Share

NOTE 3 HUJAN MERAH PART 1

Rhea tersenyum senang memandang coklat di dalam tas tangannnya sembari berdiri di pinggir jalanan kota yang sunyi. Angin malam yang dingin berhembus kencang membuat Rhea mengecangkan mantelnya dan memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi tubuhnya terkena hembusan angin malam yang dingin. Untuk sesaat Rhea merasakan bulu kuduknya berdiri dan perasaan takut menjalar ke seluruh tubuhnya tanpa alasan. 

“Mungkin ini disebabkan angin malam yang dingin. . .” pikir Rhea 

Dari kejauhan, Rhea melihat seorang pria berjalan mendekat ke arahnya dengan perlahan. Senyum kecil di sudut bibirnya terlihat jelas oleh Rhea. Pria itu berjalan semakin dekat, membuat Rhea semakin jelas melihat pria asing itu. Gambaran yang diberikan pelayan café di tempat Rhea bekerja sesuai dengan ciri – ciri pria asing yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. 

Rhea mendengus kesal ke arah pria asing yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya. 

“Ada apa Tuan meminta bertemu di sini?” tanya Rhea dengan sedikit gugup ketika merasakan aura berbeda dari pria yang berdiri tepat di depannya. “Kalau saja. . . . Tuan tidak mengatakan akan memberiku uang, aku pasti sudah menolak permintaan Tuan untuk bertemu denganku di tempat seperti ini.” 

Rhea mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berada. Hanya satu lampu jalan yang di tempatnya berdiri menunggu dan satu – satuanya alat penerang yang membuat Rhea melihat pria asing yang berdiri di depannya. 

Pria itu tersenyum ke arah Rhea dan dalam sekejap Rhea merasakan perasaan takut yang sempat dirasakannya sesaat tadi. 

“Lagu itu. . .” kata pria itu membuka mulutnya untuk berbicara, “dari mana kamu mendengarnya?” 

“Mana uang yang Tuan janjikan?” tanya Rhea dengan mengulurkan tangannya dan meminta bayaran yang dijanjikan oleh pria asing di depannya itu. “Aku mendengar lagu itu dari seseorang di dekat tempat tinggalku. Ada apa memangnya dengan lagu itu? Bukankah itu hanya sebuah lagu? Meski kuakui lagu itu punya lirik yang indah dan menyakitkan di saat yang bersamaan.” 

Senyuman pria asing itu tiba – tiba menghilang. Angin malam yang berhembus semakin terasa dingin, membuat Rhea semakin merasa kedinginan di saat yang bersamaan. 

“Apakah kamu menyanyikan lagu itu atas ijin dari pemiliknya?” 

“Aku mendengarnya dari anak kecil. . .” jawab Rhea dengan mendengus kesal karena tubuhnya yang merasa kedinginan, “kenapa pula aku harus meminta ijin pada anak itu hanya untuk menyanyikan lagu itu?”

Rhea memeluk dirinya lebih erat lagi dan berharap bisa segera pulang. Rhea membayangkan tempat tidurnya yang hangat dan suara ibu dan adiknya yang selalu berisik ketika Rhea pulang terlambat. 

“Mana uangnya Tuan?” tanya Rhea dengan mengulurkan telapak tangannya mendekat ke arah wajah pria asing di depannya. “Aku sudah terlambat untuk pulang, orang – orang di rumah pasti sedang mengkhawatirkan aku sekarang. . .” 

“Jadi. . .” kata pria itu sembari mengambil beberapa lembar uang dari dalam saku mantelnya yang tebal, “kamu menyanyikan lagu itu tanpa seijin pemiliknya? Kamu benar – benar gadis yang tidak punya tata krama dan etika. . .” 

Pria itu meletakkan uang di telapak tangan Rhea dan tersenyum dingin memandang ke arah Rhea. 

Senyuman itu membuat Rhea bergidik dan memandang ngeri ke arah pria asing itu. Rhea segera menerima uang itu dan hendak berbalik meninggalkan pria asing itu. Sebuah tangan yang besar bersama dengan sapu tangan putih dengan cepat menutupi separuh wajah Rhea. Bau asing yang tak pernah dicium oleh Rhea membuat pandangan Rhea semakin lama semakin memudar. 

Dalam batas antara sadar dan tidak sadar, Rhea merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya. Dalam benaknya, Rhea mengingat kembali ketika Ibu dan adiknya, Eesha yang selalu mengomel ketika dirinya pulang terlambat. Di saat – saat terakhir sebelum kesadarannya yang benar – benar hilang, Rhea berharap bisa segera pulang ke rumah kecilnya bersama dengan Ibu dan adiknya. 

“Kali ini. . . sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku padamu, Eesha. Sama seperti janji yang sebelumnya kulanggar, kali ini pun aku tidak bisa menepatinya. . .” kata Rhea di dalam pikirannya. 

Pandangan Rhea kemudian berubah gelap dan Rhea tidak dapat merasakan apapun lagi. 

Melihat buruannya telah jatuh ke dalam obat bius, Hujan merah tersenyum senang menangkap tubuh buruannya yang telah kehilangan keseimbangan dan kesadarannya. Hujan merah membawa tubuh buruannya dan mulai melancarkan aksinya sama seperti sebelumnya. 

“Gadis nakal dan tidak punya aturan seperti dirimu, sepertinya harus mendapat pelajaran. . .” kata hujan merah tersenyum bahagia melihat buruannya yang sudah tidak berdaya dan hanya bisa menunggu kematiannya. 

“Lain kali. . . saat kamu akan menyanyikan lagu milik orang lain sebaiknya kamu meminta ijin dari pemiliknya. . .” kata Hujan merah dengan lirih melihat ke arah buruannya sebelum mengiris nadi pada pergelangan tangan Rhea. 

# # #

Keesokan harinya. . .

Eesha keluar dari kamarnya dan melihat ibunya tertidur di sofa di ruang tengah. 

“Ibu??” 

Eesha mendekat ke arah ibunya sembari memanggil – manggil ibunya dengan lembut. 

“Hhmmm. . .” 

Eila berusaha membuka kedua matanya yang terasa sedikit panas karena terlambat tidur semalam. 

“Kenapa Ibu tidur di sini? Kakak masih belum pulang?” tanya Eesha dengan polos. 

Eila tersentak mendengar pertanyaan putri kecilnya itu, “Rhea??” Eila menolehkan kepalanya – ke kanan dan ke kiri melihat sekeliling dirinya berada. Kemudian menatap putri kecilnya dengan tatapan bingung, “Ini sudah pagi?” 

“Sudah, Bu. . .” kata Eesha sembari menunjuk ke jendela ruang tengah yang sedikit terbuka. Berkas sinar matahari pagi terlihat menembus celah tirai yang sedikit terbuka. “Lihat. . .” 

“Kakakmu ini. . .” keluh Eila, “tidak biasanya menginap tanpa bilang lebih dulu. Ibu semalaman menunggu dan tidak ada kabar sama sekali dari kakakmu. Rhea bahkan tidak menelepon ke rumah.” 

Suara ketukan pintu membuat Eila dan Eesha tersentak. 

“Jam berapa sekarang, Eesha sayang?” 

Eesha melihat ke arah jam dinding yang tepasang di antara ruang makan dan ruang keluarga, “Masih jam setengah 6 pagi, Bu. Kenapa?”

“Mungkin Kakakmu yang mengetuk pintu dan baru pulang, Eesha mandi dulu setelah itu Ibu akan membuatkanmu sarapan. Karena kakakmu, jangan sampai kamu datang terlambat ke sekolah.” 

Eesha menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Ya.”. 

Eesha segera berjalan ke kamar mandi dan segera membersihkan dirinya seperti yang diperintahkan oleh Ibunya. 

Suara ketukan pintu terdengar untuk kedua kalinya membuat Eila bangkit dari duduknya dan segera bergegas menuju pintu rumahnya. 

“Ya, tunggu sebentar. . .” teriak Eila. 

Begitu Eila membuka pintu yang didapatinya bukanlah sosok putrinya Rhea, melainkan sosok pria muda yang berusia sekitar 20 tahunan dengan wajah tegas dan tampan. 

“Mohon maaf. . .” kata pria muda itu ketika Eila membuka pintu dan terkejsut melihat wajah asing yang belum pernah dilihatnya, “pagi – pagi kami datang dan mengganggu ketenangan Ibu.” 

Eila menatap bingung pria muda yang berbicara padanya, “Ya, tidak apa – apa.” Eila melihat seorang pria lagi dengan mengenakan seragam petugas kepolisian di samping pria muda yang berbicara dengannya. “Tapi. . . ada apa petugas kepolisian datang kemari pagi – pagi sekali?” 

“Saya bersama dengan rekan saya datang kemari karena ingin menanyakan sesuatu,” jelas pria muda itu yang kemudian mengambil sesuatu dari dalam saku mantelnya. “Apakah gadis bernama Rhea tinggal di sini?” tanya pria muda itu sembari menunjukkan foto Rhea. 

Eila terkejut mendapati dua petugas kepolisian yang datang ke rumahnya mencari Rhea, “Ya. . . Rhea adalah putri pertama saya. Kenapa dua petugas ini mencari putri saya? Apakah putri saya berbuat kesalahan? Atau mungkin terjadi sesuatu dengan putri saya?” 

Eila merasa gugup dan cemas memandang dua petugas kepolisian di depannya. 

“Sebelum saya menjelaskan situasi yang sebenarnya, izinkan saya bertanya lebih dulu kepada Ibu. Kemarin malam, Rhea putri Ibu berada di mana?” 

“Kemarin sore, Rhea berpamitan pergi ke kota untuk pekerjaannya sebagai penyanyi café. Biasanya Rhea pulang jam sepuluh malam atau paling larut jam 11 malam. Tapi, semalam dia tidak pulang dan tidak memberi kabar apapun kepada saya. Biasanya, Rhea akan menelepon ke rumah jika dia terpaksa harus menginap di rumah temannya di kota,” jelas Eila. Eila menarik napas berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya, “Sebenarnya ada apa dengan putriku, Pak?” 

“Saya mohon kepada Ibu untuk tenang. Kami berdua datang kemari karena menemukan seorang gadis yang tewas di kota. Kami menduga bahwa gadis itu adalah putri Ibu dari dompet yang tertinggal di TKP.” 

Bak disambar petir, Eila terkejut dan langsung terduduk lemas di hadapan dua pria muda petugas kepolisian. 

Petugas muda itu segera membantu Eila bangkit dan menahan tubuhnya yang lemas dengan tangannya, “Saya mohon tolong kuatkan diri Ibu.” 

Eila mengatur napasnya dan berusaha menguatkan dirinya, “Di mana putriku sekarang? Saya harus memastikannya lebih dulu. Bisa saja, gadis itu adalah gadis lain dan bukannya putriku, Rhea.”

Petugas muda itu kemudian menunjukkan dompet milik Rhea yang disimpan di dalam palstik sebagai barang bukti, “Kami menemukan ini di samping tubuh korban. Alamat yang tertulus di dalam dompet mengantarkan kami berdua kemari.”

Eila menatap tidak percaya ketika mengenali dompet yang selalu digunakan oleh putri pertamanya, Rhea. 

“Bisakah Bapak membawa saya untuk melihat jasad gadis itu?” tanya Eila dengan tubuh gemetar. “Saya ingin memastikannya sendiri dengan kedua mata saya.” 

“Tentu saja, Bu. Kami datang kemari untuk mengajak Ibu untuk mengkonfirmasi jasad yang kami temukan.” 

“Tolong beri saya waktu tiga puluh menit. Saya masih punya putri lagi yang masih kecil. Tidak mungkin saya membawanya bersama saya melihat keadaan jasad yang kemungkinan adalah kakaknya,” kata Eila memohon. 

“Tentu saja, Bu. Kami berdua akan menunggu. Ibu tidak perlu terburu – buru.” 

Eila mempersilakan dua petugas kepolisian itu untuk menunggu di dalam rumahnya, sementara dirinya segera berlari ke rumah Rania untuk meminta bantuan. 

Dengan napas tersengal, Eila mengetuk pintu rumah Bibi Rania. “Bibi. . . Bibi Rania.” 

Tanpa menunggu lama, pintu rumah Bibi Rania terbuka dan Rania muncul di hadapan Eila. 

“Ada apa, Eila?” tanya Rania merasa heran ketika melihat wajah Eila yang gelisah dan cemas. 

“Bibi. . . bisakah aku menitipkan Eesha di sini?” tanya Eila gugup dengan nada sedikit memohon. 

Rania tersenyum kemudian berkata, “Tentu saja bisa. Apa ada sesuatu yang terjadi?” 

“Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, Bibi. Sesuatu yang buruk mungkin terjadi pada putriku, Rhea. Aku harus pergi ke kota setelah ini dan tidak mungkin bagiku untuk membawa Eesha bersamaku. Sepulang dari kota nanti, aku akan menceritakannya kepada Bibi,” jelas Eila dengan cepat, “aku mohon tolong jaga Eesha untukku hari ini. kalau perlu Eesha bisa libur sekolah agar tidak terlalu merepotkan Bibi.” 

“Baiklah, Nak. Aku akan menjaga Eesha untukmu.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status