Share

WARISAN DARI BAPAK
WARISAN DARI BAPAK
Author: Jingga Rinjani

Bab 1

WARISAN DARI BAPAK 

[Fira, boleh tidak kalau tanah yang di samping rumah Wak Ijah itu, Kakak pinjam dulu.] 

Aku mengernyit. Pesan dari Kak Helmi datang pagi ini. Mas Lian yang sedang berjemur dengan Bapak pun ikut mengernyit. 

"Kenapa kamu, Dek?"

"Oh, nggak, Mas." 

Buru-buru aku menyimpan ponsel. Akan kuceritakan nanti saja, jangan di depan Bapak. 

Kami tiga bersaudara. Mas Cahyo anak pertama, tinggal di pulau seberang. Ia kini sudah mapan dengan keluarga bahagia. Yang kedua Kak Fatimah, ia tinggal tak jauh dari rumahku. Mungkin jika memakai kendaraan, kami hanya butuh waktu lima belas menit. Yang ketiga Mas Helmi, ia tinggal di kota Bogor, sementara aku si bungsu, tinggal di desa tempat kelahiran kami, Purwokerto. 

Masing-masing dari kami sudah diberi warisan dari Bapak meskipun beliau masih hidup. Kedua orang tuaku bercerai dahulu, sehingga kini Bapak ikut denganku, sementara Ibu dengan Mas Helmi. 

Beberapa bulan lalu, Mas Helmi sudah meminjam perhiasan yang pernah Ibu beri padaku, alasannya karena Ibu jatuh sakit sementara uang yang biasa kami kirim sudah habis. 

Bapak sendiri menderita stroke, aku memilih merawatnya karena anak dari pernikahan kedua beliau tak mau merawat. 

Aku menghela napas, Mas Lian yang menyadari ada yang tak beres, buru-buru mengajak Bapak untuk masuk karena matahari pun mulai meninggi. 

"Kenapa, Dek?" 

Kuangsurkan ponsel yang sedari tadi tersimpan di saku daster. Ia membacanya sambil mengernyit pula. 

"Bisa habis kalau semua dipinjam olehnya. Memang untuk apa sih, Dek?"

"Ya aku nggak tahu, Mas. Pusing Adek juga."

"Biar Mas balas aja, ya?" 

Aku mengangguk. Lalu menatap lelaki yang sudah tiga tahun ini menemani hari-hariku. 

Ting! 

Sebuah pesan masuk lagi. Aku buru-buru melihatnya. 

[Mas mau membangun kamar untuk Ibu, Dek. Kasihan Naura, ia merasa terganggu karena bau amis dari tubuh Ibu kalau terluka.] 

Aku mendesah. Lagi-lagi karena Ibu. Mas Lian menatap ke arahku. 

"Bagaimana, Dek?" 

"Menurut, Mas, bagaimana?" 

"Apa kita kirim uang tabungan saja? Sayang jika harus menjual tanah." 

Aku berpikir sebentar, kemudian mengangguk, menyetujui ide Mas Lian.

---

Malam ini, aku sedang mengobrol dengan Bapak sambil menonton televisi. Beliau hanya kaku di badan, sementara untuk berbicara masih terdengar jelas. 

"Bapak kangen sama kakak-kakakmu, kenapa mereka nggak pernah ke sini, ya? Fatimah pun begitu." 

Aku menghela napas. Anak-anak Bapak memang jarang berkunjung, paling hanya bertanya kabar dan mengirim uang. Mas Helmi dan Mas Cahyo bisa dihitung dengan jari jika berkunjung ke sini, mungkin jarak menjadi alasan keduanya. Namun Kak Fatimah? Rumahnya tak jauh, jika ke sini seminggu sekali. Itupun hanya menengok sebentar, lalu pergi. 

"Sudah, jangan dipikirkan, Pak. Nanti kalau sudah waktunya juga bakal ke sini." 

Tak lama kemudian, terdengar ucapan salam. Mas Lian datang sambil menentang sebuah plastik. 

"Nih, Pak, Lian belikan martabak kesukaan Bapak."

Wajah tua itu tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih pada suamiku. 

"Makasih ya, Mas," ucapku. 

"Sama-sama." 

Kami pun makan sambil menonton televisi. 

"Nduk, apa kita jenguk ibumu saja?" 

Uhuk-uhuk! 

Aku yang tengah minum pun sampai tersedak mendengar ucapan Bapak. 

"Beneran, Pak?" 

Beliau mengangguk. Aku dan Mas Lian saling pandang, lalu senyum bahagia terbit di wajah kami berdua. 

Selama ini, Bapak tak mau jika kuajak berkunjung ke Bogor, alasannya masih sakit hati dengan perbuatan Ibu yang meninggalkannya demi laki-laki lain dulu. 

"Baik, Pak. Habis ini istirahat, ya? Besok kita berangkat pagi-pagi," ucap Mas Lian. 

Bapak mengangguk, lalu memutar roda dan masuk ke dalam kamar. 

"Kira-kira, apa yang membuat Bapak tiba-tiba mau bertemu dengan Ibu, Dek?" 

Aku menggeleng. Apapun alasannya, aku bahagia akan bertemu dengan Ibu. Kubereskan sisa makan kami, lalu mematikan lampu ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. 

"Dek, mengenai uang itu, sepertinya kita bawa saja, nggak usah ditransfer." 

Aku mengangguk. 

--

Esok subuh. 

Kami sudah bersiap. Aku pun sudah menuliskan TUTUP di depan toko sembako di depan rumah dan di bengkel Mas Lian. 

Bapak dan Mas Lian sudah duduk di dalam mobil, sementara aku mengecek semua benda-benda berbahaya yang sekiranya masih dalam keadaan menyala. 

"Siap?" 

"Oke!" jawabku. 

Mobil meluncur menuju Bogor. Sengaja aku tak memberitahu Mas Helmi, apalagi Ibu. Biar jadi kejutan. 

Setelah menempuh tujuh jam perjalanan, akhirnya kami sampai pada pukul dua siang. Nampak rumah Mas Helmi itu sepi. Mungkin semuanya sedang tidur siang. Kakak keduaku itu menempati rumah peninggalan Nenek. 

"Loh, Fira?" 

Aku menoleh ke sumber suara. Ada Mbok Marni yang tengah memegang sapu, senyum terukir di wajahnya. 

"Assalamu'alaikum, Mbok," ucapku pada Mbok Marni. Dia adalah tetangga kami waktu masih menempati rumah ini. 

"Apa kabar, Mbok?" 

"Baik. Kalian tumben sekali ke sini. Padahal kan..."

"Fira!" 

Belum selesai Mbok Marni selesai meneruskan ucapannya, Mbak Ambar--kakak iparku, memanggil. Ia menatapku dengan mata melotot. Tumben sekali? 

"Sebentar ya, Mbok."

Aku menyalami Mbak Ambar, lalu disusul oleh Mas Lian yang mendorong kursi roda Bapak. 

"Pak," ucap Mbak Ambar sambil mencium tangan Bapak. 

"Kalian kok ke sini tanpa bilang-bilang dulu, si? Aturan ngomong dong!" 

Aku mengernyit. Kenapa Mbak Ambar seolah tak senang dengan kehadiran kami. Sadar sedang kuperhatikan, wanita beranak tiga itu salah tingkah. 

"Ayo, masuk." 

Ia membuka pintu rumah, lalu menyuruh kami duduk. Tak ada senyum di wajahnya, apakah kedatangan kami ke sini hanya mengganggu saja? 

"Ibu mana, Mbak?" 

Mbak Ambar gelagapan, tangannya saling meremas. 

"Mbak?" 

"Eh, anu..."

Aku terdiam. Sepertinya, aku tahu kenapa ia bersikap seperti ini. 

Fix, ada yang tak beres! 

--

"Bapak, mau minum?" Kami semua terdiam. Kenapa pula Mbak Ambar tak menjawab pertanyaanku dan malah menanyakan hal yag tak seharusnya tak ditanyakan? 

Tanpa menunggu jawaban Bapak, kakak iparku itu berjalan ke dapur. Aku dan Mas Lian saling memandang. Ia mengangguk, seolah mengerti arti dari tatapanku. 

Aku menghela napas, Bapak termangu di kursi rodanya. Tubuh rentanya, berusaha memaafkan kesalahan Ibu. Hati nuraninya, seolah kuat untuk tak mengingat kenangan pahit masa lalu. 

"Silakan diminum, Pak, Lian, Fira." 

Kami semua mengangguk. Mbak Ambar kembali lagi ke dapur, seolah menghindar dari kami. Begitu datang lagi ke sini sambil membawa cemilan, kucekal tangannya dan menyuruhnya untuk duduk di hadapanku. 

"A-apa, Fir?" 

"Dari tadi, Fira nanya ke Mbak Ambar. Ibu mana?" 

Ia tampak gelisah, tangannya sampai berkeringat. Akupun mendesah, semoga Ibu baik-baik saja. 

"Apa Ibu sudah meninggal dan kalian tak memberitahu kami?" 

Mata Mbak Ambar membeliak, seolah aku ini tengah memfitnahnya. Hei, reaksi apa itu? Apa memang, tebakanku itu benar?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status