Share

TAWA MEREKA MENYAKITIKU

[Jangan.... Jangan pergi, Ken.... Jangan tinggalkan aku.]

Lagi ..., lagi-lagi mimpi ini.

Ingin mengejar seperti apapun, kakiku tetap terpaku dengan kegelapan di bawahku.

Sejauh apapun tanganku meraih, aku tak bisa menahan tangan suamiku yang tidak bisa ku gapai.

Sekeras apapun aku berteriak suamiku seolah tak mendengar panggilanku.

Ken tetap menjauh, meninggalkanku yang tidak bisa mengejarnya.

Bahkan, di dalam mimpi rasa sakitku masih sama.

Harapanku pun masih sama.

Hanya saja, aku bisa melihat serapuh apa tempatku berpijak. Pijakan yang suara retaknya bisa kudengar meski dalam dalam mimpi. Dan itu menakutkan, sangat menakutkan.

Krak! krakk! krak...

[JANGAN TINGGALKAN AKU, KEN. JANGAN PERGI!!]

"Ken!"

Aku yang bisa merasakan tenggorokanku kering, membuka mata di tempat asing.

Sofa di bawahku bahkan basah dengan keringat yang serasa menganak sungai.

Meski kepalaku pusing perutku tak sakit lagi. Bahkan, di dahiku ada plester penurun panas yang rasanya sudah lama di tempel.

'Dimana?' Aku berusaha bangun meski tubuhku masih terasa lemas. Hal terakhir yang kuingat adalah kakiku yang terasa berat setelah keluar dari lift juga dinginnya lantai karena aku terhuyung jatuh.

Setelah itu ... Aku tak ingat apapun.

"Nyonya?"

Ah, iya seseorang memanggilku seperti itu.

"Anda sudah bangun?"

Iya, suaranya juga sama persis.

"Nyonya? Apa anda merasa lebih baik?"

Keget, aku menoleh pada pemilik suara yang nyatanya bukan hanya dalam kepala. Lelaki dengan barisan gigi rapi terlihat cemas memandangiku dari tempatnya berdiri.

"Nyonya?"

Jam di pergelangan tangannya langsung membuatku yang masih merasa pening, bangun. Hari sudah lewat tengah malam. Ken pasti sudah pulang dan ia pasti cemas tak mendapatiku di rumah kami.

Aku harus segera pulang, tapi sebelum itu aku harus mengucapkan terimakasih pada lelaki yang masih terus memandangiku bahkan terkejut saat aku berdiri begitu cepat.

"Sa--saya harus segera pulang, terimakasih sudah menolong saya."

Aku langsung mengambil tasku yang ada di atas meja, dan hanya melihat sekilas sebungkus makanan juga topi kebesaran yang pinggirannya begitu lebar.

"Te-terimakasih." Aku menunduk.

Ia terlihat bingung tapi tetap mengantarku sampai pintu.

"Sekali lagi terimakasih, Tuan," ucapku menundukkan badanku sekali lagi sebelum keluar tanpa mendengar balasan lelaki dengan barisan gigi rapi yang terus menatapiku, seolah menahan kalimat yang ada di ujung lidahnya.

Kupikir aku harus berjalan jauh untuk mencapai rumah, tapi, nyatanya pintu rumahku tepat ada di depanku.

Apartemenku hanya berjarak beberapa langkah dari rumah lelaki yang namanya masih belum kutanyakan.

Bip! Bip!

Langsung kudorong pintu yang sandinya ada di luar kepala, "Ken? Maaf aku pulang telat, tadi aku pingsan. Kamu percaya itu? Aku pingsan tepat setelah aku keluar dari lift."

Aku tertawa sambil melangkah, tapi tak ada jawaban. Bahkan saat aku membuka lebar pintu kamar kami, "Ken?"

Aku memanggil suamiku yang tak menjawab begitupun saat aku membuka pintu kamar mandi, "apa ia belum pulang?" tanyaku menyentuh dahiku yang masih di tempeli bye-bye fever juga-- plester?

'Kenapa dahiku diplester? Apa aku terbentur saat jatuh tad-'

Tubuhku kaku seketika, bayangan Ken yang menemani wanita itu kembali terbayang.

Manekin yang menyamarkan beberadaanku kembali terlintas, dan aku yang diam di kamarku sendiri jadi sadar aku bicara sendirian sejak tadi.

Tidak ada Ken yang menungguku, tidak ada Ken yang cemas aku belum pulang meski sudah lewat tengah malam, tidak ada Ken yang akan ikut tertawa dengan cerita bodohku yang pingsan, tidak akan ada Ken yang cemas ataupun memelukku lalu tertawa bersamaku.

Aku hanya sendiri.

Karena malam Minggu ini suamiku sedang di rumah ibu seperti chatnya padaku siang tadi. 'Hah, Siapa yang sedang kamu bohongi, Arini? Siapa yang sedang kamu coba bohongi?'

*

Hari sudah begitu terang, matahari pun begitu tinggi. Tapi, Ken yang biasanya sudah pulang saat aku bangun tak juga masuk dari pintu yang terus kupandangi semalaman.

Ponsel yang terus kutunggu bunyinya sejak matahari muncul pun, hanya diam tak bergetar, tergeletak di atas meja.

Obat tidurku habis sehingga aku sama sekali tak bisa memejamkan mata.

Tubuhku lelah, pikiranku apalagi. Tapi, mataku sama sekali tak mau terpejam barang sedetik pun. Kesadaranku masih sangat terjaga meski aku merasa begitu lemah.

Tok! Tok!

Sampai ketukan itu membuatku yang duduk di tempat sama sejak semalam, bangun.

Aku semangat mengira itu suamiku. Tapi, saat sadar Ken tak akan mengetuk pintu rumahnya sendiri, semangatku langsung menghilang.

"Ya, Siapa?" Tanyaku lupa pada monitor yang seharusnya bisa kulihat.

"Paket makan siang untuk Nyonya Arini."

Aku yang tak merasa memesan makanan membuka pintu dan senyum wanita paruh baya ramah menyambutku.

"Tapi, saya tidak memesan makanan, Bu. Bisa cek alamatnya sekali lagi?"

Namun, senyum wanita paruh baya itu makin lebar, "terima saja, Nyonya, lagipula makanan ini sudah dibayar. Anda Nyonya Arini, bukan?"

Aku mengangguk. Meski ragu, wanita paruh baya itu berhasil meyakinkanku menerima paket makan siang yang rasanya kebesaran untuk kuhabiskan sendiri.

"Terimakasih, Bu," ucapku pada akhirnya.

"Sama-sama, Nyonya."

Kutatapi kotak makanan yang masih terbungkus rapi. Melihat bungkusnya, aku bisa menebak makanan di dalamnya adalah makanan yang saat lajang hanya bisa kubayangkan mengingat satu potongnya saja setara dengan uang jajanku selama satu minggu.

Dan ini? Berapa banyak rupiah yang dikeluarkan orang yang mengirimiku makanan juga, 'siapa?'

Ragu kuambil ponsel, setelah melihat jam sudah menunjukan waktu makan siang aku memutuskan untuk menelpon Ken.

Nada sambung yang terhubung membuatku berdebar, jantungku bertalu-talu untuk tiap detik yang berlalu, sampai suara manja itu membuat jantungku serasa berhenti.

"Halo, Arini, ya?"

Rasanya aku menahan nafas, bahkan memegang ponsel begitu kuat agar tak terjatuh.

"Halo?"

Suara manja itu terdengar lagi. Aku berusaha bersikap biasa, tapi suaraku tetap bergetar.

"Ha--halo, ini ponsel Ken, kan?"

"Ha ha ha, kamu lucu sekali, Arini."

Tawa bak duri itu terdengar. 'apa ia sedang mengejekku? Namun reaksi seperti apa yang harus kutunjukkan? Atau, harus bersikap seperti apa diriku?'

"Kamu menelpon Ken, bukan? Tentu saja ini ponsel Ken. Tapi, sayang ia sedang di atas."

'Di--atas apa? Apa maksudnya?'

"Oh, apa Ken lupa memberitahumu? Di rumah sedang diadakan acara syukuran. Kau tahukan, Rama lulus SNMPTN. Ibu membuat syukuran besar-besaran."

Aku tak tahu mana yang membuatku diam membisu. Acara syukuran Rama, adik ipar ku atau aku yang bahkan tidak tahu.

"Tapi, kenapa kamu tak datang Arini? Apa ibu tak mengundangmu? Apa hubungan kalian masih tak baik? Hei- KEN!?"

Suara sambungan yang terganggu terdengar bersama langkah kaki juga pintu yang ditutup.

Kurasa aku tak perlu bertanya apa yang terjadi saat suara gedoran pintu terdengar dari sambungan telepon yang kuletakan di atas meja.

"Arini? Halo? Yang? Kamu masih di situ kan? Yang? Ri?"

Aku hanya diam memandangi ponsel juga kotak bekal berisi makanan mahal yang ada di atas meja.

Rasanya ... aku lelah sekali, tapi mataku sama sekali tak mengantuk. Aku ingin tidur. Mungkin setelah tidur rasaku akan lebih baik.

Aku yang ingat obat tidurku sudah habis berdiri dari tempatku duduk, langsung meraih kunci mobil dan keluar dari rumah sepi, meninggalkan ponselku yang masih menyala dengan suara Ken yang terus terdengar.

Aku yang memenceti tombol lift tak sabar menunggu, meski baru berdiri beberapa detik.

Kupilih menuruni anak-anak tangga yang jumlahnya tidak sedikit, mengingat lantai tempatku tinggal adalah yang tertinggi.

Begitu sampai tempat parkir khusus penghuni, aku langsung masuk ke dalam mobil dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.

Namun, bukan apotik yang kutuju. Melainkan rumah megah yang terdengar ramai bahkan dari luar.

Pintu gerbang yang lebar terbuka membuatku bisa melihat sebanyak apa tamu yang datang. Obrolan hangat juga pujian terlontar untuk si anak bungsu yang akhirnya sudah lulus SMA.

Rama, anak nakal nan jahil itu terlihat kesal saat Ken mengusap kepalanya.

Aku bisa melihat tawa lebar dari semua yang hadir, terutama sang nyonya rumah yang terlihat begitu bangga pada putranya. Tidak hanya untuk sang putra bungsu, aku bisa melihat ia memuji si putra sulung yang terlihat malu. Sang kepala keluarga pun turut tertawa.

Tidak ada yang kurang dari apa yang kulihat.

Tawa.

Kebahagian.

Kebanggan.

Semua ada di sana.

Jika aku ada disana, apa mereka akan tetap tertawa seperti itu? Kurasa tidak. Dan itu menyakitkan untuk kuakui sendiri.

"Oh, darimana saja kamu, Nggit?"

Ucapan itu membuatku tertegun saat ibu mertuaku meminta wanita itu bergabung. Ia bahkan tak segan menyuruh wanita itu duduk di samping suamiku.

Tempat di mana seharusnya aku duduk.

Tapi, tempat itu memang tidak pernah untukku, bukan? Meski ada cincin yang melingkar begitu pas di jari manisku. cincin yang rasanya begitu berkilau siang ini sampai membuatku jadi samar bak bayangan yang terlupakan.

Aku terus berdiam diri memperhatikan tawa bahagia yang rasanya mengejekku, mengolok-olokku, menghinaku begitu nyata hari ini. Tawa suamiku, kedua mertuaku, orang-orang yang hadir, juga tawa wanita itu.

Sementara aku, hanya berdiri sendirian menatapi.

----

-----

-----

"Arini?"

Aku menoleh pada pemilik suara manja yang memotong jalan pergiku. Berdiri penuh kepercayaan diri yang rasanya tak lagi kumiliki.

Senyumnya terlihat begitu bersahabat.

"Kenapa hanya berdiri di situ, ayo masuk."

Aku hanya membisu pada ajakan ramah bak pemilik rumah yang menyentuh tanganku. Wajah dan sikapnya yang bersahabat sedikit berbeda dengan pandangan matanya yang terlihat mengejek.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu ingin merusak acara syukuran ini?"

Aku langsung melepaskan tangan yang di genggam Anggita. Tapi, rasanya ia bisa menebak apa yang akan kulakukan.

"Maaf, Arini, tapi melihat sebaik apa Tante Rossa padamu," Anggita melihat tampilanku dari atas sampai bawah. Ia tak menyembunyikan seringaian mengejeknya kali ini, "kurasa, jika tante Rossa melihatmu sekarang. Ia akan sangat malu."

Aku yang rasanya disadarkan bagaimana penampilanku yang bahkan tak mengenakan alas kaki, jadi makin diam dan menggigit bibir bagian dalamku keras.

Anggita benar, ibu mertuaku pasti akan senang sekali saat melihat tampilanku yang sama sekali tak pantas.

Namun, sekalipun aku berdandan dan memakai pakaian terbaikku, kurasa ibu tetap tidak akan menyukai kehadiranku.

Aku cukup sadar diri dan Anggita tahu itu.

"Tapi, ayolah masuk. Akan percuma kamu datang tapi hanya melihat."

"Tidak, sebaiknya saya pulang."

Aku tidak tahu bagaimana aku masih bisa tersenyum pada wanita yang sudah berbagi tubuh dengan suamiku. Tapi senyumku masih bisa tercetak bahkan aku ingat aku begitu sopan dan menunduk sebelum pergi.

"Tunggu!" seru Anggita membuatku berhenti melangkah meski tidak menoleh, "kamu tahu apa yang terjadi antara aku dan Ken, bukan?"

Deg!!

Jantungku berhenti berdetak, nafasku pun tercekat. Tapi, aku yang menoleh kebelakang memiringkan kepalaku, "memang apa yang terjadi antara kamu dan Ken?"

Aku bisa melihat wajah Anggita terkejut. Kurasa tidak hanya dirinya, aku pun kaget sendiri bagaimana suaraku bisa begitu tenang?

"Ti-tidak apa-apa, kok, Ri."

Aku hanya diam menatapi wanita penuh percaya diri di hadapanku.

"Ri, bagaimana kalau kita bicara besok. Aku libur dan kamu pasti punya banyak waktu luang, bukan?"

"Bicara tentang apa?"

"Well, besok kuberi tahu. Bagaimana? Bersedia?"

Aku seperti makan buah simalakama, menolak salah menerima juga salah.

Aku tak bisa membaca sedikitpun arti tatapan Anggita padaku. Kecuali satu, ia begitu percaya diri bisa mengambil apapun yang ia mau dan itu suamiku.

"Saya akan kabari kamu nanti," jawabku pada akhirnya.

"Kalau begitu aku akan menunggu, Arini."

Aku hanya bisa masuk mobil di bawah pengawasan wanita yang sudah berbagi ranjang dengan suamiku dan menyerah untuk rasa sakit di bagian perut sampai kuhentikan laju, jauh dari rumah mertuaku.

"Seharusnya aku makan sebelum keluar tadi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status