Langit sore memerah di atas hamparan lembah hijau tempat desa Liora berdiri. Cahaya keemasan dari matahari yang tenggelam menimpa ladang gandum, membuatnya berkilau seperti lautan emas yang berombak ditiup angin. Desa kecil itu damai, dikelilingi hutan pinus di utara dan sungai jernih yang mengalir dari pegunungan timur.
Bagi kebanyakan orang, Liora hanyalah titik kecil yang nyaris terlupakan di peta kerajaan Asteria. Tetapi bagi Ardyn, desa itu adalah seluruh hidupnya. Pemuda berusia tujuh belas tahun itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang. Peluh menetes dari kening, bajunya dipenuhi debu, dan tangannya kasar karena terbiasa bekerja keras. Ia duduk di tepi sungai, mencelupkan wajah ke air dingin, menikmati kesegaran yang menyapu tubuhnya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Seperti hari-hari sebelumnya, bayangan mimpi aneh kembali menyusup ke dalam pikirannya. Mimpi yang terus berulang, dengan detail yang sama: lautan cahaya emas yang menyilaukan, dan sebuah suara dalam yang memanggilnya. "Bangkitlah… pewarisku." Ardyn mengerutkan kening. “Apa maksud semua ini?” gumamnya. Ia tidak pernah menceritakan mimpi itu kepada siapa pun. Bahkan kepada keluarganya sendiri. Baginya, mimpi itu terlalu aneh, terlalu nyata, seakan bukan sekadar bunga tidur. “Ardyn!” suara nyaring memecah lamunannya. Ia menoleh dan melihat Mira, adik perempuannya, berlari kecil di tepi sungai. Gadis berusia sembilan tahun itu mengangkat keranjang berisi apel, wajahnya berseri-seri meski napasnya terengah. “Ibu memanggil! Katanya makan malam sudah siap!” serunya riang. Ardyn tersenyum. “Kau selalu tahu cara membuat orang terkejut, Mira.” Mira cemberut sambil mengusap pipinya. “Aku memanggilmu berkali-kali, tapi kau melamun lagi ya?” Ardyn berdiri, mengacak rambut adiknya yang hitam legam. “Mungkin aku terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting. Ayo pulang.” Mereka berjalan bersama melewati jalan setapak berbatu yang membelah ladang. Matahari hampir tenggelam sepenuhnya, dan obor-obor di sepanjang jalan mulai dinyalakan. Suara-suara penduduk desa terdengar akrab: tawa anak-anak yang masih bermain, kambing yang digiring masuk kandang, dan aroma roti panggang dari tungku-tungku rumah. Liora adalah desa yang sederhana, tapi bagi Ardyn, inilah rumah yang selalu memberi rasa damai. --- Rumah keluarga Ardyn terletak di pinggir desa. Bangunannya terbuat dari kayu pinus dengan atap jerami, sederhana tapi hangat. Saat Ardyn dan Mira masuk, mereka langsung disambut aroma sup sayuran dan daging yang mengepul di meja makan. “Ibu, kami pulang!” seru Mira. Seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan, berambut cokelat panjang yang diikat rapi, muncul dari dapur. Wajahnya lembut, namun sorot matanya kuat—ia adalah Elira, ibu mereka. “Ardyn, kau terlambat lagi,” katanya sambil meletakkan panci di meja. “Kalau terus melamun, kau bisa jatuh sakit.” Ardyn mengangkat bahu. “Aku hanya butuh udara segar, Bu.” Dari kursi dekat perapian, terdengar suara tawa rendah. Seorang pria berperawakan tinggi, berjanggut tebal, sedang membersihkan tombak tua. Ia adalah Daren, ayah Ardyn. Meski usianya sudah melewati empat puluh, tubuhnya masih kekar—dulu ia adalah prajurit kerajaan sebelum memilih hidup tenang di desa. “Udara segar memang baik,” katanya sambil menatap putranya. “Tapi ingat, terlalu banyak melamun bisa membuatmu kehilangan pijakan di bumi.” Ardyn hanya tersenyum kecil, lalu duduk bersama keluarganya. Mereka makan malam dengan sederhana: sup sayur, roti gandum, dan apel segar. Obrolan mengalir ringan, tentang ladang, tentang tetangga yang baru saja punya bayi, tentang pesta panen yang akan diadakan dua minggu lagi. Namun, di balik tawa dan canda itu, Ardyn menyembunyikan kegelisahannya. Mimpi itu kembali menghantuinya sepanjang makan malam, seolah suara asing itu ingin didengar. --- Malam semakin larut. Setelah membersihkan meja makan dan membantu adiknya menyiapkan tempat tidur, Ardyn masuk ke kamarnya. Ruangan itu sederhana, hanya ada ranjang kayu, meja kecil, dan jendela yang menghadap ladang. Ia berbaring, menatap langit-langit gelap, berharap kantuk segera datang. Tapi pikirannya terus dipenuhi oleh mimpi dan suara itu. “Apa maksud dari semua ini?” bisiknya lirih. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus masuk lewat jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga liar. Bulan purnama menggantung tinggi di langit, begitu terang hingga bayangan pepohonan tampak jelas. Lalu, tanpa peringatan, rasa panas menjalar di telapak tangan Ardyn. Ia terkejut, duduk, dan melihat telapak tangannya menyala dengan cahaya samar. Sebuah simbol aneh muncul, berbentuk lingkaran dengan bintang bersinar di tengahnya. Cahaya itu berdenyut, semakin lama semakin terang, hingga menerangi seluruh kamar. “Ap—apa yang terjadi padaku?” Ardyn terengah. Ia mencoba menutup tangannya, tapi cahaya itu tetap keluar, menembus sela-sela jari. Simbol itu seolah hidup, berdenyut mengikuti detak jantungnya. Dan saat itulah, suara itu kembali terdengar. Lebih jelas, lebih dekat. "Bangkitlah… pewaris cahaya. Waktumu telah tiba." Ardyn terperanjat, napasnya memburu. Ia merasa ada sesuatu yang terbangun di dalam dirinya—kekuatan besar yang tidak pernah ia sadari. Tubuhnya gemetar, antara takut dan kagum. “Apa aku… bermimpi lagi?” katanya dengan suara bergetar. Namun cahaya itu nyata. Panasnya nyata. Dan suara itu terlalu jelas untuk dianggap ilusi. Ardyn memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan napas. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu—hidupnya yang damai di desa Liora baru saja berubah selamanya. Di luar, bulan purnama bersinar terang, seakan menjadi saksi lahirnya takdir baru. ---1. Arena BatuLingkaran batu yang diciptakan pria misterius itu menutup rapat, membentuk arena. Guncangan terasa di bawah kaki mereka, seolah tanah itu sendiri tunduk pada perintahnya.Ardyn menggenggam pedangnya, sinar emas berdenyut di bilahnya. Nerida berdiri di sampingnya, air berputar di tangannya, sementara Lyra sudah bersiap dengan pusaran angin kecil. Selene menarik busurnya, tatapannya menusuk tajam.Pria itu mengangkat tongkat batu tinggi-tinggi. “Aku, Kaelen, penjaga kuil Terran, tidak akan menyerahkan warisan bumi pada mereka yang lemah. Tunjukkan padaku… bahwa kalian layak.”Tanah bergetar keras. Dari celah-celah retakan, tiga golem batu muncul. Tubuh mereka lebih kecil dari golem sebelumnya, tapi gerakan mereka lebih cepat.Kaelen menatap dingin. “Kalau kalian tak bisa mengalahkan mereka, kalian tak pantas bicara tentang melawan kegelapan.”---2. Tiga Golem PenjagaArdyn melompat ma
1. Daratan yang TerlupakanKapal Boros akhirnya bersandar di sebuah teluk sepi. Daratan Timur terbentang di hadapan mereka: pantai berbatu dengan pepohonan kering yang mencuat seperti tangan-tangan mati, dan pegunungan jauh yang diselimuti kabut tebal.Ardyn melangkah pertama kali ke tanah itu. Begitu kakinya menyentuh pasir, hawa berat langsung menyelimuti tubuhnya. Seolah tanah ini menyimpan duka berabad-abad.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumamnya.Lyra mengusap lengannya, jelas merinding. “Seperti ada yang mengawasi kita.”Nerida menatap horizon dengan serius. “Inilah Daratan Timur. Pernah ada kerajaan besar di sini, tapi mereka semua runtuh. Kabarnya, tanah ini masih dihantui oleh roh mereka.”Boros menghela napas berat, lalu menepuk pundak Ardyn. “Hati-hati. Daratan ini bukan hanya sunyi, tapi juga penuh jebakan. Aku akan tinggal menjaga kapal. Kalau ada masalah, lari kembali ke sini.”Ardyn mengangguk. “
1. Perpisahan dari ThalassiaTiga hari telah berlalu sejak pertempuran besar di Thalassia. Kota bawah laut itu perlahan bangkit dari kehancuran. Prajurit-prajurit membersihkan reruntuhan, rakyat menyalakan lentera air untuk menghormati yang gugur, dan musik lembut terdengar dari kuil Nerion, dewa air yang mereka muliakan.Ardyn berdiri di dermaga kristal, menatap ke permukaan laut yang berkilau. Nerida berjalan mendekat, gaunnya sederhana, tapi aura pewaris yang baru bangkit membuatnya bersinar.“Sulit meninggalkan rumah,” katanya pelan.Ardyn menoleh, melihat kesedihan di matanya. “Aku tahu. Tapi kau sudah memilih. Dan dunia di luar sana butuhmu.”Nerida menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kau benar.”Raja Nerisar datang, didampingi para pengawal. Wajahnya tampak letih, namun matanya tetap penuh wibawa. Ia menatap putrinya lama sebelum berkata, “Nerida, kau bukan hanya putriku, tapi juga harapan dunia. Ikuti takdirmu, me
1. Serangan DimulaiBalairung Thalassia bergetar hebat saat Jenderal Bayangan menancapkan trisulanya ke dasar laut. Gelombang hitam menjalar, membuat dinding kristal retak. Pasukan Thalassia berusaha menahan makhluk-makhluk bayangan, namun jumlah mereka terus bertambah, seolah lautan itu sendiri melahirkan kegelapan.“Ardyn!” Lyra berteriak sambil menahan pusaran air dengan kekuatan anginnya. “Kita harus hentikan makhluk itu, atau istana akan hancur!”Ardyn menggenggam pedang cahaya, tanda di tangannya berpendar terang. “Kau jaga Nerida! Aku akan menghadapinya!”Selene melesat maju, busurnya memancarkan cahaya biru. Panahnya menembus dada makhluk bayangan, namun tak cukup untuk menghentikan sang Jenderal.Jenderal Bayangan menyeringai, suaranya berat bergema di dalam air.“Cahaya dan angin… hanya mainan anak-anak. Dewa kalian sudah mati. Yang tersisa hanyalah kegelapan!”2. Duel di BalairungArdyn melompat
1. Kedatangan di ThalassiaFajar menyingsing perlahan, dan cahaya keemasan matahari menyinari permukaan laut yang tenang. Kapal Boros kini bergerak memasuki wilayah yang berbeda dari lautan biasa. Airnya tampak lebih jernih, seakan kristal cair yang memantulkan cahaya bintang meski hari telah terang.Ardyn berdiri di dek, matanya membelalak. “Airnya… berkilau.”Selene mengangguk pelan. “Itulah tanda bahwa kita mendekati Thalassia. Laut ini dilindungi oleh kekuatan kuno, peninggalan Dewa Air, Nerion.”Lyra tersenyum, meski wajahnya masih pucat setelah pengalaman dengan Leviathan. “Aku bisa merasakannya. Airnya seperti… bernyanyi.”Boros, sang kapten, yang selama perjalanan lebih banyak terdiam setelah insiden badai, menyalakan pipa kayu kecilnya. Asap tipis mengepul. “Aku sudah berlayar puluhan tahun, tapi baru kali ini masuk ke wilayah ini. Kalau bukan karena kalian, aku takkan berani sejauh ini.”Beberapa saat kemudian, air
Pagi di Zephyros dipenuhi riuh suara baling-baling angin yang berputar cepat. Ardyn, Lyra, dan Selene berdiri di dermaga timur, tempat kapal-kapal besar berlabuh. Laut terbentang luas di hadapan mereka, biru pekat dengan ombak yang berkilau oleh cahaya matahari.Ardyn menelan ludah, menatap ombak yang terus bergulung. “Jadi… kita harus menyeberangi itu?”Lyra menyikutnya. “Kau takut laut, ya?”Ardyn mendengus, mencoba terlihat tenang. “Bukan takut. Hanya… belum pernah naik kapal sejauh ini.”Selene, dengan wajahnya yang selalu serius, menatap kapal kayu besar yang akan mereka tumpangi. “Laut bukan sekadar air. Nefarion menodai setiap tempat, dan samudra adalah jalannya yang paling berbahaya.”---Kapten kapal yang bernama Boros, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di pipi, menyambut mereka dengan tawa berat.“Kalau kalian benar-benar mau ke Thalassia, lebih baik siapkan perut kalian. Lautan sekarang tak ramah.