LOGINKabut hitam menyelimuti hutan di depan mereka, begitu pekat hingga cahaya bulan pun tak mampu menembus. Raungan makhluk-makhluk kegelapan menggema, menggetarkan dada Ardyn.
Selene berdiri tegak, busur birunya sudah siap, matanya dingin menatap ke arah kegelapan. “Ardyn, jangan biarkan rasa takut menguasaimu. Kau harus memanggil cahayamu, atau kita mati di sini.” Ardyn menggenggam tangannya erat. Tanda bercahaya di telapak tangannya berdenyut kuat, seolah merespons ancaman yang datang. Ia menatap Selene ragu. “Aku… aku tidak yakin bisa mengendalikannya.” “Tak perlu kendalikan,” jawab Selene tegas. “Biarkan itu mengalir. Cahaya itu tahu jalan.” Suara retakan ranting terdengar. Dari balik kabut, puluhan Wraith muncul, tubuh mereka berkilat merah gelap. Mereka bergerak cepat, melayang rendah, mata mereka menatap Ardyn penuh kebencian. Salah satu Wraith melompat, cakarnya siap merobek. Refleks, Ardyn mengangkat tangannya. Cahaya emas meledak, membentuk perisai cahaya yang menahan serangan itu. Benturan itu membuat tanah bergetar, dan Wraith itu terhempas mundur dengan jeritan nyaring. Ardyn menatap tangannya, terkejut. “Aku… berhasil?” “Jangan terpesona!” teriak Selene, lalu melepaskan panah cahaya biru yang menembus dua Wraith sekaligus. “Masih ada banyak!” Pertarungan pun pecah. Ardyn berusaha menggerakkan pedang cahaya yang terbentuk di genggamannya. Meski gerakannya kaku, cahaya itu cukup untuk menebas Wraith satu per satu. Setiap kali ia goyah, tanda di tangannya berdenyut lebih kuat, seolah mendorongnya untuk bangkit. Namun jumlah Wraith terlalu banyak. Mereka mengelilingi, menyerang dari segala arah. Ardyn terhuyung, hampir jatuh ketika tiga Wraith sekaligus melompat ke arahnya. “Ardyn!” Selene berteriak, melesat ke depannya. Ia melepaskan panah beruntun, menghancurkan dua Wraith, tapi yang ketiga masih mendekat. Refleks, Ardyn berteriak dan mengayunkan pedangnya. Cahaya emas menyambar seperti kilat, membelah Wraith itu menjadi debu hitam. Nafasnya terengah, tubuhnya gemetar, tapi matanya mulai memancarkan keyakinan. “Kita bisa melakukannya!” katanya dengan suara bergetar. Selene menatapnya singkat, lalu tersenyum tipis. “Ya. Kau mulai belajar.” Pertempuran berlangsung sengit, tapi akhirnya, cahaya emas dan biru mereka bersatu. Kilatan emas dari pedang Ardyn dan cahaya biru dari panah Selene membentuk gelombang energi yang meledak, menyapu sisa Wraith hingga tak tersisa. Hutan kembali hening. Hanya sisa kabut hitam yang perlahan memudar. Ardyn terjatuh berlutut, tubuhnya lemas. “Itu… terlalu banyak…” Selene meraih bahunya, membantu menegakkan tubuhnya. “Kau melakukannya dengan baik. Tapi ingat, ini baru permulaan. Mereka akan terus datang. Dan semakin lama kita menunggu, semakin kuat mereka menjadi.” Ardyn menatap tanah, masih terengah. “Kalau begitu… kita harus menemukan pewaris lain secepatnya.” Selene mengangguk. “Benar. Cahaya tidak bisa berdiri sendiri. Kita membutuhkan kekuatan enam pewaris lainnya.” Ia menatap ke arah timur, di balik hutan. “Aku bisa merasakan tanda pertama. Pewaris Angin. Dia ada di sebuah kota bernama Zephyros, di seberang pegunungan.” Ardyn mengangkat wajahnya, matanya masih menyala samar. Meski takut, ada api kecil yang mulai menyala di hatinya. “Kalau begitu, mari kita ke sana.” Selene menatapnya lama, lalu mengangguk. “Kau akhirnya mulai menerima takdirmu.” Mereka pun melangkah meninggalkan hutan. Cahaya fajar mulai merayap di ufuk timur, seakan memberi tanda bahwa perjalanan panjang baru saja dimulai. Di belakang mereka, sisa kabut hitam mengendap di tanah, berputar pelan. Dari dalamnya terdengar bisikan halus yang mengerikan. “Pewarisku… aku akan menemukanmu…” Ardyn tidak mendengarnya, tapi tanda di tangannya berdenyut lagi—peringatan bahwa bayangan Nefarion selalu mengintai. ---Langit istana tampak megah, dihiasi matahari pagi yang sinarnya masuk melalui jendela-jendela tinggi, menyoroti ukiran naga emas di dinding aula utama. Dentuman genderang menggema di seluruh penjuru, menandai hari yang akan dicatat dalam sejarah kekaisaran.Hari itu adalah hari penentuan—bukan hanya bagi kerajaan, tetapi juga bagi Selir Arunika, wanita yang telah melewati lautan pengkhianatan, badai intrik, dan luka hati yang nyaris mematahkan langkahnya.Namun, dari semua kepedihan itu, ia bangkit. Hari ini, ia berdiri di ambang takhta sebagai sosok yang berbeda: bukan lagi seorang selir yang rapuh, melainkan wanita kuat yang telah membuktikan bahwa cinta dan pengabdian bisa lebih kokoh dari pedang tajam dan racun licik.---Aula PenobatanKaisar Adhyatma duduk di atas singgasana naga, dengan jubah emasnya berkilau. Wajahnya tegas, namun matanya melunak ketika pandangannya jatuh pada sosok Arunika yang berjalan perlahan memasuki aula.Arunika mengenakan busana merah marun dengan bord
1. Keheningan Setelah BadaiUntuk sesaat, ruangan inti sunyi. Tidak ada lagi jeritan, tidak ada lagi gemuruh retakan. Hanya ada suara napas berat dari Ardyn, Selene, Lyra, dan Kael yang masih berusaha berdiri setelah pertempuran panjang.Kristal inti Simfoni Abadi kini berwarna emas bercampur hitam, berdenyut dengan ritme baru. Setiap denyutan mengirimkan gelombang ke seluruh dunia, dan mereka semua bisa merasakannya—seperti detak jantung yang menyatu dengan bumi itu sendiri.Ardyn menatapnya dalam diam. Tangannya masih gemetar setelah menyatu dengan inti, tapi ada ketenangan aneh di hatinya. Apakah ini benar-benar berhasil… atau justru awal dari bencana baru?2. Langit yang BerubahTiba-tiba, seluruh ruangan bergetar. Dinding-dinding batu retak, dan cahaya dari inti menembus ke langit di atas.Mereka berlari keluar dari reruntuhan. Saat sampai di luar, mereka semua terdiam.Langit berubah. Bintang-bintang yang semula tetap kini berkilau dengan warna berbeda. Bulan retak tipis, mengel
1. Kristal yang RetakRuangan yang semula hening kini dipenuhi getaran aneh. Kristal inti Simfoni Abadi berdenyut semakin cepat, bukan lagi dengan nada lembut, melainkan nada yang patah-patah, sumbang, dan menusuk telinga.“Tidak mungkin…” Selene mendekat, matanya membelalak. “Kristal ini… retak!”Benar saja, dari permukaan kristal mulai muncul garis retakan bercahaya. Setiap kali retakan itu melebar, terdengar suara seperti jeritan seribu jiwa.Lyra mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. “Ini bukan kemenangan… kita hanya membangunkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”Kael menggeram, menahan luka di dadanya. “Jadi apa? Setelah semua yang kita lalui, ternyata musuh kita bukan bayangan itu, tapi inti dunia sendiri?”Ardyn menatap kristal itu dalam diam. Hatinya bergetar oleh nada sumbang yang keluar. Bukan sekadar suara… tapi seolah ada suara-suara berbisik di dalam kepalanya.“Kau bukan penyelamat… kau hanya pion…”“Harmoni tak pernah membutuhkanmu…”“Biarkan dunia tenggelam, kau
1. Jantung DuniaBegitu mereka melewati gerbang cahaya, pandangan mereka disambut oleh ruang luas tak terbayangkan.Dindingnya bukan dari batu, melainkan cahaya murni yang bergerak seperti aliran aurora. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah kristal raksasa—berbentuk bulat, berdenyut perlahan seperti jantung. Setiap denyut mengeluarkan nada lembut, seperti nyanyian ibu meninabobokan bayi.“Itu… inti Simfoni Abadi,” bisik Selene. “Sumber yang menjaga keseimbangan dunia.”Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Bayangan berjubah hitam yang mengikuti mereka masuk kini melayang ke depan kristal, seolah hendak mengklaimnya. Nada yang keluar dari tubuhnya berlawanan dengan kristal itu—bukan harmoni, melainkan raungan cacat, nada fals yang menusuk telinga dan hati.Lyra menutup telinganya dengan kedua tangan, wajahnya meringis. “Nada itu… seperti duri yang menusuk jiwaku…”Ardyn melangkah maju, menatap sosok itu dengan sorot tajam. “Kalau dia berhasil menguasai inti ini, dunia akan tenggela
1. Tangga EmasTangga emas yang mereka pijak terasa hangat, seolah hidup. Setiap langkah memunculkan gema nada—bukan gema suara kaki mereka, melainkan nada lembut seperti gesekan harpa.“Ini…” Lyra menatap sekeliling dengan mata berbinar meski wajahnya masih lelah. “Tangga ini bernyanyi.”Ardyn mengangguk pelan, jantungnya ikut bergetar. “Bukan tangga biasa. Ini bagian dari Simfoni itu sendiri. Kita sedang berjalan di atas harmoni dunia.”Kael mendengus. “Lalu kalau kita jatuh, apakah dunia ikut pecah?”Selene meliriknya tajam. “Kalau kau jatuh, aku pastikan dunia tetap baik-baik saja.”Meski penuh luka, mereka masih sempat saling menyindir—mungkin itulah satu-satunya cara agar hati mereka tidak runtuh sebelum sampai ke tujuan.2. Gerbang HarmoniSetelah entah berapa lama, mereka tiba di puncak. Sebuah gerbang raksasa berdiri di depan mereka, terbentuk dari cahaya murni. Bentuknya menyerupai dua sayap yang merentang, seolah hendak menutup atau membuka dunia.Di tengah gerbang itu, ter
1. Ruang Berlapis CerminSetelah melewati lorong ilusi, mereka tiba di sebuah aula bundar. Dindingnya penuh cermin raksasa, memantulkan cahaya emas dan bayangan mereka sendiri dari berbagai sudut.Udara di ruangan itu sangat berat, seolah menekan dada. Setiap langkah bergema panjang, seperti gema itu ingin meniru suara hati mereka.“Tempat ini…” Lyra berbisik. “Seperti… jantungnya kuil.”Ardyn mengangguk, tangannya menggenggam erat pedangnya. “Ini pasti lapisan terakhir sebelum inti Simfoni Abadi. Kita harus berhati-hati.”Namun sesuatu terasa salah. Pantulan di cermin tidak bergerak sesuai gerakan mereka.2. Bayangan HidupTiba-tiba, salah satu bayangan Selene di cermin tersenyum licik—padahal Selene asli tidak tersenyum. Dalam sekejap, bayangan itu keluar dari cermin, tubuhnya membentuk doppelgänger yang identik.Begitu juga dengan Lyra, Kael, dan bahkan Ardyn.Dalam hitungan detik, mereka sudah berhadapan dengan diri mereka sendiri.Kael menyeringai getir. “Sudah kuduga… akhirnya s







