Matahari pagi menyinari desa Liora, tapi cahayanya tak sanggup menghapus jejak kegelapan yang terjadi semalam. Asap masih mengepul dari rumah-rumah yang terbakar, dan tangisan terdengar dari sudut-sudut desa.
Ardyn terbangun di dalam sebuah pondok sederhana. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, seolah semua tenaga telah disedot habis. Ia mengerang pelan, lalu mencoba bangkit. “Jangan memaksa dirimu.” Suara itu datang dari sudut ruangan. Ardyn menoleh dan mendapati wanita misterius itu duduk di kursi kayu, menatapnya dengan mata biru tajam. Rambut hitam panjangnya tergerai, dan busur cahaya yang semalam ia gunakan kini tak terlihat. “Kau…” Ardyn berbisik. “Kau yang menyelamatkanku.” Wanita itu menatapnya tanpa ekspresi. “Kau yang menyelamatkan dirimu sendiri. Kalau saja kau tidak membangkitkan cahaya itu, semua orang di desa ini sudah mati.” Ardyn terdiam. Kenangan semalam kembali menyeruak: Wraith raksasa, cahaya yang meledak dari tangannya, pedang emas yang muncul begitu saja. Semua terasa seperti mimpi… tapi luka di tubuhnya membuktikan itu nyata. “Apa sebenarnya yang terjadi padaku?” tanya Ardyn dengan suara parau. Wanita itu berdiri, lalu melangkah mendekat. “Namaku Selene. Aku seorang pengelana… dan juga penjaga rahasia lama. Rahasia tentang para Dewa yang sudah lama hilang dari dunia ini.” “Para Dewa?” Ardyn menatapnya tak percaya. “Itu hanya dongeng yang diceritakan orang tua pada anak-anak.” Selene menatapnya tajam. “Kalau itu hanya dongeng, bagaimana kau bisa mengeluarkan cahaya yang bisa menghancurkan Wraith raksasa?” Ardyn tercekat. Kata-kata itu menusuknya dalam. Ia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih terasa hangat, meski cahaya emas itu sudah padam. “Jadi… cahaya itu…” “Itu adalah warisan Solis, Dewa Cahaya,” jawab Selene tegas. “Ribuan tahun lalu, tujuh Dewa melindungi Asteria. Mereka melawan Raja Kegelapan, Nefarion, dalam perang besar. Tapi meski mereka menang, mereka tak bisa membunuhnya. Hanya mengurungnya. Dan setelah itu… para Dewa menghilang. Tapi kekuatan mereka tidak pernah benar-benar lenyap. Mereka menitipkannya kepada manusia terpilih—pewaris mereka.” Ardyn terdiam lama. Kata-kata itu terlalu besar, terlalu asing, namun juga masuk akal setelah apa yang ia alami. “Dan aku… pewaris salah satunya?” tanyanya ragu. Selene mengangguk pelan. “Kau adalah pewaris Solis. Cahaya itu akan tumbuh seiring dengan keberanian dan tekadmu. Tapi ketahuilah, Ardyn… sejak kekuatanmu bangkit, kau bukan lagi pemuda desa biasa. Kau sekarang adalah kunci dalam peperangan yang akan datang.” Ardyn menelan ludah. “Peperangan…? Maksudmu, Nefarion itu… dia akan kembali?” Tatapan Selene mengeras. “Semalam, Wraith raksasa itu muncul bukan kebetulan. Itu adalah tanda. Bayangan Nefarion sedang bergerak lagi. Segel yang menahannya mulai melemah. Dan para pewaris harus berkumpul, atau dunia akan jatuh ke dalam kegelapan.” Ardyn merasa dadanya sesak. Ia menoleh ke jendela, melihat orang-orang desa memperbaiki rumah yang hancur, menenangkan anak-anak yang menangis. Semua terlihat rapuh. Bagaimana mungkin dirinya, seorang pemuda desa biasa, menjadi harapan mereka? “Aku tidak bisa…” gumamnya lirih. “Aku bahkan hampir mati semalam. Aku tidak tahu cara mengendalikan kekuatan ini… aku bahkan takut pada cahaya itu sendiri.” Selene menatapnya lama, lalu suaranya melembut. “Tak seorang pun pewaris yang langsung siap. Tapi kau punya sesuatu yang penting—keinginan untuk melindungi orang lain. Itu sebabnya Solis memilihmu.” Ardyn terdiam, hatinya bergejolak. Selene berbalik, berjalan menuju pintu. “Kumpulkan tenagamu. Sebentar lagi kita harus berangkat.” Ardyn menatapnya bingung. “Berangkat? Ke mana?” Selene menoleh sedikit, matanya berkilau di bawah sinar matahari pagi. “Mencari pewaris lainnya. Kau bukan satu-satunya yang dipanggil. Dan kalau kita tidak menemukan mereka sebelum Nefarion benar-benar bangkit… dunia ini akan berakhir.” Hening. Ardyn menatap tangannya sekali lagi, lalu menarik napas panjang. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa jalannya sudah ditentukan. Hari itu, Ardyn menyadari—hidupnya tak akan pernah sama lagi. ---1. Arena BatuLingkaran batu yang diciptakan pria misterius itu menutup rapat, membentuk arena. Guncangan terasa di bawah kaki mereka, seolah tanah itu sendiri tunduk pada perintahnya.Ardyn menggenggam pedangnya, sinar emas berdenyut di bilahnya. Nerida berdiri di sampingnya, air berputar di tangannya, sementara Lyra sudah bersiap dengan pusaran angin kecil. Selene menarik busurnya, tatapannya menusuk tajam.Pria itu mengangkat tongkat batu tinggi-tinggi. “Aku, Kaelen, penjaga kuil Terran, tidak akan menyerahkan warisan bumi pada mereka yang lemah. Tunjukkan padaku… bahwa kalian layak.”Tanah bergetar keras. Dari celah-celah retakan, tiga golem batu muncul. Tubuh mereka lebih kecil dari golem sebelumnya, tapi gerakan mereka lebih cepat.Kaelen menatap dingin. “Kalau kalian tak bisa mengalahkan mereka, kalian tak pantas bicara tentang melawan kegelapan.”---2. Tiga Golem PenjagaArdyn melompat ma
1. Daratan yang TerlupakanKapal Boros akhirnya bersandar di sebuah teluk sepi. Daratan Timur terbentang di hadapan mereka: pantai berbatu dengan pepohonan kering yang mencuat seperti tangan-tangan mati, dan pegunungan jauh yang diselimuti kabut tebal.Ardyn melangkah pertama kali ke tanah itu. Begitu kakinya menyentuh pasir, hawa berat langsung menyelimuti tubuhnya. Seolah tanah ini menyimpan duka berabad-abad.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumamnya.Lyra mengusap lengannya, jelas merinding. “Seperti ada yang mengawasi kita.”Nerida menatap horizon dengan serius. “Inilah Daratan Timur. Pernah ada kerajaan besar di sini, tapi mereka semua runtuh. Kabarnya, tanah ini masih dihantui oleh roh mereka.”Boros menghela napas berat, lalu menepuk pundak Ardyn. “Hati-hati. Daratan ini bukan hanya sunyi, tapi juga penuh jebakan. Aku akan tinggal menjaga kapal. Kalau ada masalah, lari kembali ke sini.”Ardyn mengangguk. “
1. Perpisahan dari ThalassiaTiga hari telah berlalu sejak pertempuran besar di Thalassia. Kota bawah laut itu perlahan bangkit dari kehancuran. Prajurit-prajurit membersihkan reruntuhan, rakyat menyalakan lentera air untuk menghormati yang gugur, dan musik lembut terdengar dari kuil Nerion, dewa air yang mereka muliakan.Ardyn berdiri di dermaga kristal, menatap ke permukaan laut yang berkilau. Nerida berjalan mendekat, gaunnya sederhana, tapi aura pewaris yang baru bangkit membuatnya bersinar.“Sulit meninggalkan rumah,” katanya pelan.Ardyn menoleh, melihat kesedihan di matanya. “Aku tahu. Tapi kau sudah memilih. Dan dunia di luar sana butuhmu.”Nerida menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kau benar.”Raja Nerisar datang, didampingi para pengawal. Wajahnya tampak letih, namun matanya tetap penuh wibawa. Ia menatap putrinya lama sebelum berkata, “Nerida, kau bukan hanya putriku, tapi juga harapan dunia. Ikuti takdirmu, me
1. Serangan DimulaiBalairung Thalassia bergetar hebat saat Jenderal Bayangan menancapkan trisulanya ke dasar laut. Gelombang hitam menjalar, membuat dinding kristal retak. Pasukan Thalassia berusaha menahan makhluk-makhluk bayangan, namun jumlah mereka terus bertambah, seolah lautan itu sendiri melahirkan kegelapan.“Ardyn!” Lyra berteriak sambil menahan pusaran air dengan kekuatan anginnya. “Kita harus hentikan makhluk itu, atau istana akan hancur!”Ardyn menggenggam pedang cahaya, tanda di tangannya berpendar terang. “Kau jaga Nerida! Aku akan menghadapinya!”Selene melesat maju, busurnya memancarkan cahaya biru. Panahnya menembus dada makhluk bayangan, namun tak cukup untuk menghentikan sang Jenderal.Jenderal Bayangan menyeringai, suaranya berat bergema di dalam air.“Cahaya dan angin… hanya mainan anak-anak. Dewa kalian sudah mati. Yang tersisa hanyalah kegelapan!”2. Duel di BalairungArdyn melompat
1. Kedatangan di ThalassiaFajar menyingsing perlahan, dan cahaya keemasan matahari menyinari permukaan laut yang tenang. Kapal Boros kini bergerak memasuki wilayah yang berbeda dari lautan biasa. Airnya tampak lebih jernih, seakan kristal cair yang memantulkan cahaya bintang meski hari telah terang.Ardyn berdiri di dek, matanya membelalak. “Airnya… berkilau.”Selene mengangguk pelan. “Itulah tanda bahwa kita mendekati Thalassia. Laut ini dilindungi oleh kekuatan kuno, peninggalan Dewa Air, Nerion.”Lyra tersenyum, meski wajahnya masih pucat setelah pengalaman dengan Leviathan. “Aku bisa merasakannya. Airnya seperti… bernyanyi.”Boros, sang kapten, yang selama perjalanan lebih banyak terdiam setelah insiden badai, menyalakan pipa kayu kecilnya. Asap tipis mengepul. “Aku sudah berlayar puluhan tahun, tapi baru kali ini masuk ke wilayah ini. Kalau bukan karena kalian, aku takkan berani sejauh ini.”Beberapa saat kemudian, air
Pagi di Zephyros dipenuhi riuh suara baling-baling angin yang berputar cepat. Ardyn, Lyra, dan Selene berdiri di dermaga timur, tempat kapal-kapal besar berlabuh. Laut terbentang luas di hadapan mereka, biru pekat dengan ombak yang berkilau oleh cahaya matahari.Ardyn menelan ludah, menatap ombak yang terus bergulung. “Jadi… kita harus menyeberangi itu?”Lyra menyikutnya. “Kau takut laut, ya?”Ardyn mendengus, mencoba terlihat tenang. “Bukan takut. Hanya… belum pernah naik kapal sejauh ini.”Selene, dengan wajahnya yang selalu serius, menatap kapal kayu besar yang akan mereka tumpangi. “Laut bukan sekadar air. Nefarion menodai setiap tempat, dan samudra adalah jalannya yang paling berbahaya.”---Kapten kapal yang bernama Boros, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di pipi, menyambut mereka dengan tawa berat.“Kalau kalian benar-benar mau ke Thalassia, lebih baik siapkan perut kalian. Lautan sekarang tak ramah.