Tanpa banyak berpikir lagi, aku segera mendatangi rumah sakit tempat ibu di periksa dan di rawat dulu. Aku dan bulek mengecek kesehatan dan kecocokan organ ginjal kami. Semakin cepat melakukannya akan semakin baik, jika aku harus berbagi organ yang ada sepasang itu dengan ibu maka aku rela melakukannya.
Setelah melakukan pemeriksaan yang cukup memakan waktu, kami bertiga tinggal menunggu hasilnya saja. Rasanya waktu berlalu dengan lamban, ada harapan dan kecemasan dalam diriku. Bagaimana jika diantar kami tidak ada yang cocok.Mencari donor untuk hal itu rasa-rasanya sangat mustahil bagi kami, melakukan cuci darah setiap saat pun sepertinya akan menyiksa ibuku."Ya Allah, aku memang bukan hambaMu yang baik. Aku bahkan tidak pernah melakukan kewajibanku sebagai seorang muslim, tapi hanya padaMu lah hamba ini meminta jika dalam kesulitan. Hamba tidak ingin kehilangan ibu hamba," doaku dalam hati.Aku memang hamba yang tidak tahu diri, berdoa padaNya saat diambang keputusasaan.****Pada akhirnya dokter memberi tahukan jika organ yang paling cocok adalah milik adik ibu, alias bulek. Tanpa berpikir panjang lagi kami melakukan operasi. Awalnya ibu menolak dengan alasan biaya, namun setelah aku bujuk dan yakinkan akhirnya ibu mau juga melakukan operasi itu.Didepan ruang operasi aku mondar-mandir menunggu, ada rasa khawatir dalam diriku. Aku tidak begitu tahu tentang dunia medis, bahkan aku hanya ke puskesmas desa jika sedang sakit."Haruskah aku salat dan berdoa padaNya untuk keselamatan ibu," ucapku dalam hati.Tanpa berpikir panjang lagi, aku mencari mushola yang ada di rumah sakit. Biarpun berdoa dan salat hanya saat butuh saja, aku yakin Tuhanku akan mengabulkan permintaanku. Aku tidak ingin kehilangan lagi orang yang aku sayangi.Setelah mengambil wudhu, aku segera melakukan salat dua rakaat dan berdoa. Aku melakukan salat hajat, tidak peduli jika salat itu hanyalah salat sunah padahal aku meninggalkan yang wajib."Ya Allah, jangan Engkau ambil ibuku. Aku masih sangat membutuhkannya saat ini. Aku tidak bisa hidup sendirian tanpa siapapun, aku rela melakukan apa saja dan kehilangan apapun asal ibuku tetap bersamamu." Aku berdoa dengan berurai air mata.Selama ini aku jarang mengingat Penciptaku. Meksipun ingat, aku tidak pernah menjalankan kewajiban salat lima waktu sama sekali. Apa yang kulakukan selama ini adalah dosa, dan kupikir diriku ini tidak berhak untuk salat ataupun berdoa.Aku menghabiskan waktu untuk menunggu selesai operasi di mushola, di tempat ini aku mendapatkan ketentraman yang tidak pernah aku dapatkan selama ini. Dokter mengatakan jika memerlukan waktu setidaknya lima sampai tujuh jam untuk menjalankan operasi.****Satu bulan sudah aku tinggal di rumah, cuti kerja yang aku ajukan hanya seminggu terlewat begitu lama. Mungkin saja aku sudah di keluarkan dari tempat itu. Aku sudah memberikan kabar pada Nayla tentang alasanku lebih lama tinggal di kampung. Bagaimanapun juga aku tidak bisa meninggalkan ibu dan bulek pasca operasi mereka."Jika kamu masih lama di kampung, ajukan cuti online aja ke kampus," usul Nayla kala aku menelponnya."Nggak perlu Nay, satu bulan aja aku disini. Setelah itu aku akan kembali ke kota, aku tidak mau menunda apapun."Sebelum pergi kembali ke kota, aku membeli ponsel pintar untuk ibuku. Aku harus memantau perkembangan kesehatan kedua orang yang aku cintai itu lewat panggilan video. Kadang kala orang tua berbohong untuk membuat anaknya tidak menghawatirkan keadaan dirinya."Bu, besok Mentari pergi ke kota lagi yaa. Riri harus lanjutin kuliah dan bekerja seperti biasanya. Jika ada apa-apa langsung hubungi Riri," ucapku sambil memeluk tubuhnya.Malam ini aku tidur bersama ibu, aku ingin menghabiskan waktu bersamanya sebelum esok meninggalkannya."Putri ibu sudah besar, sudah bersinar seperti namanya, Mentari." Ibu berkata sambil mengusap rambutku.Ada perasaan bersalah dalam diriku, aku tidak pernah jujur dengan apa yang aku lakukan di kota sana. Bahkan uang yang aku pakai untuk mengobati ibu adalah uang hasil menjual tubuhku."Meskipun uang itu berasal dari pekerjaan seperti itu, semoga ibu sehat dan tidak sakit-sakitan lagi," doaku dalam hati."Maafkan ibu sudah membuatmu menghabiskan banyak uang," ucap ibu lirih."Apa aku juga harus meminta maaf karena menghabiskan uang ibu saat ibu membesarkan diriku?" Aku balik bertanya."Tentu tidak! ibu ikhlas melakukan dan itu kewajiban ibu," selanya cepat."Jika begitu maka jangan meminta maaf juga untuk semua yang Riri lakukan untuk ibu, itu adalah kewajibanku. Ibu harus tetap sehat, karena aku tidak bisa kehilangan ibu."Ibu memelukku dengan erat, kami sama-sama terdiam. Tengelam dalam pikiran masing-masing hingga kesadaran kami hilang ditelan rasa kantuk.****"Serius amat lagi ngapain!" Nayla menepuk bahuku sembari berteriak."Ya ampun Nay, bikin kaget aja," ucapku sambil memanyunkan bibirku."Habisnya serius banget menatap layar handphone. Ngapain sih?" Nayla berkata sambil ikutan menatap kearah ponselku."Apa kamu memiliki masalah keuangan?" Lagi, dia bertanya.Layar handphoneku memang sedang menampilkan sebuah aplikasi perbankan. Aku sedang melihat saldo rekeningku yang kian menyusut dan aku belum bekerja juga. Tempat kerjaku dulu bersama Nyala sudah digantikan dengan orang lain karena begitu lama aku tidak masuk kerja.Nayla sudah berusaha untuk meyakinkan atasan kami jika aku akan kembali, namun mereka tidak mau lagi mempekerjakan diriku karena ijin cuti seminggu tapi malah tidak masuk selama sebulan. Disini memang aku yang salah."Tabunganku makin tipis, aku harus membayar biaya kuliah juga bulan ini. Kalau aku tidak segera mendapatkan pekerjaan, aku bisa jadi gelandangan," ucapku sambil tertawa miris."Kamu yakin tidak mau melakukan pekerjaan itu lagi? Uang pemberian Alex untuk biaya kuliahmu sudah habis kan buat operasi ibumu.""Entahlah Nay, aku masih ragu-ragu," jawabanku lirih."Kamu bisa berhenti jika sudah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan seperti keinginamu. Aku memang teman yang menyesatkan, tapi aku peduli padamu. Kamu bilang tidak ingin menunda kuliah kan?"Aku mengangguk mengiyakan perkataan Nayla. Aku sedang dilema saat ini, ingin berhenti namun nyatanya memang tidak semudah itu. Ibu juga harus rajin kontrol dan meminum obat pasca operasi itu. Kata dokter, obat itu berguna untuk pencegahan tubuh menolak pencangkokan yang sudah dilakukan."Jika kamu tidak mau menjadi simpanan, kamu bisa menjadi wanita panggilan," bisiknya.Saat ini kami memang sedang makan siang di kantin kampus seperti biasanya. Aku menatapnya tidak mengerti."Intinya, kamu tidak terikat dengan satu orang saja. Tapi bisa melakukan itu dengan siapapun dengan memasang tarif. Kamu cantik, putih dan mulus, bisa memasang tarif yang tinggi," ujarnya menjelaskan."Maksudnya pel@cur?" tanyaku dengan berbisik."Memangnya apa bedanya? kamu jadi simpanan Alex kemarin itu sama aja dengan profesi itu."Benar juga apa yang dikatakan oleh Nayla, mau jadi simpanan atau wanita panggilan tetap saja hina. Tetap menjual tubuh untuk mendapatkan uang."Bagaimana?" tanyanya lagi."Apa tidak ada pekerjaan lain lagi Nay, yang duitnya banyak tanpa harus menjual tubuh?" tanyaku berbisik."Ada," jawabannya datar."Apa?" tanyaku dengan antusias."Jual ginj*l," sahutnya diiringi derai tawa.Hingga orang-orang yang sedang makan juga di tempat kami berada menatap ke arah kami."Nayla!" Aku berkata sambil melotot kearahnya.Bisa-bisanya dia berkata seperti itu dengan sangat keras di tempat seramai ini. Meskipun saat ini kami sedang duduk berdua di pojokan, namun tidak enak juga kalau dia berkata sekencang itu hingga menjadi pusat perhatian.Aku terdiam, kembali memikirkan perkataan Nayla. Haruskah aku melakukan itu lagi, jika tidak melakukannya bisa saja aku tidak akan menyelesaikan kuliah yang sudah aku mulai saat ini, lalu bagaimana dengan ibu. Ditambah lagi sekarang aku masih pengangguran.🍁 🍁 🍁Aku sudah membayar biaya kuliah satu semester ini, uang di tabunganku benar-benar terkuras habis. Usaha mencari pekerjaan yang layak terus aku lakukan, setiap hari keliling kota yang panas dan macet ini sekedar mencari pekerjaan. Makan seadanya, kadang kala Nayla dengan suka rela memberiku makanan yang dia beli. Aku benar-benar mengirit semua pengeluaran dan mengencangkan ikat pinggang. "Kamu jangan selalu membeli makanan dua porsi begini, Nay. Lama-lama kamu bisa bangkrut," ucapanku malam itu saat kami makan nasi goreng berdua di kamar kosanku. Temanku itu lagi-lagi membawa dua porsi makanan untukku dan dirinya. Padahal aku baru saja akan membuat mie instan. "Aku tidak akan bangkrut hanya dengan membelikan dirimu makanan begini, Mentari," sahut Nayla santai sambil mengunyah makanannya. "Kamu sudah dapat pekerjaan?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala dengan lemah sebagai jawaban atas perkataannya. Memang, mencari pekerjaan di kota ini tidak semudah membalikkan telapak tangan."
Mataku menatap nanar kearah benda pipih berlayar datar yang sedang aku pegang, baru saja bulek mengirim nominal uang yang harus dibayarkan untuk rawat inap ibu beserta obat-obatannya. Lima belas juta, uang sebesar itu dulu tidak ada apa-apa saat aku bersama Alex. Tapi sekarang dengan pekerjaanku yang hanya pelayan cafe, nominal itu sangat besar. Ditambah lagi aku baru bekerja enam bulan. Helaan nafas panjang, kuharap bisa membuat beban dihatiku sedikit berkurang. Di dalam rekeningku hanya ada lima juta, darimana aku akan mendapatkan kekurangannya? Bisakah meminjam pada tempatku bekerja ini padahal baru bekerja selama enam bulan. Ah, lebih baik aku coba terlebih dahulu. Akan kutemui Pak Bagas sebelum pulang. Segera kuderapkan langkah kakiku menuju ruangan atasanku itu. Aku mengetuk pintu begitu sampai didepan ruangan beliau. "Masuk!" terdengar suara berat dari dalam mempersilahkan aku masuk. Dadaku sudah berdebar-debar terlebih dahulu saat melangkah kaki menuju lelaki yang terliha
Mobil Pajero sport SUV berwarna putih membawa kami menjauh dari kota metropolitan. Entah ke mana atasanku ini hendak membawaku pergi saat ini, katanya dia sedang ada urusan di luar kota berkenaan dengan cabang cafe di sana. Sepertinya Pak Bagaskara memang memiliki usaha di bidang ini dengan banyak cabang di berbagai kota. "Bagaimana jika kamu menjadi sekretarisku saja," ucapnya sambil menggenggam tanganku.Apa-apaan ini, kenapa dia memperlakukanku seperti kami sepasang kekasih saja. Aku hanya diam tidak bisa menjawab perkataannya, bagaimana dengan karyawan yang lain. Aku takut mereka akan curiga jika tiba-tiba saja dari seorang pelayan menjadi seorang sekretaris. Lagi pula setahuku Pak Bagas tidak pernah memiliki sekretaris, dia selalu bekerja sendirian di tempat itu."Kamu bilang kuliah jurusan administrasi perkantoran bukan? Biasanya bidang profesi yang identik dengan jurusan itu adalah sekertaris. Itu bisa menjadi alasan untukku membuatmu menjadi sekretarisku," ucapnya tanpa mem
Dengan tubuh berpeluh, Pak Bagas mengurai penyatuan tubuh kami. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sampingku setelah mendapatkan kepuasan. Segera kuraih selimuti putih untuk menutupi tubuhku yang terbuka. "Sudah berapa laki-laki yang meniduri dirimu?" Tanya Pak Bagas datar. Pertanyaan yang tidak pernah aku sangka akan keluar dari mulutnya. Aku menghela nafas untuk menekan perasaanku. Seharusnya dia tidak menanyakan hal itu bukan, wanita yang bisa ditiduri sebagai wanita bayaran tentu saja bukan seorang wanita perawan. "Apa bapak perlu tahu soal itu?" Aku balik bertanya sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. "Tentu saja, aku mengeluarkan uang untukmu dan akan membayar mahal tubuhmu. Aku tidak ingin kamu membawa penyakit untukku." Ucapannya lagi-lagi menggores hatiku. "Saya memang bukan seorang perawan pak, tapi saya pastikan tidak akan menularkan penyakit buat bapak." Selama aku berhubungan dengan Alex, aku selalu memeriksakan kesehatan reproduksiku dan aku tida
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, Pak Bagas menyuruhku untuk ke kafe lebih pagi jadi aku harus bergegas pergi ke tempat kerjaku itu. Kafe buka jam setengah sembilan, jadi setidaknya harus datang satu jam sebelum itu. Perjalanan dari kosan ke kafe sekitar satu jam jika tidak macet. Kalau pergi pagi-pagi begini dipastikan kemacetan belum terjadi. Tepat jam setengah enam, aku sudah berada di halte busway. Menunggu bus yang di dominasi warna yang menuju kearah tempatku bekerja. Seperti yang diperkirakan, tidak ada kemacetan di jalan sehingga aku cepat sampai tujuan. Tidak sampai satu jam perjalanan aku sudah sampai di kafe. Papan yang bertuliskan close masih terpampang di pintu masuk karena memang belum waktunya buka. Aku dorong begitu saja pintu tersebut, kupikir karyawan yang biasa bersih-bersih dan beres-beres sudah datang terlebih dahulu. Ponselku berdering saat baru melangkahkan kakiku ke dalam tempatku bekerja itu. Sebuah panggilan telepon dari Nayla. "Ada apa Nay?" tanyaku beg
"Kenapa hah?!" Bentaknya."Kamu tidak mau, meskipun kafe ini milik Suamiku tapi aku yang berkuasa disini. Jika kamu tidak mau mengikut kemauanku, maka aku yang akan memecatmu sekarang juga." Ancaman bertubi-tubi keluar dari mulut wanita cantik yang ada di hadapanku itu. "Bukan begitu, Ibu. Saya hanya takut ketahuan sama Bapak Bagas. Saya tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman memata-matai orang," jawabku beralasan."Pilih dipecat atau mengikuti mauku!"Wanita ini begitu dominan, tapi kok bisa hamil dan ditinggal sama kekasihnya. Lalu apa Pak Bagas terlihat kurang kasih sayang karena Istrinya se-galak ini. Apakah wanita ini galak juga pada suaminya. "Kenapa malah bengong, jawab!" "I-iya Bu, saya pikirkan dulu ya," jawabku pasrah. Aku akan mengatakan ini pada Pak Bagas, meminta pendapatnya. "Tulis nomer handphonemu disini," titahnya sambil menyodorkan smartphone miliknya. Dengan enggan aku merima telepon pintar yang terlihat mahal itu dan mengetik nomerku disana. "Saya simpan
Aku langsung tertawa kecil mendengar tuduhan dari ibu Ayudia tawa yang sejatinya untuk menutupi kegugupanku."Coba Ibu perhatikan tampang saya apakah saya ini terlihat seperti wanita yang menarik perhatian Pak Bagas," ucapku berpose tegak di hadapan istri atasanku tersebut.Wanita itu menatap ke arahku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Sepertinya meragukan sih," pungkasnya.Ada sedikit rasa lega dalam hatiku mungkin saja kali ini aku akan bisa lolos dari tuduhannya. Sehari-hari aku memang selalu memakai celana panjang dengan model itu-itu saja hanya warnanya saja yang berubah-ubah. Kemudian untuk atasan, hanya memakai kemeja, tunik atau kaos panjang. Jika dilihat memang aku ini kurang menarik dan biasa saja. Baju yang aku kenakan juga bukan baju-baju yang bermerek, seringkali aku membelinya secara online. Selain itu rambutku hanya aku kuncir kuda setiap harinya. Tidak layak disebut sebagai wanita yang banyak uang karena dibooking oleh laki-laki.Gajiku, aku pakai untuk makan sep
Kami berkendara dalam diam, aku dengan pikiranku dan Pak Bagas dengan pikirannya. Diri ini tidak berani lagi mengatakan hal yang sama tentang keinginan mengakhiri hubungan ini. Mobil yang dikendarai oleh Pak Bagas berhenti di sebuah parkiran taman kota. Taman kota yang buka hingga malam hari, apalagi dimalam Minggu taman ini akan semakin ramai. Pria disampingku ini seperti tidak berniat untuk turun, dia hanya duduk diam di dalam mobilnya. Aku pun memilih diam menunggu apa yang hendak dilakukan atasanku itu ditempat ini. "Apa kamu ingin mengakhiri hubungan ini karena kamu sudah tidak membutuhkan aku lagi, terutama uangku," ucapnya memecah keheningan sekaligus menghujamkan rasa sakit di dadaku.Aku tahu seharusnya tidak sakit dengan perkataannya, toh dari awal memang hubungan kami dimulai dengan aku yang membutuhkannya uang. Jadi wajar saja jika pria itu menganggapnya begitu. "Kenapa diam saja, jawablah Mentari. Kurang dari setahun lagi kamu sudah selesai kuliah kan, mungkin saat ini