Sofia melajukan mobilnya menuju rumah Pak RT. Meski begitu Sofia tetap memerintahkan bawahannya untuk bersiap di kantor polisi dan menunggu telepon darinya. Dia akan memberikan salah satu kesempatan untuk yang terakhir kalinya. Kalau saja Bu Saras tetap tidak mengaku maka dengan sangat terpaksa Sofia akan memenjarakannya."Ingat, kamu harus bersiap di sana. Begitu aku telepon kamu ke sini sama polisi," titah Sofia penuh ketegasan.Tanpa menunggu jawaban, Sofia langsung memutuskan sambungan telepon dan fokus menyetir.BrakBrakTerdengar suara langkah berderap yang kian mendekat saat Sofia memukul pintu dengan keras. "Siapa, sih gak sabaran ...." Mata Bu Saras membelalak dan terdiam saat melihat Sofia yang datang. "Pantesan gak sabaran."Sofia menyunggingkan senyum seringai. "Justru karena aku terlalu sabar makanya baru ke sini. Ayo, ikut!"Bu Saras menahan tangannya yang ditarik oleh Sofia. "Heh, dasar gak sopan! Datang-datang malah tarik orang.""Masih mending Bu Saras aku tarik.
"Halah gak usah pura-pura, Bu Saras. Aku tahu kalau Bu Saras yang bikin mertuaku pingsan."Antara terkejut, tetapi senang Bu Saras berkata, "Jadi si Marini cuma pingsan?"Tentu saja Bu Saras senang mengetahui kenyataan kalau Bu Marini hanya pingsan dan bukannya meninggal. Artinya dia bukanlah seorang pembunuh dan tidak akan dipenjara. "Maksud perkataan Bu Saras apa?"Sofia tersenyum samar, dia berhasil menjebak Bu Saras. Memancingnya untuk mengaku kalau yang membuat Bu Marini pingsan adalah dirinya. Sofia tidak punya bukti, karena itu dia harus membuat bukti.Degh"Ya ... ya maksudnya ke-kenapa kamu sampai besar-besarkan masalah ini kalau mertuamu itu cuma pingsan? Emang apa lagi?" jawab Bu Saras terbata-bata. Bahkan keringat sebesar biji jagung sudah memenuhi dahinya. Mulutnya mungkin bisa berbohong, tetapi tidak dengan gerak-geriknya yang jelas menunjukkan kecemasan."Beneran?" Mata Sofia memicing, tetapi Bu Saras tetap bungkam. "Padahal aku punya bukti CCTV loh.""Mana mungkin! Ta
"Ibu kenapa–""Aku gak bisa cerita, Mas. Pokoknya kamu nyusul ke rumah sakit sekarang," potong Sofia sebelum suaminya selesai bicara. Setelah itu langsung mematikan sambungan telepon. Tanpa berpikir, Farhan langsung izin untuk pulang cepat dan menuju rumah sakit. Meski tidak bisa berpikir jernih, Farhan berusaha fokus berkendara. Salah-salah dia justru ikut dirawat di rumah sakit. Setelah sampai, Farhan menghampiri gegas Sofia yang sedang duduk dengan raut cemas di depan ruang UGD. "Mas!" Sofia bangkit dan memeluk sang suami saat melihatnya. "Bagaimana keadaan ibu? Kenapa dia bisa pingsan?" cecar Farhan yang langsung memberondong Sofia dengan pertanyaan begitu mereka bertemu. Sofia menggeleng. "Aku juga nggak tahu Mas. Sebab waktu aku pulang Ibu udah pingsan."Mendengar hal itu, Farhan makin khawatir dengan kondisi sang ibu. Pasalnya selama ini, Bu Marini tidak pernah menunjukkan tanda-tanda penyakit kronis. Bahkan Beliau juga tidak pernah mengeluh sakit. "Mau ke mana?" tanya
"Lho Mama mau ke mana?" tanya Lusi saat melihat mamanya sudah seperti bersiap untuk pergi. "Mau ke rumah si Marini. Mau buat perhitungan sama tuh menantunya, enak saja main pecat anak orang tanpa alasan yang jelas.""Tapi, Ma ...." Lusi mencoba mencekal lengan mamanya. Meski detik berikutnya sang mama menghentakkan tangannya dan cekalan Lusi langsung terlepas. "Sudah, jangan halangi Mama, Lusi! Kamu terlalu baik, makanya si Sofia seenaknya sama kamu. Udah, biar mama aja yang urus," ujar Bu Saras dengan mata memerah dan rahang mengeras. Perempuan paruh baya itu sangat marah. "Aku ikut, Ma.""kamu di sini aja. Tunggu beres. Kalau mama yang turun tangan dijamin masalah beres."Meski Bu Laras melarang Lusi, nyatanya sang anak tetap membuntutinya secara diam-diam. Lusi mau melihat secara langsung bagaimana Sofia diberi pelajaran oleh mamanya. Pokoknya Lusi mau mensyukuri setiap kejatuhan Sofia. Sesampainya di tujuan, rupanya Sofia dan Farhan masih belum pulang. Mereka masih di kantor
"Tutup mulutmu!" "Ups maaf aku sengaja, hahaha!" Sofia tergelak sembari memegang perutnya karena tidak tahan sebab menahan kegelian melihat wajah shock di depannya. Namun, menurut Lusi tawa Sofia seperti ejekan baginya. "Katakan apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Lusi sembari menatap Sinis Sofia. "Lho kan aku sudah bilang barusan kalau aku ke sini karena menggantikan suamiku bertemu dengan mantan pacarnya yang tidak tahu malu dan tidak tahu diri ini." Sofia memandang remeh pada Lusi. "Tutup mulutmu Sofia! Aku ke sini tidak untuk bertemu denganmu tapi dengan Farhan. Katakan di mana dia!""Ups, sabar dulu dong nafsu amat sih sama laki orang." Sofia sengaja mengeraskan suaranya sehingga membuat orang-orang yang ada di sekitarnya menoleh ke arah mereka. "Pelankan suaramu, Sofia!" Lusi menatap Sofia penuh amarah bahkan wajahnya saja sudah memerah. "Lho, kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan? Mana Lusi yang pandai merayu suami orang saat di chat? Kenapa tiba-tiba sekarang melempe
BAB 36[Baiklah, kalau kamu serius dengan ucapanmu silahkan temui aku di cafe wash-wush besok pas jam makan siang.][Baiklah, aku udah gak sabar buat ketemuan sama kamu deh. Sampai jumpa besok ya, Sayangku]Sofia sampai menggelengkan kepalanya membaca isi pesan dari Lusi. Ia tidak habis pikir kenapa bisa ada manusia tidak tahu diri dan tidak tahu malu seperti Lusi. Dulu saja dihina, dicaci, bahkan, dicampakkan. Lantas? Kenapa sekarang dia seolah-olah mau membahas masa lalu seakan masih peduli? Cih! "Yasudah lebih baik kita tidur sekarang. Gak usah kamu pikirkan si Lusi karena sampai kapan pun aku gak kan pernah mau lagi berpaling padanya. Ya kali aku katarak secara kamu dan dia saja cantikan kamu ke mana-mana. Kamu juga bisa menerimaku dan Ibuku apa adanya. Masa iya mau aku tukar sama koreng cicak begitu." Sofia tergelak mendengar Farhan mengatakan koreng cicak untuk Lusi. "Kok ketawa sih, Sayang." Farhan menjawil hidung istrinya. "Habis kamu lucu masa iya dikata koreng cicak.""Lh