Share

Bab. 4

Kuparkirkan motor serampang di halaman, dengan tergesa membuka kunci rumah yang beberapa kali terjatuh karena tidak pas pada lubangnya. Sakit dan perih itu langsung datang bersamaan. Kacau, pikiranku benar-benar kacau sekarang. Seluruh tubuh terasa lemas, tak ada daya untuk menopang kaki yang serasa melayang. Terrnyata ini adalah efek dahsyat yang ditimbulkan, kepercayaan yang selama tujuh tahun kusematkan luruh bersama dengan pengkhianatan besar yang dia lakukan.

Apa yang kurang? Apa yang salah? Padahal sebagai seorang istri aku tak pernah menuntut banyak, tak pernah meminta sesuatu diluar kemampuan A Miftah?

Kenapa hanya wanita yang harus dituntun untuk sempurna? Kenapa lelaki tak pernah bersyukur dengan apa yang dia punya?

Kuempaskan tubuh ke atas kasur, menangis sejadinya. Setidaknya aku butuh waktu untuk meluapkan semuanya sebelum berpikir jernih dan mulai mencari solusi atas semua permasalahan ini.

Ternyata benar, menjadi istri yang baik, penurut, dan tak pernah menuntut tak selamanya menguntungkan, apalagi bila berhadapan dengan suami dan keluarganya yang tak tahu diri.

Lebih dari tiga jam aku larut dalam kesedihan. Suara azan dzuhur yang berkumandang seolah menarikku kembali dalam kenyataan yang amat menyakitkan. Sedikit enggan aku beranjak dari ranjang. Kulucuti jilbab yang masih melekat di kepala, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudu.

Tiap tetes air yang membasuh wajah dan tubuh ini entah kenapa terasa seperti sembilu yang menikam ulu, memori tentang beberapa tahun ke belakang tiba-tiba muncul kembali dalam ingatan. Silih berganti menunjukkan betapa bodoh dan lugunya aku sebagai istri yang mudah dimanfaatkan. Seluruh jiwa dan materi kuberikan, tapi malah pengkhianatan yang didapatkan.

Sajadah sudah tergelar di hadapan. Kukenakan mukena dan mulai menunaikan kewajiban. Isak tangis tak tertahan tiap sujud dilakukan. Kuadukan semua cobaan yang menerpa pada sang pemilik kehidupan. Berharap dapat jawaban yang setidaknya bisa melonggarkan beban yang menghimpit pundak dan dada ini.

Aku masih duduk beralaskan sajadah, setelah selesai memanjatkan doa. Sudut mataku menangkap amplop uang yang menyembul dari dalam tas yang tadi dikenakan. Kuseka air mata dengan kasar.

Apa ini saatnya aku hanya harus fokus pada diri sendiri dan Akbar?

***

Lebih dari sepekan waktu berlalu. Ternyata me time cukup mampu mengembalikan mood yang benar-benar berantakan. Kubelanjakan semua uang untuk perawatan ke klinik kecantikan dan membeli beberapa helai pakaian menggunakan sebagian uang tabungan. Aku lupa kapan terakhir kali memanjakan diri, yang pasti shopping adalah cara yang cukup ampuh untuk sejenak melupakan beban pikiran.

Ponsel di atas meja rias bergetar. Menunjukkan sebuah notifikasi pesan dari m-banking yang mengatakan bahwa gajiku bulan ini sudah dicairkan. Senyumku tersungging saat mengetahui bahwa kenaikan yang saat itu dirapatkan membuahkan hasil yang memuaskan. Gajiku naik. Sekarang penghasilanku dan A Miftah bisa dibilang setara. Tak ada lagi alasan untuk dipermainkan. Sebagai seorang wanita sebenarnya aku mapan, punya penghasilan tetap, kontrakan lima pintu, serta rumah sendiri. Sayang A Miftah terlalu meremehkan karena dipikir aku akan tetap memaafkan meskipun dia melakukan kesalahan fatal. Dulu, mungkin, ya. Tapi, sekarang tidak lagi. Dia lupa bahwa aku punya cukup kemampuan untuk mendepaknya ke jalanan.

Suara pintu yang terbuka menarikku dari lamunan. Senyum memuakkan itu menyambutku di baliknya. A Miftah akhirnya pulang setelah hampir satu setengah bulan. Menenteng dua totebag entah berisi apa.

"Malam, Sayang." Dengan semringah dia berjalan menghampiri dan hendak mencium pipi kanan dan kiri, tapi aku menghindar.

"Mandi dulu, A! Baru pulang dari luar kota, kan? Siapa tahu ada virus atau kuman yang ngikut."

Wajah A Miftah yang semula semringah langsung berubah. Mungkin dia heran karena aku tak bersikap seperti biasanya.

Siapa, yang tahu, kan. Sebelum datang ke mari dia lebih dulu singgah ke tempat si lakor. Bisa jadi wajahnya lebih dulu menempel dengan kulit wanita sundal itu. Hal itu jelas lebih membuatku jijik dibanding bersinggungan langsung dengan virus dan kuman.

"Bentar, kayaknya ada yang beda." Dia mengernyitkan dahi, sembari menelisik wajah ini. "Ah, kamu nggak mau dicium karena habis skincare-an, kan? Mantap kali istriku ini, ditinggal sebulan wajah kamu udah cerahan. Jerawat juga tinggal bekasnya," candanya sembari menjawil daguku pelan.

Aku tersenyum samar.

"Haruslah ... akhirnya sekarang aku sadar. Jadi istri yang sabar dan pengertian aja nggak cukup. Tetep harus diselingi sama perawatan. Kalau wanita nggak pandai-pandai rawat diri, besar kemungkinan laki diambil orang, kan? Terus pihak istri yang disalahkan karena nggak pandai memanjakan suami."

A Miftah langsung diam terbungkam. Rupanya apa yang kukatakan tepat sasaran.

"Mamamu sendiri yang bilang," bisikku di telinganya, sembari merogoh kantong celananya untuk mengambil kunci mobil. "Mulai sekarang mobil aku yang pegang! Karena masih dalam tahap perawatan, jadi nggak boleh kepanasan."

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status