Share

NOTE 4 HUJAN MERAH PART 2

Setelah itu, Eila kembali ke rumahnya bersama dengan Rania, Amartya, dan Ganendra. Eila kemudian segera berangkat bersama dengan dua polisi yang menunggunya sementara Rania menunggu Eesha yang masih asyik mandi dengan bernyanyi kencang. 

Begitu keluar dari kamar mandi, Eesha terkejut mendapati di rumahnya sudah ada Rania, Amartya dan Ganendra yang duduk di ruang keluarganya. 

“Nenek Rania. . .” kata Eesha terkejut menatap ke arah Rania, “kenapa Nenek ada di sini bersama dengan Rama?” Eesha kemudian menatap ke arah Ganendra dengan tatapan penasaran, “Siapa paman ini, Nek? Ibuku ke mana?” 

Rania tersenyum memandang ke arah Eesha, “Ibumu ada urusan mendadak dan harus berangkat ke kota pagi – pagi sekali. Jadi ibumu menitipkanmu bersama dengan Nenek hari ini. untuk hari ini, kamu tinggal di rumah nenek ya? Bersama dengan Amar dan Ganendra.” 

“Ibu pergi?” tanya Eesha tidak percaya. 

“Iya, sayang. Ibumu berpesan kalau kamu ingin libur sekolah juga tidak apa – apa, sayang,” jelas Rania dengan tersenyum penuh kasih sayang. 

“Tidak, Nek. Aku harus pergi ke sekolah. Aku ingin bertemu Kiran. Aku tidak ingin meliburkan diri dan menjadi murid yang pemalas. Jika Kiran tahu, dia pasti akan mengejekku nantiya,” jawab Eesha dengan wajah polosnya. 

“Kiran? Siapa itu Kiran?” tanya Amartya tiba – tiba. 

“Temanku.” 

“Baiklah kalau Eesha inginnya begitu. Setelah pulang sekolah, kamu tinggal di rumah Nenek. Sekarang, ambil baju – baju yang Eesha butuhkan untuk menginap di rumah Nenek. Mungkin ibumu pulang terlambat atau bahkan tidak sempat pulang.” 

Eesha berjalan ke kamarnya, berganti pakaian dengan seragam sekolahnya dan mengambil beberapa pakaian yang dibutuhkannya untuk menginap di rumah Rania. 

“Gadis itu akan tinggal bersama dengan kita, Nek?” tanya Amartya tidak percaya.

“Ya, Amar. Hanya untuk semalam. Ibunya punya urusan mendadak di kota dan Eesha hanya sendirian di rumah, tidak ada yang menjaganya,” jelas Rania pada cucunya, Amartya.

“Aku tidak mau tinggal bersama dengan gadis tengil ini, Nek. . .” rengek Amartya. 

“Nek. . .” panggil Eesha, “aku sudah mengambil baju ganti dan baju tidurku.” 

“Gadis pintar. . .” puji Rania dan tersenyum ke arah Eesha. “ Nenek akan membawa bajumu. Sekarang kamu berangkat ke skolah diantar oleh paman Ganendra. Eesah tidak keberatan?” 

Eesha menggelengkan kepalanya, “Tidak, Nek. Eesha tidak keberatan.” 

Amartya memandang kesal ke arah Eesha. “Ganendra itu orangku, kenapa dia harus mengantar orang lain dan bukannya aku?” 

“Kamu bisa ikut dengan Ganendra sekalian berjalan – jalan berkeliling melihat desa ini, kamu tidak mau, Amar?” tanya Rania berusaha merayu dan membujuk Amartya. 

Mendengar tawaran yang diberikan oleh neneknya, Amartya langsung menjawab dengan cepat dan tanpa pikir panjang, “Aku akan ikut dengan Ganendra.” 

Rania kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Ganendra, “Ganendra, kamu tidak keberatan mengantar Eesha ke sekolahnya? Mungkin nanti saat pulang sekolah, kamu mungkin juga harus menjemput Eesha?” 

“Saya tidak keberatan, Nyonya,” jawab Ganendra dengan sopan. 

“Tidak perlu menjemputku saat pulang, Paman, “ kata Eesha dengan cepat. “Aku pulang dengan Kiran saja seperti biasanya.” 

“Biar Paman Ganendra tetap menjemputmu ya sayang. Nenek tidak enak jika sesuatu yang buruk nantinya terjadi padamu. Ibumu pergi dengan wajah gelisah tadi, jadi Nenek tidak ingin saat pulang nanti justru membuat ibumu gelisah lagi,” jelas Rania. 

“Baiklah kalau begitu. . .” kata Eesha pasrah, “Tapi, dengan Kiran juga ya, Nek?” 

“Tentu saja. . “ jawab Rania dengan tersenyum. 

“Aku juga ingin ikut, Nek. . .” kata Amartya penuh dengan semangat. 

“Kamu juga boleh ikut, Amar. . “ 

# # #

Setelah perjalanan yang cukup lama, akhirnya Eila sampai di lokasi tempat kejadian di mana tempat penemuan jasad gadis yang diduga sebagai Rhea, putrinya. Lokasi itu penuh dengan hilir mudik para petugas kepolisian dan petugas forensic yang sedang mengumpulkan bukti – bukti yang ada. Sementara itu, beberapa petugas polisi yang ada berusaha menahan beberapa reporter yang berusaha mengambil gambar dari lokasi kejadian. 

Begitu turun dari mobil, Eila dituntun oleh petugas muda untuk berjalan masuk ke dalam lokasi kejadian. 

“Saya harap, Ibu menguatkan mental Ibu ketika melihatnya. . .” 

Eila menarik napas panjang dan berusaha menguatkan dirinya, “Aku baik – baik saja, Pak. Di mana jasadnya?” 

“Mari. . .” 

Eila kemudian dituntun masuk ke dalam lokasi dan akhirnya tiba di mana seorang gadis tergeletak dengan mengenakan gaun serba putih yang berubah menjadi merah karena darah yang mengalir dari dua pergelangan tangannya yang telah diiris. 

“Ya, Tuhan. . . putriku, Rhea. . . .” 

Eila berteriak histeris memandang keadaan putrinya yang tewas dengan mengerikan. Eila hendak berlari memeluk tubuh putrinya namun langkahnya tertahan ketika petugas polisi yang bersamanya menahan tubuhnya dan menghentikan langkahnya. 

“Maafkan saya, Bu. . . Ibu belum boleh ke sana dan merusak TKP.” 

Air mata mengalir di wajah Eila, “Siapa yang tega melakukan hal ini pada putriku? Apa yang telah diperbuat oleh putriku hingga harus mati dalam keadaan seperti ini?” 

Eila berteriak histeris dan penuh amarah kepada petugas polisi yang menahan tubuh dan langkahnya. 

“Mohon tenangkan diri Ibu.” Petugas itu pun membawa Eila menjauh dari lokasi kejadian dan berusaha menenangkan diri Eila yang syok melihat keadaan putrinya. “Apakah Ibu pernah mendengar nama Hujan Merah yang sedang banyak dibicarakan dalam waktu dekat ini?” 

Eila menggelengkan kepalanya. “Tidak, saya tidak pernah mendengar nama itu. Apa hubunganya dengan putriku yang malang itu?” tanya Eila masih terisak. 

“Selama beberapa waktu, kami pihak kepolisian mengejar pembunuh berantai yang dikenal dengan nama Hujan Merah atau Crimson Rain. Hujan Merah selalu menargetkan wanita dengan ciri – ciri rambut hitam dengan panjang sebahu, mata hitam dan bibir merah. Pembunuh ini membius korbannya, kemudian mengganti pakaian korbannya dengan gaun putih. Lalu di saat korbannya tidak sadarkan diri, Hujan Merah akan mengiris pergelangan korbannya dan korban akan mati perlahan karena kehabisan darah.” 

“Putriku mungkin punya mata hitam dan bibir yang merah karena riasan yang selalu digunakannya untuk bernyanyi, tapi rambut putriku panjang. Tidak mungkin dia bisa menjadi target dalam pembunuhan Hujan merah jika memang seperti penjelasan Bapak. . .” kata Eila tidak percaya. 

Petugas itu kemudian menunjuk ke arah jasad Rhea, tepatnya ke arah rambut Rhea. 

“Sepertinya. . . putri Ibu memotong rambutnya sebelum bekerja kemarin. Menurut kesaksian yang kami terima, putri Ibu, Rhea kemarin mampir ke salon dan memotong rambutnya.” 

Eila tidak percaya dengan penjelasan petugas polisi yang bersamanya dan menutup mulutnya karena tidak percaya. 

“Ini tidak mungkin. . . putriku yang malang. . .” kata Eila yang kemudian menangis lagi. “Tidak. . . Rhea, putriku. . .” 

Petugas di samping Eila menatap dalam ke arah jasad Rhea yang masih tergeletak di lokasi kejadian. Dalam pikirannya, petugas itu berbicara dan menilai sesuatu yang sedang dilihatnya saat ini. 

Pembunuhan ini terasa sedikit berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya, Hujan Merah selalu menargetkan wanita dengan kisaran usia 30 tahunan kenapa sekarang Hujan Merah membunuh gadis kecil ini? Meski gadis ini memiliki semua ciri yang sama dengan korbannya dan hanya usia mereka yang berbeda, kenapa sekarang Hujan Merah melanggar aturan yang dibuatnya dan mengubah targetnya?

Sesuatu pasti terjadi antara Hujan Merah dan gadis ini. . . 

Petugas di samping Eila kemudian memanggil salah satu petugas yang berada di lokasi kejadian karena merasakan sebuah keanehan dalam peristiwa kematian Rhea. 

“Di mana lokasi tempat gadis ini bekerja?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status