Share

Summer 100

Sedangkan Emi yang mendengar itu hanya dapat melongo bodoh. Karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari badut yang terus saja memandanginya dengan senyum di bibirnya.

Lalu dengan berusaha bersikap biasa Emi bertanya, "Apa kau mengejekku?"

"Tidak."

Setelahnya kepala Emi, ia gunakan melihat wali kelasnya. sebelum ia benar-benar kehilangan akal karenanya. Emi mendengar wali kelasnya dan semua pelajaran membosankan yang harus ia terima setiap harinya, kecuali hari minggu. Karena hari itu mereka harus beribadah.

Namun sudah beberapa kali mencoba untuk fokus, Emi tetap saja tidak bisa mendengar penjelasan wali kelasnya dengan baik. Sekalipun Emi telah membuka matanya lebar-lebar untuk melihat rumus bodoh yang harus ia ketahui dalam beberapa menit. Sebelum tugas payah itu datang untuk memberinya hari sial.

"Emi, apa kau mendengar penjelasan ibu?" tanya wali kelasnya.

"Tidak bu." batin Emi.

"Kau mendengar ibu 'kan Emi?" tanya wali kelas Emi untuk kedua kalinya. Karena Emi tidak menjawab sama sekali. Walau matanya tertuju kepada wajah wali kelasnya yang mulai naik darah. Hanya karena siswinya yang tidak pernah tobat dari sifat masa bodohnya.

"Iya bu!" jawab Emi pendek. Dan mencoba untuk bersabar menghadapi wanita cerewet yang terus saja bertanya mengenai hal yang sudah tentu ia ketahui jawabannya.

"Baiklah, kalau begitu dengar ibu! Karena ini adalah rumus penting untuk masa depanmu sebelum kau menjadi gelandangan!"

"Yeah, setidaknya aku punya kekasih daripada menjadi perawan tua!" jawab Emi pelan. 

Namun entah angin apa yang mengantar pesannya membuat wali kelasnya menjadi marah besar karena ucapan bijak Emi. Yang telah berhasil membawanya ke depan tiang bendera. Dan ditemani orang yang sama setiap tahunnya.

"Di hukum lagi?"

"Apa kedua bola mata itu hanya sebuah pajangan?" tanya Emi dengan kesal melihat orang bodoh yang selalu menanyakan hal yang sudah ia ketahui. Sama seperti wanita yang telah mengantarkannya ke sini dengan susah payah. Yang hanya untuk menghormati benda mati yang melayang-layang bersama angin.

"Haha, kau tidak berubah walau musim dingin telah datang. Apa sinterklas tidak mengunjungimu?" tanyanya.

"Bisa diam tidak? Aku tidak suka mendengar kebacotanmu di pagi hari sial ini!" jawab Emi. Lalu ia pergi berjalan menuju tempat dimana seharusnya ia di tempatkan. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah kantin.

Emi melihat dompet Doraemonnya terlebih dahulu sebelum ia kehilangan kendali akan hidupnya. Setelahnya ia memesan semangkok mie pedas. Dan tentunya itu kering, tidak basah dengan benda menjijikkan itu.

"Ini dia mie yang nona pesan. Kalau mau sesuatu cukup panggil bibi ya!" 

Emi tidak menjawab melainkan langsung memakan mienya tanpa memperdulikan sosok bodoh yang terus saja menatapnya. Bahkan Emi yakin jika bola mata orang itu akan meledak saat sendok garpu yang ada di tangannya menyentuhnya.

"Bisa tidak jangan tatap aku?" ucap Emi dengan jengkelnya. Karena terus ditatap seakan ia seorang buronon. Bahkan rasanya Emi seperti sedang di permainkan oleh badut pembuat onar di sekolahnya. Walau Emi sebenarnya belum benar-benar mengenal mahluk itu.

Anak laki-laki itu tertawa mendengar suara Emi yang terdengar seperti anak anjingnya yang sedang marah. Imut dan tentunya menyeramkan. Ia terus saja tertawa walau wajah Emi semakin pahit seperti es kopi di tangannya. Namun, baginya itu adalah bagian terbaik dari seorang Emi.

"Haha, bagaimana bisa kau makan dengan tenang saat wali kelasmu menghukummu? Apa kau kehilangan akal karena kelaparan?" godanya. 

Karena menurutnya menjahili seorang Emi adalah salah satu cara menghibur diri dari masalah yang sedang terjadi. Dan membuatnya harus melakukan hal yang akan mempererat hubungan mereka, yaitu menggoda anak perempuan pendiam itu.

Emi menggerutu. Lalu menjawab, "Apa bedanya denganmu?"

"Bedanya aku seorang laki-laki dan kau adalah perempuan!" jawabnya dengan cepat.

"Cih!"

"Diskriminasi!" sambung Emi dengan mulutnya yang langsung melahap mienya sebelum wali kelas cerewet itu datang. Dan melihat kejahatan yang ia lakukan. Yang mungkin akan membuat Emi mendapatkan masalah paling berat di dalam hidupnya. Yaitu, harus mendengar dua wanita cerewet berbicara sekaligus di depan telinganya.

Sedangkan anak laki-laki itu malah tertawa mendengar jawaban Emi. Bahkan Emi dapat melihat air matanya yang telah keluar saking bahagianya ia dengan ucapan Emi. Yang membuat Emi hanya dapat melihat bocah bodoh itu tertawa di saat masa kritis hidupnya.

"Itu bukan diskriminasi tetapi adiliminasi!"

Emi tidak menjawab. Ia hanya terus memakan mienya walau sesekali harus menoleh ke kiri dan ke kanan. Karena untuk memastikan jika wanita cerewet itu tidak datang lagi dengan sejuta kamus yang menempel di bibir merahnya. 

Bahkan sesekali terlintas di kepala Emi untuk mengatakan bahwa mulut wali kelasnya sama seperti kereta api ekspres. Begitu cepat dan berisik.

"Aku siap!" seru Emi dengan lantang. Lalu menghampiri penjaga kantin dan membayar makanannya. Tanpa membeli minuman untuk meredakan rasa sakit di perutnya.

Anak laki-laki itu masih saja duduk di tempatnya sembari melihat langkah kaki Emi yang berjalan ke lapangan. Yang tepat di bawahnya, karena kantin yang mereka singgahi berada di lantai 2 sedangkan kelas mereka ada di lantai 4.

Emi tersenyum melihat bendera itu telah menghilang dari tiang bodoh yang hampir setiap hari ia kunjungi. Hanya karena ucapan bijaknya yang tidak pernah dihargai oleh guru-gurunya. Bahkan Emi pernah di suruh mengelilingi sekolah karena mengatakan penjelasan dan tugas yang gurunya berikan tidak masuk akal sama seperti nasehat mereka.

"Yosh!" ucap Emi. Lalu ia berdiri di depan tiang yang seperti ia lakukan tadi. Dan menunggu detik-detik terakhir bunyi suara kemerdekaan.

"1, 2, 3, 4, 5."

"8, 9, dan 10!"

Teng.. teng..

"Istirahat!!" teriak Emi dengan kerasnya. Kemudian dengan cepat ia berlari ke lantai 4 untuk menemui kotak makan siang yang mamanya buatkan.

Tetapi sesaat telah sampai, wali kelasnya masih saja di dalam membuat Emi jengkel sendiri. Lalu dengan kesal, Emi menunggu wali kelasnya di balik tubuh temannya. Yang tak lain adalah Daisy yang ada di kelas sebelah.

"Kau masih saja berulah padahal sudah sebesar ini. Memangnya kau tidak bosan dengan semuanya, Emi?" tanya Daisy yang harus membawanya ke dalam kelasnya. Karena telah lelah untuk terus berdiri seperti orang gila yang sedang bercosplay roti lapis.

Sedangkan Emi yang sudah tidak tahan lagi dengan semua ocehan bodoh temannya. Membuat sebuah pensil menyentuh bibir anak perempuan itu. Bahkan dengan sengaja Emi memasukkan ke dalam mulutnya sembari bersenandung tanpa ada rasa bersalah.

"Apa yang kau lakukan Emi? Apa kau sudah buta jika itu pensil? Kau tidak tahu jika perbuatanmu ini dapat dikenakan pasal pembunuhan. Dan kau bisa saja di penjarakan kurun waktu 3 tahun!" teriak Daisy membuat seisi kelas melihat mereka. 

Tetapi Emi tidak memperdulikan itu. Karena yang ia pikirkan saat ini adalah kotak makan siangnya yang berisi daging kenikmatan.

Dengan santai Emi menjawab, "Aku masih berusia 11 tahun. Dan bocah berusia 11 tahun tidak bisa di penjara kecuali hakimnya bodoh sepertimu!"

"Dan tentunya sok bijak. Padahal hanya mengandalkan g****e saja." sambung batin Emi.

Mendengar itu membuat Daisy langsung berteriak histeris saking kesalnya ia dengan jawaban Emi. Dan itu benar-benar menjengkelkan. Bahkan rasanya Daisy ingin sekali melakukan hal buruk kepadanya.

Namun, anak perempuan itu tidak bisa. Karena Emi adalah pahlawannya dari kecil. Yang membuatnya hanya bisa bersabar dan berdoa agar Tuhan mau menjauhkannya dari segala macam iblis. Terutama iblis bermulut kotor.

Emi tidak mendengar ocehan temannya. Malah ia terus saja melihat pintu hingga wali kelasnya telah keluar. Yang membuat Emi dengan cepat berlari meninggalkan Daisy dan semua ocehan sok bijaknya.

"Emi!!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status