***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Aku tidak tau dorongan dari mana yang menyuruhku untuk datang ke kantor suamiku. Mungkin, instingku benar-benar meyakinkan diriku kali ini. Aku datang.Tetapi, aku tak pernah masuk ke dalam kantor suamiku. Aku hanya berdiam diri di dalam mobil dalam diam. Memperhatikan pria yang seharusnya suamiku sedang menciumi wanita yang selalu membuatku merasa tak aman. Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan saat melihat semesra apa mereka di lahan parkir yang sepi, seolah tak perduli jika ada mata manusia yang melihat.Pelukan, pagutan, ciuman yang membuatku sakit.Namun, aku tak mampu mengalihkan pandanganku! Rasanya ... aku bahkan tak berkedip meski aku bernafas karena itu hal wajar untuk kulakukan.Bernafas! Brukk!! Aku bahkan baru sadar jika sudah berdiri di salah satu lobi hotel saat tubuhku menabrak sesuatu atau mungkin seseorang, entahlah.Aku seperti di sini tapi otakku melayang entah kemana. Bahkan, suara ramai kesibukan terasa samar di telingaku. Udara dingin yang terasa menusu
Tetesan air yang menyentuh kulit wajahku terasa dingin. "Ng...," aku mengeluh dan suara tawa yang begitu kuhafal terdengar seketika diikuti pelukan yang membuat bibirku yang terasa kering, tersenyum dengan mata masih terpejam rapat.Rasanya tubuhku lemas sekali.Aku sama sekali tak bertenaga bahkan saat suamiku mengecupi bagian belakang kepala juga telingaku, karena wajahku tenggelam dalam bantal yang aromanya penuh dengan aroma khasnya."Jangan tidur lagi, sleepy head," protesnya yang kujawab dengan tawa pelan, rasanya mataku berat sekali untuk kubuka."Memangnya ini jam berapa? maaf aku tak dengar kamu pulang," ucapku masih membenamkan kepalaku yang rasanya pening.Ia terdiam, lalu tertawa dan kecupannya kurasakan lagi. "Kamu masih mimpi ternyata," ucapnya membuat diri mengernyitkan dahiku di atas bantal empuk yang aromanya menenangkan. "Aku sudah bilang aku menginap di rumah ibu, bukan?" Mendengar itu aku langsung membuka mataku cepat. Secepat aku bangun dan itu membuatnya yang s
"Ada apa, Ken?" Tanya manja itu membuatku menahan nafas. Dadaku berdebar keras berharap topi kelebaran yang menutupi kepalaku bisa menyamarkan tampilan diri yang mungkin akan Ken kenali, sebagaimana aku menyadari siluetnya begitu mudah. "Bukan apa-apa, hanya salah lihat." Tapi, aku merasa kecewa setelah mendengar jawaban Ken sampai bibirku menarik garis senyum yang terasa menyakitkan. Ia yang rasanya melihatku tak mengenali punggungku, istrinya yang bersembunyi. Ken menjauh dengan terus menggandeng erat tangan wanita itu, sementara mataku masih terus menatap punggungnya dari kaca toko yang pegawainya memperhatikanku curiga.Bagaimana tidak curiga? Aku berdiri di samping maneqin tokonya begitu lama. Tapi, menatapi toko lain dengan pandangan awas, 'tentu saja ia akan curiga padaku.'"Sa--saya beli ini," ucapku tapi meminta warna lain.Meski aku yakin, tidak akan pernah memakai topi kebesaran yang sudah terbungkus rapi di tanganku. Itu hanya akan mengingatkan diriku pada hari ini. H
[Jangan.... Jangan pergi, Ken.... Jangan tinggalkan aku.]Lagi ..., lagi-lagi mimpi ini. Ingin mengejar seperti apapun, kakiku tetap terpaku dengan kegelapan di bawahku. Sejauh apapun tanganku meraih, aku tak bisa menahan tangan suamiku yang tidak bisa ku gapai. Sekeras apapun aku berteriak suamiku seolah tak mendengar panggilanku. Ken tetap menjauh, meninggalkanku yang tidak bisa mengejarnya. Bahkan, di dalam mimpi rasa sakitku masih sama. Harapanku pun masih sama. Hanya saja, aku bisa melihat serapuh apa tempatku berpijak. Pijakan yang suara retaknya bisa kudengar meski dalam dalam mimpi. Dan itu menakutkan, sangat menakutkan.Krak! krakk! krak...[JANGAN TINGGALKAN AKU, KEN. JANGAN PERGI!!]"Ken!" Aku yang bisa merasakan tenggorokanku kering, membuka mata di tempat asing.Sofa di bawahku bahkan basah dengan keringat yang serasa menganak sungai. Meski kepalaku pusing perutku tak sakit lagi. Bahkan, di dahiku ada plester penurun panas yang rasanya sudah lama di tempel. 'Dim
Rumah yang kumasuki masih sepi.Aku yang akhirnya bisa menebus dua botol obat tidur setelah konsultasi pada dokter langsung membuka kulkas.Meskipun tak memiliki selera makan, bagaimanapun juga aku harus makan bukan? Kuambil apel yang langsung kugigit tanpa rasa. Lalu menyerah pada gado-gado yang baru kumakan tiga suap.Aku merasa begitu lelah, meski saat memejamkan mata, kantukku tidak datang sama sekali. Dengan sendal jepit yang kubeli di apotik, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelahnya langsung naik ke kasur dan meminum dua butir pil tidur yang membuatku mengangguk. Tak butuh waktu lama, aku terlelap tanpa kemungkinan bangun seburuk apapun mimpiku. 'Tapi, setidaknya aku bisa tidur meski harus mengonsumsi pil terlebih dahulu, bukan?'***"Yang, aku pulang. Yang? Ri?" Lelaki yang berlari masuk setelah melepas sepatunya cepat itu tertegun melihat ponsel sang istri di samping kotak makanan yang masih belum dibuka. "Yang?"Sepi, tak ada jawaban. Bahkan percuma
"Beruntung?" Tanyaku lebih pada diriku sendiri."Iya, Nyonya, suami anda sangat beruntung karena saat saya pulang tidak ada istri cantik yang menunggu saya di rumah. Hanya ada sepi dan bantal dingin."Aku tahu lelaki di sampingku bercanda. Tapi, aku bahkan tak bisa tertawa dan hanya mengamati tautan jemariku sendiri yang terlihat gelisah. Aku tak ingin berpikir apa yang sedang di pikirkan tetanggaku ini tentangku. Tapi, ia nampaknya bukan tipe manusia yang suka mencampuri urusan orang lain, ia juga tak keberatan aku hanya menjawab seperlunya. Ah, bukan begitu. Sejak dulu aku memang orang yang tak terlalu bisa bercengkrama dengan orang lain. Hanya bicara seperluku. Kurasa, aku hanya orang yang tidak menyenangkan untuk diajak bergosip."Apa anda sudah harus kembali?"Aku yang berdiri dari kursi besi bercat hijau mengangguk."Apa suami anda sudah pulang?"Aku menatap jajaran gigi rapinya yang terlihat menunggu jawabanku. Tapi, sekali lagi aku menggeleng, "saya hanya ingin bersiap kare
Aku menarik nafasku dalam, berharap ucapan ibu tidak akan terlalu kupikirkan. Tapi, siapa yang sedang ku bohongi saat dalam tiap langkah kepalaku berkali-kali mengulang ucapan ibu. [Benalu...bercerai...lebih pantas untuk putraku]"Selamat datang," sambutan ramah dengan senyum komersil itu membuatku diam, aroma salon yang terasa berbeda begitupun suasananya membuatku ragu untuk masuk. "Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya lelaki yang menyambutku setelah ia memperhatikan jemariku yang memakai cincin. Ramah. Itu kesanku untuk lelaki yang rambutnya dicat pink ini. Keramahan yang membuat seseorang merasa disambut, sampai aku yang tak terbiasa masuk ke dalam salon berani melangkah dan mengatakan apa yang ku mau. "Apa anda ada kencan, Nyonya?" Aku yang menutup mata saat wajahku dipoles menggeleng pelan, tidak ingin tangan yang sedang memoleskan lipstik di bibirku terganggu."Ataukah bertemu dengan selingkuhan suami?" Candanya dengan tawa tapi hanya bertahan sesaat ketika aku tanpa sa