Share

TUMPULKAH RASA SAKITKU?

"Ada apa, Ken?" 

Tanya manja itu membuatku menahan nafas.  Dadaku berdebar keras berharap topi kelebaran yang menutupi kepalaku bisa menyamarkan tampilan diri yang mungkin akan Ken kenali, sebagaimana aku menyadari siluetnya begitu mudah. 

"Bukan apa-apa, hanya salah lihat." 

Tapi, aku merasa kecewa setelah mendengar jawaban Ken sampai bibirku menarik garis senyum yang terasa menyakitkan. Ia yang rasanya melihatku tak mengenali punggungku, istrinya yang bersembunyi. 

Ken menjauh dengan terus menggandeng erat tangan wanita itu, sementara mataku masih terus menatap punggungnya dari kaca toko yang pegawainya memperhatikanku curiga.

Bagaimana tidak curiga? Aku berdiri di samping maneqin tokonya begitu lama. Tapi, menatapi toko lain dengan pandangan awas, 'tentu saja ia akan curiga padaku.'

"Sa--saya beli ini," ucapku tapi meminta warna lain.

Meski aku yakin, tidak akan pernah memakai topi kebesaran yang sudah terbungkus rapi di tanganku. Itu hanya akan mengingatkan diriku pada hari ini. Hari di mana aku memilih bersembunyi dari suamiku dan wanita itu.

Hari di mana aku merasa takut suamiku yang sedang bersama selingkuhannya melihatku. 

Namun, toko ini hanya menyediakan satu warna topi dan tinggal satu, topi yang kupegang, 'bisa seberuntung apa diriku?'

Aku tahu, aku takkan bisa terus-terusan seperti ini. Aku bisa gila sendiri. 

Tapi, siapa yang bisa kuajak bicara? Siapa-- 'ibu!?'

Ya, kurasa setaksuka apapun mertuaku pada kebwradaanku, ia bisa memberiku solusi atau paling tidak nasehat. Tapi, apa yang harus kukatakan padanya, "ibu anakmu dan wanita itu berselingkuh, bisakah ibu memberiku solusi?"

Gila!

Bukannya diberi solusi aku mungkin akan langsung diminta bercerai dengan putranya.

Apa pemikiranku saja yang terlalu buruk? Tidak mungkin ibu akan membiarkan putranya berbuat asusila, bukan? 

'Ah, kepalaku makin pusing, aku sudah lelah menangis sendiri, menyalahkan diri dan mencari kesalahan diri sendiri!'

"AWAS!" 

Seruan itu terdengar bersama botol selai yang jatuh ke lantai dingin lalu pecah.

Tidak hanya satu, bahkan botol berikutnya menyusul. Hanya saja, botol itu lebih beruntung karena ada tangan yang menangkapnya sebelum jatuh.

Tangan besar yang terlihat sangat bisa diandalkan itu membuatku mendongak. Dan, barisan gigi yang rapi langsung terlihat saat lelaki di hadapanku tersenyum.

Rasanya aku pernah melihat barisan gigi nan rapi itu, tapi di mana?

Namun, itu tidak penting sekarang! 

"Maaf, apa anda baik-baik saja?" tanyaku. Tapi, lelaki di hadapanku malah menautkan alis, manik matanya bahkan membesar menatapiku ..., tidak ia menatapi dahiku. 

"Ng," keluhku pelan saat aku mengusap dahiku yang berkeringat di dalam gedung perbelanjaan yang pendingin udaranya menusuki kulit. 

"Jangan diusap seperti itu," ucapnya membuatku berhenti dan baru sadar belakang tanganku sudah dipenuhi cairan merah.

Darah? Apa dahiku berdarah? Kenapa?

Apa aku jadi pelupa? Aku bahkan tak ingat apa yang menggoresku. Ataukah rasa sakitku jadi tumpul kini? 

"Tuan, anda baik-baik saja?" tanya pegawai supermarket yang terlihat takut-takut pada lelaki ramah yang tersenyum. Aku tak begitu paham apa yang di katakan lelaki di hadapanku ini, sampai aku sadar aku sudah duduk di sebuah ruangan yang aromanya harum.

Kopi, teh dan musk. 

BRAKK!!

"Maaf, membuat anda menunggu." 

Aku langsung berdiri dari kursi empuk yang terasa nyaman, "sa--saya bisa sendiri," ucapku saat tangan wanita yang pakian formalnya berbunyi setiap ia bergerak mendekatkan kain kasa yang sudah diolesi cairan antiseptik ke dahiku.

"Maaf, Nona. Tapi, tuan Arga bilang saya harus mengobati anda." Ucapnya dengan pandangan mata malas namun tetap memaksa, "tolong, pahami posisi saya. Terimakasih." 

Aku hanya bisa mengangguk, ingin rasanya bertanya siapa tuan Arga yang ia sebut namanya. Tapi, aku terlalu takut bertanya pada wanita yang wajahnya terlihat lega saat tugasnya sudah selesai. 

"Ma--maaf, berapa yang saya harus ganti?"

"Apa?" tanya wanita dengan name tag 'TIANA BESTARI' menatapiku heran.

"Botol selai yang jatuh, sa--saya harus menggantinya berapa?" tanyaku jadi bingung memanggil wanita di hadapanku mbak atau bu?

"Oh, tidak perlu, Nona."

"Nyonya."

"Ya?"

"Saya seorang nyonya," ucapku pada wanita yang mengernyitkan dahinya dalam lalu mengangguk saat aku menunjukan cincin di jari manisku. Entah kenapa, tatapan malasnya berubah sedikit bersahabat sebelum ia keluar ruangan, meninggalkanku duduk sendiri setelah aku berterimakasih.

Aku yang jadi bingung harus apa dalam ruangan yang aroma maskulinnya begitu terasa menatap berkeliling. Kesan pertamaku pada tempat asing ini hanya luas dan nyaman-

PING! 

Tubuhku selalu kaku setiap kali ponselku berbunyi saat Ken tak disampingku. Rasanya, meski belum melihat barisan kalimat yang ia kirim, mataku sudah bisa membaca isi chatnya, batinku juga sudah mampu menebak. Dan, perutku bergejolak tanpa mampu kucegah.

Aku yang berada di tempat asing langsung masuk ke dalam kamar mandi, mengeluarkan apapun yang kumakan. 

'Tuhan, sampai kapan aku akan seperti ini?' 

Kupikir dengan berjalannya waktu aku bisa terbiasa.

Namun, aku merasa makin buruk juga lemah di saat yang sama.

Bahkan, aku tak mampu menahan air mata di tempat asing ini. Menahan seperti apapun, isakku tetap keluar dan aku hanya bisa menggigit keras bibir agar isak yang keluar tak akan didengar benda-benda mati yang ada di luar sana. Di dalam ruangan nyaman dan luas itu.

Entah berapa lama waktu berlalu, sampai isakku usai dan aku langsung keluar setelah memastikan wajah sembabku tertutupi make up.

Lega rasanya saat tak ada seorang pun yang masuk ataupun duduk di salah satu sofa empuk itu. Meski aku jadi merasa canggung sendiri. 

Cklekk! 

Suara pintu yang terbuka membuatku berdiri, senyum lelaki yang giginya begitu rapi itu menyuruhku kembali duduk. 

"Tidak perlu berdiri," ramah, suara bariton itu terdengar. Seramah wajah lelaki yang kini duduk di hadapanku.

"Tuan, berapa banyak yang harus saya ganti?" 

Alis hitam lebat itu menyatu menatapku yang jadi merapatkan kaki juga tangan di atas pangkuan, "sa--saya harus segera pulang, suami saya sudah hampir pulang dari kantor." 

Ah, semudah ini bohongku terucap, saat aku tahu Ken tidak akan pulang sampai hari berganti esok. 

Sekalipun saat pulang hanya sepi yang akan menyambut diri dan kurasa, aku tak bisa ke rumah ibu hari ini. Itu akan mencurigakan saat dalam chatnya, Ken menulis ia akan menginap di rumah ibu.

"Anda terlihat lebih kurus dari saat terakhir kita bertemu."

"Maaf?" Tanyaku mendongak, menatap lelaki yang duduk begitu nyaman di kursinya lalu menggeleng.

Aku jatuh dalam pikiranku sendiri. Ah, betapa sopannya diriku pada lelaki yang menolongku, menyuruh orang mengobati lukaku, juga membiarkan aku menggunakan kamar mandinya begitu lama meski ia tidak tahu, 'tapi, tetap saja betapa sopannya diriku?'

"Anda cukup membayar untuk satu botol selai yang pecah, Nona." Ucap suara bariton yang membuatku mengalihkan pandangan dari jemariku yang bertautan.

Lelaki pemilik barisan gigi rapi ini terlihat tak tersinggung karena aku tidak mendengarkan ucapannya. Syukurlah.

"Nyonya, Tuan."

"Nyonya adalah panggilan yang terlalu tua untuk anda, Nona."

"Tapi, saya lebih nyaman di panggil seperti itu, Tuan." Jawabku membuka tas dan mengeluarkan uang, "saya benar-benar minta maaf, Tuan. Dan-," aku menggigit bibir bagian bawahku ragu, menatap lelaki yang senyumnya terlihat menenangkan, "-terimakasih, saya harus segera pulang." 

"Apa anda bisa menyetir, No--Nyonya?" 

Aku mengangguk lalu berdiri dengan lembaran uang di tangan. Bingung sendiri pada siapa aku harus membayar sebotol selai yang kupecahkan

"Berikan saja pada saya, Nyonya." 

Aku merasa lega meski tak kukatakan, "terimakasih, Tuan," ucapku lalu menunduk sebelum keluar dari ruangan luas nan nyaman yang aroma maskulinnya masih bisa kucium.

Di luar, aku bisa melihat secangkir teh dingin yang hanya dipandangi wanita yang rok pendeknya memperlihatkan kakinya yang mulus, "apa yang harus kulakukan pada teh ini, tuan Arga?"

Wanita dengan rok super pendek itu terlihat terkejut saat melihatku yang menunduk pamit, matanya beralih antara diriku dan gelas teh di hadapannya beberapa kali.

'Arga? Apa itu nama lelaki yang menolongku?'

Aku bahkan tak menanyakan namanya, sudah jadi sesopan inikah diriku kini? 

Saat sampai rumah, hari sudah begitu gelap. Aku yang membawa mobil jauh melewati tol malah lupa belanja dan hanya membawa topi lebar yang tak akan kupakai juga sebungkus nasi goreng yang kubeli di jalan depan.

Rasa aku akan langsung tidur saja karena sama sekali tak merasa lapar. Nasi goreng ini bisa kumakan esok hari-

"Tunggu!" 

Aku langsung menahan tombol 'hold' agar pintu lift yang kunaiki tak tertutup.

Derap langkah kaki yang memecah area parkir sepi, membuat diri sadar aku akan berdua saja dengan siapapun yang sedang berlari dan ia lelaki. Tapi, saat aku melihat CCTV aku merasa sedikit aman meski tanganku memegang erat plastik berisi nasi goreng yang aroma sedapnya tak menggodaku. 

"Terimakasih," ucap suara bariton yang membuatku mengangguk. Suara itu terasanya tidak asing di telingaku. Tapi, aku terlalu takut untuk menoleh sampai ia memencet nomer lantai yang sama dengan tempat tinggalku. 

"Saya pikir anda sudah pulang sejak tadi, Nyonya." 

Aku tertegun sebelum memberanikan diri untuk menatap tampilan lelaki yang menyandarkan badannya pada dinding lift.

Barisan gigi yang rapi tersusun terlihat begitu mata kami bertemu di pantulan dinding lift yang naik ke atas. 

"!" lelaki itu, 'Arga?'

DING!

Belum sempat merespon apapun, aku langsung menatap pintu lift yang terbuka. Seorang bocah yang begitu semangat masuk, berjinjit dan tersenyum saat aku mengangkatnya agar bisa menyentuh nomer manapun yang ia mau. 

"Thanks, Onty."

"Your welcome," jawabku.

Suasana lift jadi ramai dengan manusia yang asik dengan dunia mereka sendiri, hanya bertukar pandang lalu kembali pada layar ponsel, sedang aku hanya diam di samping bocah yang mendongak menatapi nomer lift yang menyala lalu terbuka tiap kali ada yang masuk ataupun keluar.

Aku ingin bertanya apa ia akan mudah menemukan pintu apartemennya nanti, tapi kehawatiranku hilang saat di depan pintu lift yang terbuka, sudah ada yang menunggu bocah kecil yang melambai semangat padaku.

Nyut!! 'ugh... Sakit...' 

Rasa menusuk di bagian perut membuatku menyenderkan badan ke dinding lift. Aku bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi bagian punggungku.

Lantai tempatku tinggal masih jauh. Aku ingin duduk tapi lift yang penuh sesak membuat itu tak mungkin kulakukan. Rasanya, perutku seperti ditusuki ujung pisau meski aku tak pernah menusuki perutku sendiri dengan pisau. 

Ini pasti karena aku jadi jarang makan, kalau tahu akan sesakit ini sedang seburuk apapun rasaku, aku tetap akan memaksakan diri menelan. 

Mataku jadi menatapi nomer yang menyala, rasanya bahkan jadi tak sabar saat pintu terbuka tapi bukan di lantai tempatku tinggal.

Namun, bibirku yang terasa kering tersenyum mengingat aku melakukan hal sama seperti bocah kecil tadi. Meski rasa sakit di perutku tak berkurang mengingat anak lucu yang tampaknya belum bisa berbahasa Indonesia. 

Memgingat segembil apa pipi bocah lucu itu aku jadi sedikit terhibur dan segera keluar begitu lift terbuka di lantai tempatku tinggal. 

Aku ingin berjalan cepat tapi rasanya ada yang menahan kakiku. Tidak. Bahkan kakiku terasa melayang dan tubuhku miring ke depan.

BRUGG!!

"Nyonya!?"

'Suara itu lagi ... lagi? Ugh. Lantai ini nyaman sekali, Ken.'

Rasa sakit di perutku hilang bersama kesadaranku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status