LOGINUdara malam di desa Liora biasanya tenang, hanya diisi suara jangkrik dan sesekali lolongan serigala dari hutan jauh. Namun malam itu berbeda. Angin membawa aroma besi yang aneh, dingin, dan menusuk.
Ardyn duduk di ranjangnya, masih terjaga setelah cahaya misterius muncul di telapak tangannya. Meski cahaya itu sudah padam, rasa panas masih tersisa di kulitnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan memberi peringatan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Tiba-tiba, jeritan terdengar dari luar. “Serangan! Serangan!” Ardyn melompat bangun, matanya melebar. Dari jendela, ia melihat api mulai membakar salah satu rumah di tepi desa. Sosok-sosok hitam merayap keluar dari kegelapan hutan—makhluk tak berbentuk jelas, tubuh mereka seperti asap pekat dengan mata merah menyala. Wraith. Ketakutan segera menyelimuti desa. Orang-orang berlarian panik, ibu-ibu menarik anak mereka, dan para pria mencoba mengangkat senjata seadanya. “Tidak… ini tidak mungkin,” Ardyn bergumam. Pintu kamarnya terbuka mendadak. Ayahnya, Daren, masuk sambil membawa tombak tua yang biasa ia rawat. Wajahnya tegang. “Ardyn! Cepat bawa ibumu dan Mira ke tempat perlindungan bawah tanah! Aku akan menahan mereka!” “Tapi, Ayah—” “Tidak ada waktu untuk membantah!” suara Daren meledak, meski matanya penuh ketakutan. “Pergi sekarang!” Ardyn berlari ke ruang utama, menemukan ibunya yang sedang menenangkan Mira yang menangis ketakutan. Suara jeritan dan derap langkah semakin mendekat. “Ayo, kita harus pergi!” seru Ardyn, menarik tangan mereka. Mereka berlari ke pintu belakang, menuju lorong kecil yang biasa digunakan sebagai jalur darurat menuju gudang bawah tanah. Namun sebelum sempat masuk, dinding rumah mereka hancur diterjang sosok Wraith. Makhluk itu tinggi, tubuhnya seperti kabut hitam pekat, dengan wajah tanpa bentuk kecuali dua mata merah yang berkilau menyeramkan. Suara desis keluar dari mulutnya, dingin menusuk telinga. Mira berteriak, ibunya berusaha melindunginya, sementara Ardyn berdiri membeku. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mengucur. Ia belum pernah melihat makhluk seperti itu. Wraith itu mengangkat lengannya, kabut hitamnya berubah menjadi cakar tajam. Saat ia mengayunkan serangan ke arah mereka— Cahaya menyala dari telapak tangan Ardyn. Ledakan emas yang sangat terang meledak dari tubuhnya, menghantam Wraith dan melemparkannya keluar rumah. Seluruh ruangan dipenuhi cahaya, seolah matahari kecil lahir di tengah malam. Ardyn terengah, menatap tangannya yang bersinar. “A… apa yang baru saja kulakukan?” Ibunya pun tertegun, memeluk Mira erat. Namun mereka tak punya waktu untuk bertanya. Dari luar, raungan Wraith lainnya terdengar semakin banyak. Daren masuk kembali, wajahnya penuh keringat dan darah di pelipis. “Ardyn! Itu… cahaya barusan… dari mana?” “Aku… aku tidak tahu, Ayah,” jawab Ardyn, suaranya bergetar. Sebelum percakapan berlanjut, lebih banyak Wraith mendekat. Api berkobar di seluruh desa, jeritan semakin keras. Para tetangga mereka berjatuhan, satu per satu, dilahap kegelapan. Daren menatap putranya dengan serius. “Dengarkan aku, Ardyn. Apa pun itu, kekuatanmu bisa menyelamatkan mereka. Kau harus melindungi ibumu dan Mira.” Ardyn ingin membantah, ingin berkata bahwa ia hanya pemuda desa, bukan prajurit, apalagi pahlawan. Tapi ketika ia melihat mata adiknya yang penuh ketakutan, hatinya bergetar. Cahaya kembali berdenyut di telapak tangannya. Kali ini, ia tidak berusaha melawannya. Ia membiarkan cahaya itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Dan untuk pertama kalinya, Ardyn merasakan sesuatu bangkit di dalam dirinya—sesuatu yang bukan manusiawi. Sebuah suara menggema di kepalanya. "Bangkitlah, pewarisku… tunjukkan cahaya yang sejati." Ardyn berteriak, cahaya emas meledak dari tubuhnya, menyapu Wraith yang menyerbu rumah mereka. Monster-monster itu menjerit saat tubuh kabut mereka hancur menjadi abu hitam. Penduduk desa yang melihatnya terperangah. “Itu… cahaya dewa…” bisik salah satu orang tua, suaranya gemetar. Namun kemenangan itu hanya sesaat. Dari kejauhan, terdengar raungan besar—lebih dalam, lebih menakutkan. Sesosok Wraith raksasa muncul, lebih tinggi dari rumah-rumah desa, matanya menyala seperti bara neraka. Ardyn terhuyung, tubuhnya lemah setelah ledakan cahaya barusan. Ia hampir jatuh, tapi ibunya menopangnya. “Ardyn… apa pun yang terjadi, jangan menyerah,” katanya dengan mata berkaca-kaca. Ardyn menatap makhluk raksasa itu, ketakutan menguasai dirinya. Tapi di balik rasa takut, ada sesuatu yang baru—sebuah keberanian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Malam itu, di desa kecil bernama Liora, seorang pewaris dewa bangkit untuk pertama kalinya. ---Langit istana tampak megah, dihiasi matahari pagi yang sinarnya masuk melalui jendela-jendela tinggi, menyoroti ukiran naga emas di dinding aula utama. Dentuman genderang menggema di seluruh penjuru, menandai hari yang akan dicatat dalam sejarah kekaisaran.Hari itu adalah hari penentuan—bukan hanya bagi kerajaan, tetapi juga bagi Selir Arunika, wanita yang telah melewati lautan pengkhianatan, badai intrik, dan luka hati yang nyaris mematahkan langkahnya.Namun, dari semua kepedihan itu, ia bangkit. Hari ini, ia berdiri di ambang takhta sebagai sosok yang berbeda: bukan lagi seorang selir yang rapuh, melainkan wanita kuat yang telah membuktikan bahwa cinta dan pengabdian bisa lebih kokoh dari pedang tajam dan racun licik.---Aula PenobatanKaisar Adhyatma duduk di atas singgasana naga, dengan jubah emasnya berkilau. Wajahnya tegas, namun matanya melunak ketika pandangannya jatuh pada sosok Arunika yang berjalan perlahan memasuki aula.Arunika mengenakan busana merah marun dengan bord
1. Keheningan Setelah BadaiUntuk sesaat, ruangan inti sunyi. Tidak ada lagi jeritan, tidak ada lagi gemuruh retakan. Hanya ada suara napas berat dari Ardyn, Selene, Lyra, dan Kael yang masih berusaha berdiri setelah pertempuran panjang.Kristal inti Simfoni Abadi kini berwarna emas bercampur hitam, berdenyut dengan ritme baru. Setiap denyutan mengirimkan gelombang ke seluruh dunia, dan mereka semua bisa merasakannya—seperti detak jantung yang menyatu dengan bumi itu sendiri.Ardyn menatapnya dalam diam. Tangannya masih gemetar setelah menyatu dengan inti, tapi ada ketenangan aneh di hatinya. Apakah ini benar-benar berhasil… atau justru awal dari bencana baru?2. Langit yang BerubahTiba-tiba, seluruh ruangan bergetar. Dinding-dinding batu retak, dan cahaya dari inti menembus ke langit di atas.Mereka berlari keluar dari reruntuhan. Saat sampai di luar, mereka semua terdiam.Langit berubah. Bintang-bintang yang semula tetap kini berkilau dengan warna berbeda. Bulan retak tipis, mengel
1. Kristal yang RetakRuangan yang semula hening kini dipenuhi getaran aneh. Kristal inti Simfoni Abadi berdenyut semakin cepat, bukan lagi dengan nada lembut, melainkan nada yang patah-patah, sumbang, dan menusuk telinga.“Tidak mungkin…” Selene mendekat, matanya membelalak. “Kristal ini… retak!”Benar saja, dari permukaan kristal mulai muncul garis retakan bercahaya. Setiap kali retakan itu melebar, terdengar suara seperti jeritan seribu jiwa.Lyra mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. “Ini bukan kemenangan… kita hanya membangunkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”Kael menggeram, menahan luka di dadanya. “Jadi apa? Setelah semua yang kita lalui, ternyata musuh kita bukan bayangan itu, tapi inti dunia sendiri?”Ardyn menatap kristal itu dalam diam. Hatinya bergetar oleh nada sumbang yang keluar. Bukan sekadar suara… tapi seolah ada suara-suara berbisik di dalam kepalanya.“Kau bukan penyelamat… kau hanya pion…”“Harmoni tak pernah membutuhkanmu…”“Biarkan dunia tenggelam, kau
1. Jantung DuniaBegitu mereka melewati gerbang cahaya, pandangan mereka disambut oleh ruang luas tak terbayangkan.Dindingnya bukan dari batu, melainkan cahaya murni yang bergerak seperti aliran aurora. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah kristal raksasa—berbentuk bulat, berdenyut perlahan seperti jantung. Setiap denyut mengeluarkan nada lembut, seperti nyanyian ibu meninabobokan bayi.“Itu… inti Simfoni Abadi,” bisik Selene. “Sumber yang menjaga keseimbangan dunia.”Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Bayangan berjubah hitam yang mengikuti mereka masuk kini melayang ke depan kristal, seolah hendak mengklaimnya. Nada yang keluar dari tubuhnya berlawanan dengan kristal itu—bukan harmoni, melainkan raungan cacat, nada fals yang menusuk telinga dan hati.Lyra menutup telinganya dengan kedua tangan, wajahnya meringis. “Nada itu… seperti duri yang menusuk jiwaku…”Ardyn melangkah maju, menatap sosok itu dengan sorot tajam. “Kalau dia berhasil menguasai inti ini, dunia akan tenggela
1. Tangga EmasTangga emas yang mereka pijak terasa hangat, seolah hidup. Setiap langkah memunculkan gema nada—bukan gema suara kaki mereka, melainkan nada lembut seperti gesekan harpa.“Ini…” Lyra menatap sekeliling dengan mata berbinar meski wajahnya masih lelah. “Tangga ini bernyanyi.”Ardyn mengangguk pelan, jantungnya ikut bergetar. “Bukan tangga biasa. Ini bagian dari Simfoni itu sendiri. Kita sedang berjalan di atas harmoni dunia.”Kael mendengus. “Lalu kalau kita jatuh, apakah dunia ikut pecah?”Selene meliriknya tajam. “Kalau kau jatuh, aku pastikan dunia tetap baik-baik saja.”Meski penuh luka, mereka masih sempat saling menyindir—mungkin itulah satu-satunya cara agar hati mereka tidak runtuh sebelum sampai ke tujuan.2. Gerbang HarmoniSetelah entah berapa lama, mereka tiba di puncak. Sebuah gerbang raksasa berdiri di depan mereka, terbentuk dari cahaya murni. Bentuknya menyerupai dua sayap yang merentang, seolah hendak menutup atau membuka dunia.Di tengah gerbang itu, ter
1. Ruang Berlapis CerminSetelah melewati lorong ilusi, mereka tiba di sebuah aula bundar. Dindingnya penuh cermin raksasa, memantulkan cahaya emas dan bayangan mereka sendiri dari berbagai sudut.Udara di ruangan itu sangat berat, seolah menekan dada. Setiap langkah bergema panjang, seperti gema itu ingin meniru suara hati mereka.“Tempat ini…” Lyra berbisik. “Seperti… jantungnya kuil.”Ardyn mengangguk, tangannya menggenggam erat pedangnya. “Ini pasti lapisan terakhir sebelum inti Simfoni Abadi. Kita harus berhati-hati.”Namun sesuatu terasa salah. Pantulan di cermin tidak bergerak sesuai gerakan mereka.2. Bayangan HidupTiba-tiba, salah satu bayangan Selene di cermin tersenyum licik—padahal Selene asli tidak tersenyum. Dalam sekejap, bayangan itu keluar dari cermin, tubuhnya membentuk doppelgänger yang identik.Begitu juga dengan Lyra, Kael, dan bahkan Ardyn.Dalam hitungan detik, mereka sudah berhadapan dengan diri mereka sendiri.Kael menyeringai getir. “Sudah kuduga… akhirnya s







