Share

WARISAN DARI BAPAK
WARISAN DARI BAPAK
Author: Jingga Rinjani

Bab 1

last update Last Updated: 2022-06-13 17:27:59

WARISAN DARI BAPAK 

[Fira, boleh tidak kalau tanah yang di samping rumah Wak Ijah itu, Kakak pinjam dulu.] 

Aku mengernyit. Pesan dari Kak Helmi datang pagi ini. Mas Lian yang sedang berjemur dengan Bapak pun ikut mengernyit. 

"Kenapa kamu, Dek?"

"Oh, nggak, Mas." 

Buru-buru aku menyimpan ponsel. Akan kuceritakan nanti saja, jangan di depan Bapak. 

Kami tiga bersaudara. Mas Cahyo anak pertama, tinggal di pulau seberang. Ia kini sudah mapan dengan keluarga bahagia. Yang kedua Kak Fatimah, ia tinggal tak jauh dari rumahku. Mungkin jika memakai kendaraan, kami hanya butuh waktu lima belas menit. Yang ketiga Mas Helmi, ia tinggal di kota Bogor, sementara aku si bungsu, tinggal di desa tempat kelahiran kami, Purwokerto. 

Masing-masing dari kami sudah diberi warisan dari Bapak meskipun beliau masih hidup. Kedua orang tuaku bercerai dahulu, sehingga kini Bapak ikut denganku, sementara Ibu dengan Mas Helmi. 

Beberapa bulan lalu, Mas Helmi sudah meminjam perhiasan yang pernah Ibu beri padaku, alasannya karena Ibu jatuh sakit sementara uang yang biasa kami kirim sudah habis. 

Bapak sendiri menderita stroke, aku memilih merawatnya karena anak dari pernikahan kedua beliau tak mau merawat. 

Aku menghela napas, Mas Lian yang menyadari ada yang tak beres, buru-buru mengajak Bapak untuk masuk karena matahari pun mulai meninggi. 

"Kenapa, Dek?" 

Kuangsurkan ponsel yang sedari tadi tersimpan di saku daster. Ia membacanya sambil mengernyit pula. 

"Bisa habis kalau semua dipinjam olehnya. Memang untuk apa sih, Dek?"

"Ya aku nggak tahu, Mas. Pusing Adek juga."

"Biar Mas balas aja, ya?" 

Aku mengangguk. Lalu menatap lelaki yang sudah tiga tahun ini menemani hari-hariku. 

Ting! 

Sebuah pesan masuk lagi. Aku buru-buru melihatnya. 

[Mas mau membangun kamar untuk Ibu, Dek. Kasihan Naura, ia merasa terganggu karena bau amis dari tubuh Ibu kalau terluka.] 

Aku mendesah. Lagi-lagi karena Ibu. Mas Lian menatap ke arahku. 

"Bagaimana, Dek?" 

"Menurut, Mas, bagaimana?" 

"Apa kita kirim uang tabungan saja? Sayang jika harus menjual tanah." 

Aku berpikir sebentar, kemudian mengangguk, menyetujui ide Mas Lian.

---

Malam ini, aku sedang mengobrol dengan Bapak sambil menonton televisi. Beliau hanya kaku di badan, sementara untuk berbicara masih terdengar jelas. 

"Bapak kangen sama kakak-kakakmu, kenapa mereka nggak pernah ke sini, ya? Fatimah pun begitu." 

Aku menghela napas. Anak-anak Bapak memang jarang berkunjung, paling hanya bertanya kabar dan mengirim uang. Mas Helmi dan Mas Cahyo bisa dihitung dengan jari jika berkunjung ke sini, mungkin jarak menjadi alasan keduanya. Namun Kak Fatimah? Rumahnya tak jauh, jika ke sini seminggu sekali. Itupun hanya menengok sebentar, lalu pergi. 

"Sudah, jangan dipikirkan, Pak. Nanti kalau sudah waktunya juga bakal ke sini." 

Tak lama kemudian, terdengar ucapan salam. Mas Lian datang sambil menentang sebuah plastik. 

"Nih, Pak, Lian belikan martabak kesukaan Bapak."

Wajah tua itu tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih pada suamiku. 

"Makasih ya, Mas," ucapku. 

"Sama-sama." 

Kami pun makan sambil menonton televisi. 

"Nduk, apa kita jenguk ibumu saja?" 

Uhuk-uhuk! 

Aku yang tengah minum pun sampai tersedak mendengar ucapan Bapak. 

"Beneran, Pak?" 

Beliau mengangguk. Aku dan Mas Lian saling pandang, lalu senyum bahagia terbit di wajah kami berdua. 

Selama ini, Bapak tak mau jika kuajak berkunjung ke Bogor, alasannya masih sakit hati dengan perbuatan Ibu yang meninggalkannya demi laki-laki lain dulu. 

"Baik, Pak. Habis ini istirahat, ya? Besok kita berangkat pagi-pagi," ucap Mas Lian. 

Bapak mengangguk, lalu memutar roda dan masuk ke dalam kamar. 

"Kira-kira, apa yang membuat Bapak tiba-tiba mau bertemu dengan Ibu, Dek?" 

Aku menggeleng. Apapun alasannya, aku bahagia akan bertemu dengan Ibu. Kubereskan sisa makan kami, lalu mematikan lampu ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. 

"Dek, mengenai uang itu, sepertinya kita bawa saja, nggak usah ditransfer." 

Aku mengangguk. 

--

Esok subuh. 

Kami sudah bersiap. Aku pun sudah menuliskan TUTUP di depan toko sembako di depan rumah dan di bengkel Mas Lian. 

Bapak dan Mas Lian sudah duduk di dalam mobil, sementara aku mengecek semua benda-benda berbahaya yang sekiranya masih dalam keadaan menyala. 

"Siap?" 

"Oke!" jawabku. 

Mobil meluncur menuju Bogor. Sengaja aku tak memberitahu Mas Helmi, apalagi Ibu. Biar jadi kejutan. 

Setelah menempuh tujuh jam perjalanan, akhirnya kami sampai pada pukul dua siang. Nampak rumah Mas Helmi itu sepi. Mungkin semuanya sedang tidur siang. Kakak keduaku itu menempati rumah peninggalan Nenek. 

"Loh, Fira?" 

Aku menoleh ke sumber suara. Ada Mbok Marni yang tengah memegang sapu, senyum terukir di wajahnya. 

"Assalamu'alaikum, Mbok," ucapku pada Mbok Marni. Dia adalah tetangga kami waktu masih menempati rumah ini. 

"Apa kabar, Mbok?" 

"Baik. Kalian tumben sekali ke sini. Padahal kan..."

"Fira!" 

Belum selesai Mbok Marni selesai meneruskan ucapannya, Mbak Ambar--kakak iparku, memanggil. Ia menatapku dengan mata melotot. Tumben sekali? 

"Sebentar ya, Mbok."

Aku menyalami Mbak Ambar, lalu disusul oleh Mas Lian yang mendorong kursi roda Bapak. 

"Pak," ucap Mbak Ambar sambil mencium tangan Bapak. 

"Kalian kok ke sini tanpa bilang-bilang dulu, si? Aturan ngomong dong!" 

Aku mengernyit. Kenapa Mbak Ambar seolah tak senang dengan kehadiran kami. Sadar sedang kuperhatikan, wanita beranak tiga itu salah tingkah. 

"Ayo, masuk." 

Ia membuka pintu rumah, lalu menyuruh kami duduk. Tak ada senyum di wajahnya, apakah kedatangan kami ke sini hanya mengganggu saja? 

"Ibu mana, Mbak?" 

Mbak Ambar gelagapan, tangannya saling meremas. 

"Mbak?" 

"Eh, anu..."

Aku terdiam. Sepertinya, aku tahu kenapa ia bersikap seperti ini. 

Fix, ada yang tak beres! 

--

"Bapak, mau minum?" Kami semua terdiam. Kenapa pula Mbak Ambar tak menjawab pertanyaanku dan malah menanyakan hal yag tak seharusnya tak ditanyakan? 

Tanpa menunggu jawaban Bapak, kakak iparku itu berjalan ke dapur. Aku dan Mas Lian saling memandang. Ia mengangguk, seolah mengerti arti dari tatapanku. 

Aku menghela napas, Bapak termangu di kursi rodanya. Tubuh rentanya, berusaha memaafkan kesalahan Ibu. Hati nuraninya, seolah kuat untuk tak mengingat kenangan pahit masa lalu. 

"Silakan diminum, Pak, Lian, Fira." 

Kami semua mengangguk. Mbak Ambar kembali lagi ke dapur, seolah menghindar dari kami. Begitu datang lagi ke sini sambil membawa cemilan, kucekal tangannya dan menyuruhnya untuk duduk di hadapanku. 

"A-apa, Fir?" 

"Dari tadi, Fira nanya ke Mbak Ambar. Ibu mana?" 

Ia tampak gelisah, tangannya sampai berkeringat. Akupun mendesah, semoga Ibu baik-baik saja. 

"Apa Ibu sudah meninggal dan kalian tak memberitahu kami?" 

Mata Mbak Ambar membeliak, seolah aku ini tengah memfitnahnya. Hei, reaksi apa itu? Apa memang, tebakanku itu benar?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 84

    "Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 83

    "Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 82

    "Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 81

    "Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 80

    Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 79

    "Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status