Share

Bab. 2

[ Teh Tika! Ahmad ketemu A Miftah sama wanita hamil, lagi liat-liat kontrakan Teteh yang ada di Cijerah! ]

Deg!

[ Ah, salah liat mungkin kamu, Mad. Suami teteh, kan udah pindah tugas di Karawang. Lagian kalau dia tiba-tiba ada keperluan pasti mampir ke sini dulu, ngapain jauh-jauh dateng cuma buat cari kontrakan? Lagian A Miftah, kan nggak pernah tahu kalau selama ini teteh punya rumah kontrakan yang disewakan.]

*Foto*

[ Tuh, Teteh liat aja sendiri! Beneran A Miftah, kan? Ahmad fotonya diem-diem. Dia lagi ngobrol sama tetangga yang udah lebih dulu sewa. ]

Tiga pesan yang datang berurutan bersama dengan foto yang dikirimkan, membuat kesenangan yang baru sesaat hinggap, langsung menguap. Lokasi rumah kontrakan yang Ahmad fotokan memang tempat yang sama dengan kontrakan kosong yang Bu Susi infokan tadi.

Terletak di daerah Cijerah, sekitar lima ratus meter dari pasar. Kontrakan lima pintu peninggalan ibu diwariskan padaku dan Ahmad, sejak beliau berpulang menyusul bapak tiga tahun lalu. Dari lima kamar kontrakan berukuran 5 x 5 dengan kamar mandi di dalam itu salah satunya dihuni Bu Susi, seorang janda penjual baso asal Malang dan anak perempuannya yang berusia tujuh tahun, sementara tiga lainnya ditempati para pegawai Pabrik Kahatex. Sedangkan yang satunya sudah setahun kosong.

Aset tersebut memang sengaja belum kuberi tahu pada A Miftah, apalagi keluarganya. Tak ada alasan khusus, uangnya hanya kusimpan untuk memenuhi kebutuhan yang kurang, mulai dari biaya pengobatan Akbar ke terapis, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya. Apalagi kami masih punya setoran mobil yang saat ini A Miftah gunakan. Sebab kalau hanya mengandalkan gaji A Miftah tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan, apalagi sampai detik ini biaya ibu dan sekolah adiknya masih dia tanggung. Sebenarnya aku tak keberatan, selama dia masih mampu memberi nafkah sesuai kemampuan, karena aku memang punya simpanan di bank.

Namun, saat mengetahui uang yang kupinjamkan dia gunakan untuk menyewakan kontrakan untuk seorang perempuan. Rasanya benar-benar seperti ada sesuatu yang menghantam walaupun aku belum tahu pasti siapa perempuan yang berniat dia sembunyikan di rumah kontrakan.

"Bu-na." Akbar menarik-narik jilbabku, karena terlalu lama melamun dalam kebisuan.

Aku tersenyum kecil, lalu mengusap kepala bocah yang duduk di depan.

"Sebentar, ya, Sayang." Kupeluk Akbar dengan sebelah tangan, sedangkan sebelah lagi mencoba menghubungi A Miftah.

Tiga kali dering terdengar, hingga digetar keempat sambungan telepon berhasil terhubung.

"Assalamualaikum, A."

"Waalaikumsallam. Ada apa, Neng?"

"A'a lagi di mana sekarang?"

Ada jeda yang cukup panjang, menciptakan keheningan mencekam yang membuat dadaku berdebam tak keruan.

"Ya ... jam segini mah baru pulang ke kosan atuh. Aneh-aneh aja pertanyaan kamu." Sedikit gelagapan dia menjawab.

"Di Karawang?" tanyaku memastikan langsung pada inti.

Lagi-lagi dia sempat terdiam sebelum menjawab pertanyaan. Membuyarkan semua pikiran positif dalam diri.

"Ya-yaiyalah. Emangnya di mana lagi?"

Kupejamkan mata, lalu mematikan sambungan telepon tanpa permisi. Dua kebohongan sudah keluar dari mulutnya hari ini, kebohongan yang nyaris tak pernah kudengar selama tujuh tahun pernikahan. Sebenarnya saat ini aku bisa saja langsung datang menghampiri. Menemui mereka dan langsung meminta penjelasan. Namun, bila hal itu kulakukan aku tak akan tahu hubungan macam apa yang terjadi di antara suamiku dan wanita muda itu.

Pada akhirnya, nomor Bu Susi kujadikan pelarian.

"Halo, Bu. Bisa tolong wakilkan saya? Tiba-tiba saya ngerasa nggak enak badan. Harga sewa kontrakannya 500 perbulan, belum termasuk listrik dan air."

"Loh, maaf, biasanya yang lain segitu udah berikut listrik sama air, Neng?"

"Ya, itu harga untuk yang lajang. Kalau pasangan suami-istri apalagi pasangan nggak jelas, tarifnya beda, Bu."

***

"Kenapa nggak langsung Teteh samperin aja, sih A Miftahnya?"

Ahmad yang baru saja tiba di rumah terlihat kesal dengan keputusan yang kuambil. Kebetulan adik lelakiku itu memang bekerja sebagai operator mesin di Pabrik Kahatex Cijerah dan tinggal di rumah peninggalan orangtua kami, sendiri. Aku dan Ahmad berbeda tiga tahun. Bulan ini umur adikku genap dua puluh empat, sedangkan aku dua puluh tujuh. Begitu pun selisih umurku dan A Miftah yang hanya berbeda dua tahun. Meskipun dua tahun lebih muda penampilanku memang terlihat lebih dewasa daripada A Miftah. Mungkin karena tubuhku yang terlalu kurus.

"Teteh nunggu waktu yang tepat, Mad. Teteh nggak bisa langsung labrak gitu aja kalau belum pasti statusnya. Gimana kalau yang dia bawa itu cuma temen atau bahkan sodara jauh yang nggak teteh tahu."

Ahmad menghela napas gusar.

"Kalau emang cuma saudara atau temen, kenapa mesti bohong? Seharusnya dari awal dia langsung bilang kalau duit yang dipinjem buat bayarin kontrakan awewe eta (cewek itu)."

Aku bungkam mendengar penyataan Ahmad yang memang terasa masuk akal. Adik laki-lakiku itu tiba-tiba beranjak dan pamit pulang.

"Ya udah kalau teteh nggak bisa, biar Ahmad yang wakilin. Entah kenapa lama-lama Ahmad makin nggak suka liat kelakuan suami teteh. Udah mah jarang pulang, kadang ngasih duit bulanan pas-pasan, eh sekarang tanpa sepengetahuan ngumpetin cewek di kontrak--"

"Jangan atuh, Mad. Teteh minta tolong sama kamu buat pantau aja mereka. Walau gimana pun ini rumah tangga teteh sama si A'a. Kalau beneran terbukti perempuan itu selingkuhan, teteh sendiri yang bakal usir dari kontrakan."

"Siapa yang selingkuh? Di kontrakan mana?"

Sontak aku dan Ahmad terbungkam saat melihat ibu mertuaku tiba-tiba datang entah sejak kapan. Apalagi waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam.

"Ahmad pulang dulu. Assalamualaikum." Suara Ahmad lebih dulu memecah keheningan, dia pamit setelah mencium tanganku dan ibu mertuaku, meski sedikit enggan.

"Itu tetangganya Ahmad, katanya ada yang umpetin selingkuhan di rumah kontrakan," tuturku tak sepenuhnya berbohong. Setelahnya kutuntun beliau masuk ke dalam.

"Oh, kirain siapa. Dahlah nggak usah urusin idup orang, idup kita aja belum tentu bener."

Kutatap punggungnya yang berlalu menuju dapur. Ingin rasanya kuteriakkan bahwa orang yang baru saja kami bicarakan sebenarnya adalah putranya sendiri.

"Akbar udah tidur?" tanyanya sembari meletakkan totebag yang kuyakin isinya hanya baju ganti. Sebenarnya aku tak berharap ibu membawa apa-apa dari rumah. Namun, yang kuinginkan hanya dia pulang dengan kesadaran. Bukannya datang hanya saat membutuhkan bahan pangan.

Memang ada dalam satu bulan ibu datang di malam jumat, karena tahu dua hari ke depan adalah jadwal liburku. Dia berkunjung hanya untuk mengosongkan isi kulkas dan persediaan bahan panganku. Entah hal itu sudah jadi kebiasaan, atau A Miftah tak cukup memberinya uang. Sejauh ini aku memaklumi, karena dirasa hal itu belum sampai ke tahap yang keterlaluan.

"Udah, baru aja. Ahmad yang tidurin. Mama datang sendiri? Nggak dianter Dini?"

"Iya, naik angkot sendiri. Mau minta anter Dini dia lagi ada kerja kelompok di rumah temen. Mau minta jemput kamu pasti alasan cape baru pulang kerja."

Kuhela napas panjang mendengar kalimat yang begitu ringan beliau ucapkan. Padahal tak jarang aku menyempatkan diri menjemputnya di tengah kesibukan.

Pada akhirnya aku hanya bisa tersenyum getir menanggapinya.

"Ngomong-ngomong jerawat kamu makin banyak aja, Tik? Maaf, emangnya nggak pernah perawatan? Seharusnya walaupun Miftah jarang pulang, kamu tetep harus pinter-pinter ngerawat diri, manjain suami pas pulang. Emangnya duit yang Ahmad kasih dikemanain? Masa gaji kamu juga nggak cukup buat beli sepaket skincare yang harganya cuma tiga ratus rebuan." Kupejamkan mata saat melihat beliau mengatakannya sembari duduk santai di meja makan, melahap apel yang diambil dari kulkas, dan memerhatikan wajahku dengan detail. "Kalau mau nanti mama pesenin, deh di tempat langganan, titipin aja uangnya. Masa kamu yang masih muda kalah glowing sama mama yang udah tua begini."

Kuhela napas gusar. Bukannya aku tak mau merawat diri, sedangkan hampir seharian aku disibukkan dengan pekerjaan, malamnya masih harus mengurus Akbar sampai terlelap, belum lagi pekerjaan rumah yang cukup menyita banyak waktu.

"Maaf, Ma. Bukannya Tika nggak mau ngerawat diri. Kesibukan di tempat kerja dan di rumah udah cukup menyita banyak waktu. Mama yang hampir seharian diem di rumah pasti nggak bisa ngersainnya." Sesaat setelah kalimat itu terlontar, Mama langsung diam terbungkam.

.

.

.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Tebakan w alasannya selingkuh ato malah udah nikah siri itu krn anaknya down syndrome
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status