Share

NOTE 5 JANJI YANG DILANGGAR

Sesuai dengan perintah Rania, Eesha berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki bersama dengan Ganendra yang menggendong Amartya di punggungnya. 

Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Eesha terus menyanyikan sebuah lagu yang membuat telinga Amartya sakit ketika mendengarnya. 

Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu. 

Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di hati. 

Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. 

Bahkan jika kata – katamu sedingin es. 

Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati. 

Amartya yang sudah tidak bisa menahan rasa sakit di telinganya, akhirnya membuka mulutnya. 

“Berhentilah bernyanyi. . .” teriak Amartya dengan kesal. 

“Apakah suaraku seburuk itu?” tanya Eesha menghentikan langkahnya dan menatap Amartya di punggung Ganendra. 

“Ya, buruk sekali.” 

Eesha berpindah tempat dan kali ini memandang ke arah Ganendra, “Bagaimana menurut Paman?” 

“Ehm. . tidak terlalu buruk,” jawab Ganendra dengan tersenyum. “Itu lagu yang indah menurutku, siapa yang menciptakan lagu itu?” 

Eesha tersenyum mendengar komentar Ganendra dan memulai jalannya lagi. Sembari berjalan, Eesha menjawab pertanyaan Ganendra. 

“Aku tidak tahu siapa yang menciptakan lagu ini, Tapi, Kiran selalu menyanyikan lagu ini ketika kami bersama.” 

Ganendra tersenyum memandang gadis kecil yang polos sedang berjalan di depannya, “Kurasa lagu ini kurang cocok untuk dinyanyikan oleh anak – anak, tapi suara Eesha tidak buruk kok menyanyikan lagu ini. . .” 

Eesha tersenyum senang dan berbalik melihat ke arah Ganendra. Sembari berjalan mundur, Eesha menatap Ganendra dengan wajah bahagia. 

“Suara Kiran. . . benar – benar indah saat menyanyikan lagu ini, Paman. Tapi sayangnya, Kiran tidak mau menyanyikan lagu ini selain di depanku dan ibunya,” Eesha memberikan isyarat dengan jari telunjuknya dan menempelkannya di depan mulutnya. “Jadi, tolong Paman rahasiakan hal ini yah. . .” 

“Kenapa begitu? Itu hanya sebuah lagu, tapi kenapa harus dirahasiakan?” tanya Amartya heran dan penasaran. 

“Aku boleh mendengar Kiran bernyanyi hanya jika aku merahasiakan lagu ini. . .” jawab Eesha. 

“Itu artinya kamu melanggar janji. . .” kata Amartya memandang tajam ke arah Eesha. 

“Ah benar juga. . .” kata Eesha kemudian berbalik dan tidak lagi berjalan mundur, “ Tapi. . . jika Paman dan kamu, Rama merahasiakan hal ini maka Kiran tidak akan tahu. Aku juga bisa dikatakan tidak melanggar janji. . .”

Dengan tiba – tiba, Eesha menghentikan langkahnya dan membuat Ganendra yang berjalan di belakangnya ikut menghentikan langkahnya. 

“Kirannnnnnnn. . . .” teriak Eesha sembari melambai – lambaikan tangannya. 

“Itukah temanmu yang bernama Kiran?” tanya Ganendra. 

Eesha tidak menjawab dan hanya memberikan isyarat dengan anggukkan kepalanya. 

“Kukira dia perempuan, rupanya dia anak laki – laki. . .” kata Ganendra lagi. 

“Andai saja, Paman bisa mendengar suara Kiran, Paman pasti memuji suaranya yang sangat indah,” kata Eesha kemudian berbalik memandang Ganendra. “Paman cukup mengantarku sampai di sini saja. . . di depan itu adalah sekolahku. Sampai ketemu nanti Paman, Rama. Kamu juga Rama, jangan terlalu galak kepada anak – anak lain, kalau tidak kamu tidak akan punya teman.” 

“Siapa juga yang mau punya teman seperti dirimu. . .” kata Amartya dengan ketus. 

Tanpa mempedulikan jawaban ketus dari Amartya, Eesha segera berlari ke arah Kiran dan berjalan bersama dengan Kiran menuju sekolahnya. 

Ganendra dan Amartya melihat Eesha yang tersenyum senang hanya dengan berjalan di samping Kiran. Setelah melihat Eesha dan Kiran masuk ke dalam gerbang sekolahnya, Ganendra berbalik dan berjalan menuju ke rumah Rania. 

“Bagaimana menurut Paman Ganendra?” tanya Amartya tiba – tiba. 

Pertanyaan itu membuat Ganendra bingung, “Apa yang Tuan muda maksud?” 

“Anak bernama Kiran itu?” 

Ganendra merasakan sesuatu yang berbeda dari Tuan mudanya yang berada di punggungnya saat ini, “Kenapa Tuan muda bertanya? Saya rasa anak bernama Kiran itu anak yang tampan dan cocok bersama dengan Eesha.” 

“Apakah aku kalah tampan dari anak bernama Kiran?” tanya Amartya dengan menyembunyikan wajahnya di balik punggung Ganendra. 

Mendengar pertanyaan itu, Ganendra tersenyum kecil dan berusaha menyembunyikan senyuman kecilnya dari Tuan mudanya itu. 

“Tuan muda tidak kalah tampan dari anak bernama Kiran itu.”

Sementara itu di kota. . . 

“Jadi ini benar tempat gadis bernama Rhea itu bernyanyi tadi malam?” tanya Rajendra ketika tiba di lokasi café tempat Rhea bekerja. 

“Ya, Pak. Saya sudah memastikannya,” jawab asisten Rajendra. Asisten Rajendra kemudian memanggil salah satu pelayan yang sedang membersihkan café, “Pelayan. . .” 

Salah satu pelayan kemudian mendekat ke arah Rajendra dan asistennya, “Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” 

“Kami dari kepolisian, ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan.” Rajendra kemudian mengambil foto Rhea dari dalam saku mantelnya dan menunjukkan foto itu ke pelayan di hadapannya. “Apakah gadis ini bekerja di sini sebagai penyanyi?” 

“Ya, Pak. Nona Rhea memang bekerja di café ini sebagai penyanyi.” 

“Berapa lama gadis ini bekerja sebagai penyanyi di café ini?” tanya Rajendra menyelidik. 

“Mungkin hampir setahun. . .” jawab pelayan dengan tidak begitu yakin. 

“Lalu, apakah semalam ada hal yang aneh sebelum Rhea pulang bekerja?” tanya Rajendra lagi. 

“Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Nona Rhea?” 

Pelayan itu berbalik bertanya kepada Rajendra dan kemudian dengan melambaikan tangannya, pelayan itu memanggil salah satu temannya yang juga membersihkan café bersamanya. 

Pelayan satunya mendekat dan bertanya ke arah pelayan yang tadi dipanggil oleh asisten Rajendra, “Ada apa?” 

“Bukankah semalam kamu masuk shift malam?” tanya pelayan yang memanggil. 

Pelayan satunya menganggukkan kepalanya, “Ya, ada apa memangnya?” 

Rajendra menunjukkan kartu identitasnya sebagai detektif resmi dari kepolisian di kota, 

“Kami berdua adalah polisi yang sedang menyelidiki kasus. Bisakah saya bertanya? Apakah semalam ada sesuatu yang aneh yang terjadi kepada gadis bernama Rhea?” 

“Selain bernyanyi seperti biasanya, tidak ada yang tidak biasa dari Nona Rhea. . .” jawab pelayan. Pelayan itu kemudian berpikir sejenak dan teringat akan sesuatu. Rajendra menangkap raut wajah pelayan itu yang sedang teringat akan sesuatu. “Ah, Nona Rhea memotong rambutnya kemarin.” 

Rajendra sedikit kecewa mendengar ucapan pelayan yang tidak sesuai dengan harapannya.

“Apa gadis bernama Rhea ini adalah penyanyi yang cukup terkenal di sini?” tanya Rajendra lagi menyelidik. 

Pelayan yang pertama dipanggil oleh asisten Rajendra memberikan jawabannya, “Sebelum ini, Nona Rhea hanyalah penyanyi biasa dan pengunjung café kami tidaklah banyak. Namun. . . seminggu ini, pengunjung tiba – tiba meningkat ketika Nona Rhea menyanyikan sebuah lagu baru.” 

Pelayan café yang satunya lagi juga merasakan hal yang sama dan kemudian ikut memberikan komentarnya, “Itu benar, Pak. Lagu itu membuat pengunjung di café meningkat hanya dalam waktu singkat.” Pelayan café itu tiba – tiba menghentikan ucapannya dan mengingat sesuatu. “Ah. . . semalam. Ada pengunjung baru yang meminta saya untuk memberikan pesan kepada Nona Rhea.” 

Insting Rajendra menangkap sesuatu yang dicarinya yang merupakan koneksi yang dibuat antara Hujan Merah dan Rhea, “Pesan? Pesan apa?” 

“Pesan yang sama seperti beberapa pengunjung lainnya yang ingin berkenalan dengan Nona Rhea. Selama seminggu ini, banyak pengunjung pria yang ingin berkenalan dengan Nona Rhea sejak Nona Rhea menyanyikan lagu itu.” 

“Bagaimana dengan ciri – ciri pria itu?” tanya Rajendra menyelidik. “Apakah ada yang mencurigakan dari pria itu?” 

Pelayan café itu terdiam sejenak mengingat kenangannya semalam saat bertemu dengan pengunjung baru itu tadi malam, “Pria itu mengenakan pakaian serba hitam dan rapi, pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Pria itu mengenakan topi hitam dan sarung tangan hitam. Tapi, hanya separuh bagian wajah bawahnya yang bisa saya lihat. Topi yang dikenakan oleh pria itu menutupi hampir separuh bagian atas wajahnya.” Pelayan café itu terdiam sesaat kemudian berbicara lagi, “Saya rasa. . . pria itu adalah pria yang tampan dengan kulit putih. Mungkin usianya sekitar 30 tahunan.” 

Rajendra semakin penasaran dengan gambaran sasaran yang selama ini selalu dicarinya dan tidak pernah menemukan apapun baik bukti maupun ciri – ciri fisik dari Hujan Merah. Rajendra tidak menyangka jika pelayan polos ini bahkan berbicara dengan pria yang mungkin adalah pembunuh berantai yang bernama Hujan Merah. 

“Tinggi badannya? Apa kamu mengingatnya? Bagaimana dengan suaranya??” 

“Orang itu cukup tinggi, mungkin tingginya sekitar 180cm. Bentuk tubuhnya benar – benar idela, tidak kurus dan juga tidak gemuk. Balutan jas yang dikenakannya benar – benar memperlihatkan bahwa pria itu adalah pria dengan bentuk tubuh yang sempurna. Untuk suaranya, suaranya sedikit berat untuk pria berusia 30 tahunan.” 

“Apa tidak ada lagi yang kamu ingat? Mungkin sesuatu yang tidak biasa?” tanya Rajendra penasaran. Rajendra kemudian mengalihkan pandangannya ke arah asistennya yang berdiri di sampingnya. “Kamu mencatatnya bukan?” 

“Saya mencatatnya, Pak,” jawab Asisten Rajendra yang kemudian menghentikan kegiatan menulisnya. 

“Ah, ada satu hal yang tidak biasa yang membuat saya merasa sedikit heran semalam.” 

“Apa itu?” tanya Rajendra tidak sabar.

“Tangannya, di tangan pria itu. Ketika memberikan kertas pesan untuk Nona Rhea, sesuatu terlihat di pergelangan tangan pria itu. Pria itu menggunakan gelang dengan gantungan bunga Teratai merah.” 

Rajendra mendengarkan dengan seksama ciri – ciri yang digambarkan oleh pelayan itu kepadanya dan merasa ada sesuatu yang belum ditemukan olehnya. 

Mungkinkah pria yang digambarkan pelayan ini adalah tersangka yang kukejar selama ini yang disebut – sebut dengan nama Hujan Merah? Tapi. . . kenapa gadis bernama Rhea ini harus dibunuh? Apa alasan Hujan merah membunuh gadis kecil ini dan melanggar aturannya sendiri?

“Bisakah saya meminta tolong lagi?” tanya Rajendra. “Hanya untuk berjaga – jaga saja.” 

“Silakan, Pak.” 

“Apakah kalian mengingat lagu yang dinyanyikan oleh gadis bernama Rhea?” 

Setelah selesai berkeliling mengumpulkan keterangan para saksi, Rajendra bergegas menuju rumah sakit di mana jasad Rhea diotopsi. Begitu sampai di depan ruang otopsi, Rajendra melihat Ibu Rhea, Eila yang sedang duduk menunggu dengan wajah kelelahan. Rajendra dapat melihat mata Eila yang sembab karena menangisi kematian putri tertuanya yang tragis. 

Rajendra berjalan menghampiri Eila dan duduk di samping Eila. 

“Maafkan saya, meninggalkan Ibu sendiri di sini. . .” 

“Tidak apa – apa, Pak. . .” jawab Eila dengan suara yang sedikit serak. 

“Panggil saja saya Rajendra, Bu. Akan lebih mudah jika Ibu memanggil saya dengan nama saya.” 

“Baiklah. . .” jawab Eila dengan suara seraknya. 

Dokter yang mengautopsi jasad Rhea keluar dari ruangannya. Eila dan Rajendra bangkit dari duduknya dan segera mendekat ke arah dokter. 

“Bagaimana hasil autopsinya, Dok?” tanya Rajendra tidak sabar. 

“Sama seperti tujuh korban sebelumnya. Tidak ada satu pun bukti yang tertinggal dari Hujan Merah,” jelas Dokter dengan sedikit kecewa. “Hanya saja. . .” 

Kata itu membuat harapan Rajendra yang nyaris hilang kembali lagi. Dalam sekejap Rajendra berharap jika buruannya itu membuat kesalahan dan meninggalkan bukti kecil untuk mengejar buruannya. 

“Hanya saja apa, Dok?” tanya Rajendra tidak sabar. 

“Sesuatu terdapat di dalam mulut gadis itu. . .” jawab dokter yang kemudian mengeluarkan kantong plastik dari dalam saku jasnya dokternya. 

Rajendra mengambil kantung plastik itu dan memandang heran bukti yang ditemukan di dalam mulut jasad Rhea. 

“Kertas?” 

“Ya, kertas,” jawab Dokter mengiyakan. “Lihatlah baik – baik. . . meski beberapa bagian rusak karena air liur, tapi ada tulisan yang masih bisa terlihat dengan jelas.” 

Rajendra memperhatikan dengan seksama tulisan di kertas itu dan berusaha untuk membacanya. 

“Apakah saya sudah bisa membawa putri saya pulang untuk dikuburkan, Dok?” tanya Eila dengan suara seraknya. 

“Bisa, Bu. Terima kasih banyak atas kesediaan Ibu untuk menyetujui proses autopsi ini.” 

“Jika dengan menyetujui proses autopsi bisa menangkap pembunuh yang melakukan hal itu kepada putriku, saya tidak keberatan, Dok.” 

Rajendra yang masih berusaha membaca tulisan itu mulai mengingat sesuatu. 

“Ini. . . rasanya aku pernah melihat kalimat ini. Di mana aku pernah melihat kalimat ini sebelumnya?” Rajendra berpikir keras dan tanpa sadar mengucapkan kalimat dalam bukti yang ditinggalkan oleh Hujan Merah. “Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersama denganmu. Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati.” 

Eila yang tidak sengaja mendengar ucapan Rajendra, mengingat potongan kalimat itu. 

“Tunggu sebentar. . .” kata Eila. 

“Ada apa, Bu?” tanya Rajendra bingung. 

“Bisakah saya melihatnya, Pak? Rasanya saya tahu kalimat itu.” 

Rajendra menyerahkan kantung plastic itu kepada Eila dan membiarkan Eila memperhatikannya selama beberapa detik. 

“Ini. . . mirip dengan lagu yang selalu dinyanyikan oleh putri kecilku. Kalau saya tidak salah mengingat begini liriknya. . .” kata Eila yang kemudian menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan oleh Eesha, putri kecilnya. 

Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersama denganmu. 

Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati. 

Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. 

Bahkan jika kata – katamu sedingin es

Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati. 

“Saya rasa seperti itu lagu yang selalu Eesha, putri kecil saya nyanyikan.” 

Mendengar nyanyian Eila, Rajendra tiba – tiba teringat akan sesuatu dan dengan cepat mengambil barang bukti yang dipegang oleh Eila. 

“Jangan – jangan. . .” kata Rajendra yang kemudian menghentikan kalimatnya dan dengan buru – buru, Rajendra mengambil sebuah kertas dari dalam saku mantelnya. Rajendra menatap kertas yang diberikan oleh pelayan café tadi dan membandingkannya dengan bukti yang ditinggalkan oleh Hujan Merah. “Kata – katanya sama dengan lagu yang dinyanyikan oleh korban di hari kematiannya.” 

“Tunggu sebentar. . .” kata Eila terkejut dan tidak percaya ketika mendengar ucapan Rajedra. “Putriku, Rhea menyanyikan lagu ini di tempat kerjanya?” 

“Benar. . .” jawab Rajendra mengiyakan, “lagu ini membuat putri Ibu, Rhea mendapatkan banyak uang selama seminggu ini. Berkat lagu ini, café tempat Rhea bernyanyi ramai dengan pengunjung.” 

“Tapi. . .” kata Eila masih tidak percaya, “kami berdua berjanji kepada Eesha untuk merahasiakan lagu ini.” 

“Rahasia? Kenapa begitu?” tanya Rajendra penasaran. “Siapa pemilik lagu ini sebenarnya?” 

“Lagu ini. . .” Eila mulai menjelaskan, “adalah lagu yang selalu dinyanyikan oleh teman putri kecil saya. Dan putri kecil saya, Eesha selalu berusaha untuk menyanyikan lagu ini ketika berada di rumah.” Eila terdiam sejenak dan merasakan sesuatu yang aneh. “Tapi, kenapa lirik lagu ini ditemukan di dalam mulut putri saya, Rhea?” 

“Itu juga yang ingin saya tanyakan kepada pelaku dalam kasus ini, Hujan Merah.” 

Rajendra merasa lirik lagu yang ditemukan di dalam mulut jasad Rhea memiliki arti khusus dan alasan tertentu. 

Mungkinkah Hujan Merah membunuh gadis ini dan melanggar aturannya sendiri karena lagu ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status