun itu menuju ke dalam sebuah cafe yang masih tutup."Sengaja aku memintamu datang lebih awal agar aku bisa memberitahumu aturan kerja di sini." Ungkap Cielo yang hanya