Langit malam di atas Asteria tak lagi sama. Bintang-bintang tampak redup, seolah ketakutan pada sesuatu yang mengintai dari kegelapan.
Jauh di utara, di sebuah dataran tandus yang dikenal sebagai Lembah Bayangan, kabut hitam menyelimuti tanah. Di tengahnya berdiri sebuah menara raksasa yang retak-retak, dikelilingi pusaran energi gelap. Udara bergetar, dan suara berbisik menggema di antara bayangan. Di dalam menara itu, puluhan Wraith melayang tak tenang, menunggu perintah. Mereka meringkuk ketika sebuah suara berat mengguncang ruangan. "Sudah terlalu lama… Tapi akhirnya, segel itu mulai melemah." Suara itu berasal dari singgasana batu hitam yang menjulang tinggi. Di sana duduk sosok besar dengan tubuh dibalut bayangan. Matanya merah menyala, penuh kebencian dan haus darah. Dialah Nefarion, Raja Kegelapan. Meski tubuhnya belum sepenuhnya utuh, kekuatannya sudah cukup untuk membuat tanah bergetar hanya dengan desah napasnya. Sosok berkerudung hitam maju dan berlutut di hadapannya. “Tuanku… tanda cahaya telah terlihat di Liora. Pewaris Solis telah bangkit.” Mata Nefarion menyala lebih terang. “Jadi… cahaya itu berani muncul lagi.” Suaranya rendah, namun menggetarkan udara. “Aku sudah menunggu saat ini. Para pewaris mulai bangkit, dan itu berarti waktuku semakin dekat.” Ia berdiri, bayangannya menjalar hingga menutupi dinding menara. “Kirim pasukan. Hancurkan desa itu. Tangkap pewarisnya hidup-hidup. Aku ingin meremukkan mereka dengan tanganku sendiri ketika tubuhku sudah kembali sempurna.” “Seperti yang kau perintahkan, Tuanku,” jawab sosok berkerudung itu, lalu menghilang dalam kabut. Nefarion mengangkat tangannya, dan pusaran energi hitam muncul di telapak tangannya. “Para Dewa dulu mengurungku, tapi sekarang mereka sudah hilang. Dunia ini tak lagi punya pelindung… hanya anak-anak yang mewarisi sisa kekuatan mereka. Dan mereka akan belajar… bahwa cahaya tidak pernah bisa bertahan lama di hadapan kegelapan.” Tawa mengerikan menggema, mengguncang menara hingga batu-batunya runtuh. --- Sementara itu, jauh di selatan, Ardyn dan Selene sedang berjalan meninggalkan desa Liora. Ardyn masih mengenakan pakaian sederhana, membawa tas kecil berisi bekal. Selene berjalan di depannya dengan langkah ringan, seakan tahu arah meski tanpa peta. “Ke mana kita sebenarnya?” tanya Ardyn, memecah keheningan. “Ke timur,” jawab Selene singkat. “Di sana ada tanda lain yang mulai bangkit. Kalau kita beruntung, kita bisa menemukan pewaris berikutnya sebelum kegelapan menemukannya.” Ardyn menelan ludah. “Jadi… ada orang lain sepertiku?” “Enam lainnya,” kata Selene. “Masing-masing mewarisi kekuatan Dewa. Angin, air, tanah, api, bayangan, dan waktu. Kau adalah cahaya yang akan memimpin mereka. Tapi jangan salah… tanpa mereka, kau tidak akan cukup kuat untuk menghadapi Nefarion.” Nama itu membuat Ardyn bergidik. “Nefarion… apakah dia benar-benar sekuat itu?” Selene berhenti sejenak, menatap ke arah pegunungan yang jauh. Angin malam bertiup, membawa hawa dingin. “Dia bukan hanya kuat. Dia adalah kehancuran itu sendiri. Waktu itu, tujuh Dewa harus berkorban hampir seluruh kekuatan mereka hanya untuk mengurungnya. Jika ia bangkit kembali sekarang, tanpa para Dewa… dunia ini tak punya harapan.” Ardyn menunduk, hatinya berdebar kencang. Namun sebelum ia sempat menjawab, tanah di bawah mereka bergetar. Suara raungan datang dari balik hutan di depan. Pohon-pohon berguncang, dan kabut hitam mulai merembes keluar. Selene segera menghunus busurnya, cahaya biru terbentuk lagi di tangannya. “Mereka sudah menemukannya…” Ardyn merasakan tanda di tangannya kembali berdenyut, panas. Cahaya samar mulai keluar, meski tubuhnya masih lemah. Ia menatap Selene dengan cemas. “Apa itu… Wraith lagi?” Selene mengangguk, matanya tajam. “Bukan hanya Wraith biasa. Itu adalah utusan Nefarion. Mereka datang untukmu, Ardyn.” Dari balik kabut, puluhan Wraith muncul, lebih besar dan lebih mengerikan daripada semalam. Mata mereka merah, tubuh mereka lebih padat, dan raungan mereka membuat udara bergetar. Ardyn menggenggam tangannya, cahaya emas mulai muncul di telapak tangannya. Meski ketakutan, ada sesuatu di dalam dirinya yang menyala. Ia tahu—ini baru permulaan. ---1. Arena BatuLingkaran batu yang diciptakan pria misterius itu menutup rapat, membentuk arena. Guncangan terasa di bawah kaki mereka, seolah tanah itu sendiri tunduk pada perintahnya.Ardyn menggenggam pedangnya, sinar emas berdenyut di bilahnya. Nerida berdiri di sampingnya, air berputar di tangannya, sementara Lyra sudah bersiap dengan pusaran angin kecil. Selene menarik busurnya, tatapannya menusuk tajam.Pria itu mengangkat tongkat batu tinggi-tinggi. “Aku, Kaelen, penjaga kuil Terran, tidak akan menyerahkan warisan bumi pada mereka yang lemah. Tunjukkan padaku… bahwa kalian layak.”Tanah bergetar keras. Dari celah-celah retakan, tiga golem batu muncul. Tubuh mereka lebih kecil dari golem sebelumnya, tapi gerakan mereka lebih cepat.Kaelen menatap dingin. “Kalau kalian tak bisa mengalahkan mereka, kalian tak pantas bicara tentang melawan kegelapan.”---2. Tiga Golem PenjagaArdyn melompat ma
1. Daratan yang TerlupakanKapal Boros akhirnya bersandar di sebuah teluk sepi. Daratan Timur terbentang di hadapan mereka: pantai berbatu dengan pepohonan kering yang mencuat seperti tangan-tangan mati, dan pegunungan jauh yang diselimuti kabut tebal.Ardyn melangkah pertama kali ke tanah itu. Begitu kakinya menyentuh pasir, hawa berat langsung menyelimuti tubuhnya. Seolah tanah ini menyimpan duka berabad-abad.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumamnya.Lyra mengusap lengannya, jelas merinding. “Seperti ada yang mengawasi kita.”Nerida menatap horizon dengan serius. “Inilah Daratan Timur. Pernah ada kerajaan besar di sini, tapi mereka semua runtuh. Kabarnya, tanah ini masih dihantui oleh roh mereka.”Boros menghela napas berat, lalu menepuk pundak Ardyn. “Hati-hati. Daratan ini bukan hanya sunyi, tapi juga penuh jebakan. Aku akan tinggal menjaga kapal. Kalau ada masalah, lari kembali ke sini.”Ardyn mengangguk. “
1. Perpisahan dari ThalassiaTiga hari telah berlalu sejak pertempuran besar di Thalassia. Kota bawah laut itu perlahan bangkit dari kehancuran. Prajurit-prajurit membersihkan reruntuhan, rakyat menyalakan lentera air untuk menghormati yang gugur, dan musik lembut terdengar dari kuil Nerion, dewa air yang mereka muliakan.Ardyn berdiri di dermaga kristal, menatap ke permukaan laut yang berkilau. Nerida berjalan mendekat, gaunnya sederhana, tapi aura pewaris yang baru bangkit membuatnya bersinar.“Sulit meninggalkan rumah,” katanya pelan.Ardyn menoleh, melihat kesedihan di matanya. “Aku tahu. Tapi kau sudah memilih. Dan dunia di luar sana butuhmu.”Nerida menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kau benar.”Raja Nerisar datang, didampingi para pengawal. Wajahnya tampak letih, namun matanya tetap penuh wibawa. Ia menatap putrinya lama sebelum berkata, “Nerida, kau bukan hanya putriku, tapi juga harapan dunia. Ikuti takdirmu, me
1. Serangan DimulaiBalairung Thalassia bergetar hebat saat Jenderal Bayangan menancapkan trisulanya ke dasar laut. Gelombang hitam menjalar, membuat dinding kristal retak. Pasukan Thalassia berusaha menahan makhluk-makhluk bayangan, namun jumlah mereka terus bertambah, seolah lautan itu sendiri melahirkan kegelapan.“Ardyn!” Lyra berteriak sambil menahan pusaran air dengan kekuatan anginnya. “Kita harus hentikan makhluk itu, atau istana akan hancur!”Ardyn menggenggam pedang cahaya, tanda di tangannya berpendar terang. “Kau jaga Nerida! Aku akan menghadapinya!”Selene melesat maju, busurnya memancarkan cahaya biru. Panahnya menembus dada makhluk bayangan, namun tak cukup untuk menghentikan sang Jenderal.Jenderal Bayangan menyeringai, suaranya berat bergema di dalam air.“Cahaya dan angin… hanya mainan anak-anak. Dewa kalian sudah mati. Yang tersisa hanyalah kegelapan!”2. Duel di BalairungArdyn melompat
1. Kedatangan di ThalassiaFajar menyingsing perlahan, dan cahaya keemasan matahari menyinari permukaan laut yang tenang. Kapal Boros kini bergerak memasuki wilayah yang berbeda dari lautan biasa. Airnya tampak lebih jernih, seakan kristal cair yang memantulkan cahaya bintang meski hari telah terang.Ardyn berdiri di dek, matanya membelalak. “Airnya… berkilau.”Selene mengangguk pelan. “Itulah tanda bahwa kita mendekati Thalassia. Laut ini dilindungi oleh kekuatan kuno, peninggalan Dewa Air, Nerion.”Lyra tersenyum, meski wajahnya masih pucat setelah pengalaman dengan Leviathan. “Aku bisa merasakannya. Airnya seperti… bernyanyi.”Boros, sang kapten, yang selama perjalanan lebih banyak terdiam setelah insiden badai, menyalakan pipa kayu kecilnya. Asap tipis mengepul. “Aku sudah berlayar puluhan tahun, tapi baru kali ini masuk ke wilayah ini. Kalau bukan karena kalian, aku takkan berani sejauh ini.”Beberapa saat kemudian, air
Pagi di Zephyros dipenuhi riuh suara baling-baling angin yang berputar cepat. Ardyn, Lyra, dan Selene berdiri di dermaga timur, tempat kapal-kapal besar berlabuh. Laut terbentang luas di hadapan mereka, biru pekat dengan ombak yang berkilau oleh cahaya matahari.Ardyn menelan ludah, menatap ombak yang terus bergulung. “Jadi… kita harus menyeberangi itu?”Lyra menyikutnya. “Kau takut laut, ya?”Ardyn mendengus, mencoba terlihat tenang. “Bukan takut. Hanya… belum pernah naik kapal sejauh ini.”Selene, dengan wajahnya yang selalu serius, menatap kapal kayu besar yang akan mereka tumpangi. “Laut bukan sekadar air. Nefarion menodai setiap tempat, dan samudra adalah jalannya yang paling berbahaya.”---Kapten kapal yang bernama Boros, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di pipi, menyambut mereka dengan tawa berat.“Kalau kalian benar-benar mau ke Thalassia, lebih baik siapkan perut kalian. Lautan sekarang tak ramah.