Share

BUAIAN RASA AMAN SEMU

Tetesan air yang menyentuh kulit wajahku terasa dingin. 

"Ng...," aku mengeluh dan suara tawa yang begitu kuhafal terdengar seketika diikuti pelukan yang membuat bibirku yang terasa kering, tersenyum dengan mata masih terpejam rapat.

Rasanya tubuhku lemas sekali.

Aku sama sekali tak bertenaga bahkan saat suamiku mengecupi bagian belakang kepala juga telingaku, karena wajahku tenggelam dalam bantal yang aromanya penuh dengan aroma khasnya.

"Jangan tidur lagi, sleepy head," protesnya yang kujawab dengan tawa pelan, rasanya mataku berat sekali untuk kubuka.

"Memangnya ini jam berapa? maaf aku tak dengar kamu pulang," ucapku masih membenamkan kepalaku yang rasanya pening.

Ia terdiam, lalu tertawa dan kecupannya kurasakan lagi. "Kamu masih mimpi ternyata," ucapnya membuat diri mengernyitkan dahiku di atas bantal empuk yang aromanya menenangkan. "Aku sudah bilang aku menginap di rumah ibu, bukan?" 

Mendengar itu aku langsung membuka mataku cepat. Secepat aku bangun dan itu membuatnya yang sedang memelukku terkejut. Matanya yang sudah kaget itu makin membulat saat memperhatikan wajahku yang diusapnya, "apa kamu menangis? kenapa?"

Aku hanya membisu, menatapinya yang penuh tanya. Potret pernikahan kami yang tergeletak di atas kasur juga sebotol air mineral yang masih tersegel membuat tubuhku kaku. 

"Yang? kamu kenapa?" 

'Aku kenapa?' ulangku berkali-kali dalam kepala, sampai kurasakan tubuhku ditarik dalam dekapan hangat yang tak terasa. Tanganku sama sekali tak bergerak kecuali meremas kuat sprei kasur kami. 

"Kamu kenapa, Yang? Kenapa menangis?" 

Suaranya yang terdengar pelan sedikit bergetar, ia terus memelukku yang tak membalas. Aroma shampo dan sabun yang kuhafal menyeruak dari ceruk lehernya yang kokoh.

Lelaki yang sedang memelukku ini begitu hangat, begitu penuh kasih, begitu bisa diandalkan, begitu bertanggung jawab, begitu pandai menyimpan apa yang baru kuketahui. 

Rasanya aku ingin mengatakan apa yang kulihat, apa yang kuketahui, apa yang kulakukan kemarin. Tapi, mulutku begitu Kelu sampai tak ada kalimat yang keluar, kecuali isak yang kembali kuperdengarkan.

Airmataku lolos begitu saja meski mulutku masih membisu tanpa kata.

Namun, kini aku tak menangis sendirian karena sumber tangisku mengusapi punggungku, berusaha menenangkan diriku yang hanya terus menangis dalam bisu.

'Tuhan, kenapa aku mencintainya sampai seperti ini?' 

Tanganku bergerak memeluk pria yang sudah membagi tubuh dan hatinya dengan wanita lain.

Kini, aku bahkan tak bisa mencium keringatnya yang pasti bercampur dengan wanita itu, karena aroma sabun dan sampo yang biasa kami pakailah yang menyeruak dari tubuhnya. Tubuhnya yang pasti sudah bertukar keringat juga cairan lain yang-!!

"Yang?"

Aku langsung mendorong suamiku yang terkejut, apalagi saat aku berlari cepat ke kamar mandi dan memuntahkan apapun yang ingin kumuntahkan meski yang keluar hanya air. Mengingat aku belum makan apapun sejak kemarin kecuali dua butir pil tidur. 

Suamiku ikut berlari menyusulku, ia mengusapi punggungku tapi rasa mualku makin menjadi sampai kudorong tangannya, "keluarlah, aku hanya pusing."

"Jangan main-main, Ri, kamu tidak baik-baik saja." 

"Aku akan baik-baik saja, Ken, please." 

Namun, suamiku tetap tinggal sampai perutku berhenti bergejolak. Ia masih Ken yang lembut, masih Ken yang bertanggung jawab, masih Ken yang kuingat. 

Tapi, masih Ken yang sama berarti selama ini aku hidup dalam ... "Ri?"

Aku terlonjak merasakan sentuhan tangan Ken yang besar di pipiku. Matanya memperhatikanku yang jadi diam, "pa--pakailah bajumu, Ken."

Suamiku--Ken tertawa pelan, kurasa ia bisa melihat wajahku menegang saat ia hendak menciumku, sampai ciumannya berahir mendarat di kening, "aku penasaran kenapa kamu menangis, Ri? Kuharap kamu mau cerita padaku nanti." 

Aku tidak menjawab, hanya menatap Ken yang senyumnya sama tapi terasa berbeda.

Punggungnya pun masih terlihat sama. Lebar dan bisa diandalkan. 

Namun, kenapa rasanya ada yang berubah dari penglihatanku? Kurasa aku tak akan pernah lagi melihat suamiku dengan penglihatan yang sama lagi. Tidak akan pernah lagi.

'Ken masih sama, hanya aku yang berbeda.'

Kutatapi pantulan diri dalam cermin sementara kran air menyala. Aku tidak pernah merasa diriku jelek, tidak sekalipun. Tapi, saat aku menatap manik mataku sendiri, rasanya aku bisa menemukan kekurangan yang biasanya tak kulihat.

Mataku kurang besar.

Hidungku kurang mancung.

Bibirku kurang seksi.

Pipiku kurang tirus.

Perutku kurang ramping.

Lenganku kurang kecil.

Tidak! tidak! tidak! 

'Mungkin aku kurang tinggi, mungkin aku kurang berisi, mungkin aku kurang putih, mungkin aku kurang--!'

Aku terkejut sendiri saat aku membandingkan diri dengan wanita yang bersama suamiku. Jika aku mau mungkin aku bisa berubah sepertinya dengan bantuan dokter.

Aku bisa merubah tampilanku dengan berbelanja dan menghabiskan uangku, meski mungkin aku tak akan bisa setinggi wanita itu karena cangkok kaki belum ditemukan. 

"ha-ha..ha...," aku tertawa! Aku menertawakan apa yang kupikirkan meski mataku kuyu seolah seluruh kehidupanku tersedot, menghilang entah kemana. 

"Yang?" 

suara panggilan itu membuatku kembali dari apapun yang kulamunkan, ketukan pelan di pintu membuatku sadar kakiku sudah kesemutan juga kebas, dan sebanyak apa tagihan PAM bulan ini nanti karena aku memutar kran sampai pol. 

Aku langsung membasuh wajahku, pura-pura tak mendengar ketukan di pintu. Setelah melepas seluruh pakaian yang kukenakan, aku berdiri di bawah shower dan menyalakan air dingin. Tubuhku kaget saat guyuran air menyapa. Aku bahkan sengaja membuka mata saat merasakan wajahku dijatuhi buliran air yang serasa memijiti kulit. 

Setidaknya, tubuhku terasa lebih segar saat aku selesai dengan higienisku, bukan? Tapi, aku lupa membawa handuk ataupun baju ganti. Hanya ada baju kotor dalam keranjang. Tanganku ingin meraih kemeja suamiku tapi tanganku berhenti seketika. 

Dalam tiap langkah aku berusaha menghilangkan pikiran burukku tak perduli pada tetesan air yang jatuh ke atas lantai. 

Aku keluar dengan rambut basah tanpa sehelai benang pun menutupi. Meski, mataku menatapi tumpukan pakaian di lemari yang lebar kubuka, pikiranku melayang jauh dan tanganku mengambil pakaian apapun yang ada di bagian paling atas. 

Kurasa, aku baru sadar suamiku ada di dalam kamar setelah aku selesai memakai baju. Ia diam di tempatnya duduk, melihatku seperti melihat mahluk asing yang baru pertama kali ia temui.

Aku yang juga diam di tempatku jadi lupa pada apa yang biasanya kami lakukan saat hari minggu.

Memoriku seolah terdistorsi berkeping-keping yang rasanya sulit kusatukan, sampai ia berdiri dan mengajakku sarapan. 

10.12. kami sarapan.

Dua tangkup roti, sebutir telur mata sapi, juga 2 sosis goreng. Sambil menggoreng telur aku berusaha mengingat apa telur yang biasa ia makan. 'Setengah matang ataukah matang?'

Nihil. Aku tak ingat. Aku sama sekali tidak mengingat telur macam apa yang biasa kami makan.

Kopi ataukah teh? Atau hanya air putih sebagai pelengkap sarapan? 

'Tuhan, aku sama sekali tak ingat hal-hal yang biasanya kulakukan. Apa pengaruh dua butir obat tidur masih menguasai sistem sarafku?'

Dahi Ken sedikit mengerut saat aku meletakan telur matang di hadapannya, "aku kelamaan memasak telurku, Ken."

Alasan paling mudah, bukan? 

"Tidak apa, Yang, ayo kita sarapan." 

Aku mengangguk dan duduk. Selama makan, aku hanya diam memakan sarapanku tanpa rasa. Dua butir pil tidur sama sekali tak mampu mengganjal perutku yang nyatanya masih bisa merasa lapar dan haus tak perduli dengan apa yang kurasakan. 

Aku lapar hanya tak berselera.

"Apa kamu tak mau menungguku?" tanya Ken saat aku menyuapkan potongan terakhir dari sosis yang kukunyah cepat lalu kutelan.

"Kamu ingin kutunggu?" 

Ah, wajah Ken terlihat kaget mendengar tanyaku.

Apa aku selalu menunggunya? Jawabannya iya, aku selalu menunggunya.

Aku seperti anjing setia yang akan menunggu Ken selesai dengan apapun. Belajar, bekerja, makan, mandi, aku bahkan akan menunggunya berbaring di ranjang kami sebelum benar-benar menata tubuhku di sampingnya. 

Aku selalu menunggunya. Dan itu juga yang akan kulakukan saat piringku sudah kosong.

"Apa kamu akan diam saja dan menatapiku, Ri?"

"Tak bolehkah?" tanyaku pada suamiku yang makan dengan senyum di wajahnya, "Ibu apa kabar?"

WAJAH Ken sedikit berubah sebelum menelan lalu menatapku, "baik, seperti biasa."

Aku hanya mengangguk saat melihat wajah suamiku terlihat tak nyaman, "apa Minggu depan kamu juga akan ke rumah ibu lagi?"

Mata Ken membesar sesaat.

"Aku tau ibu tak akan suka melihatku tapi, mungkin aku bisa mengiriminya opor dan sambal goreng kentang." 

"Ibu pasti akan menyukainya," ucap Ken meremas tanganku yang tak menemukan balasan apapun saat senyumnya yang kukenali nampak sama. 

Mungkin ibu tak akan benar-benar menyukai makananku. Tapi, aku tahu di rumah itu akan ada orang yang mau memakannya. Hanya saja, apa makanan yang kubuat akan benar-benar sampai di rumah mertuaku atau tidak? 

"Masih tak ingin bercerita kenapa kamu menangis?"

Aku merasakan tanganku yang diremas Ken rambut halusnya berdiri. 

"Suatu hari-- mungkin." Aku tak tahu kenapa bibirku bisa tersenyum saat melihat wajah Ken yang alisnya bertautan heran, "dan habiskan sarapanmu, Ken." 

Aku tidak tahu, apa yang kulakukan ini sungguh diriku atau hanya impuls semata. Tapi, yang manapun itu rasanya tidak penting lagi. Karena yang terpenting Ken ada bersamaku sekarang. Bukan bersama wanita itu. 

Namun, sampai kapan aku akan merasa aman?

Karena saat Ken jauh dariku, seluruh kesadaranku membayangkan ia sedang bersama wanita itu. Sedangkan aku duduk sendirian di rumah kami. Menunggu. Menunggu. Dan menunggu dalam bisuku yang menyesakkan. 

Sampai kapan aku akan merasa aman? Jika saat keluar, mataku akan berkeliling mencari keberadaan wanita itu dan suamiku. Aku merasa takut sendiri jika mereka yang sedang bersama melihatku. 

'Bodohnya diriku.' 

Dengan pikiran seperti itu, aku memilih berbelanja di tempat yang jauh dari rumahku tinggal. Melewati tol panjang yang berlawanan arah baik dari lingkunganku tinggal maupun lingkup kerja suamiku. Tapi, mataku yang sudah hafal siluet Ken tak bisa berpaling saat aku melihat bayangannya. 

Dan aku hanya bisa bersembunyi memperhatikan suamiku menemani wanita itu masuk ke dalam toko pakaian.

Aku, istrinya, hanya bisa melihat di samping manekin tak bernyawa yang seolah menertawakan diri dan pilihanku. 

Meski tak mendengar suara mereka, Ken terlihat memuji tiap kali wanita itu keluar dengan pakaian yang berbeda, tawanya ... 'apa Ken juga tertawa seperti itu saat bersamaku? Apa wajahnya berseri-seri saat menemaniku? Apa Ken terlihat bersenang-senang saat ia keluar bersamaku? Apa ia terlihat bahagia saat berada di sampingku?'

Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul silih berganti tanpa mau berhenti, meski aku hanya diam membisu di samping manekin yang bisa menyembunyikan diriku begitu rapi tak terlihat. 

Sampai suamiku menyambut uluran tangan lentik wanita yang terus ia gandeng. Bahkan, setelah keluar dari toko pakaian, pegawai toko pun tampak terkesima melihat keduanya.

Rasanya, aku bisa mendengar pujian seberapa serasi suamiku dan wanita itu. Sesabar apa suamiku menunggu wanita itu, sebaik apa suamiku mau memuji kecantikan wanita yang memang mempesona itu. 

"Sudah selesai?" 

"Tentu saja sudah kecuali kamu masih mau berkeliling."  

Mendengar suara manja itu Ken tertawa, tangannya mengusap kepala dari pemilik suara manja yang rasanya bak duri untuk telingaku. Bahkan, dua punggung yang menjauh dariku memancarkan kebahagiaan. Pembicaraan mereka terdengar begitu menyenangkan.

Sampai aku mencopot topi lebar manekin di sampingku lalu berbalik cepat saat Ken menoleh ke belakang.

Dadaku berdebar kencang, takut suamiku yang sedang bersama wanita itu menyadari keberadaanku. 

Menyedihkan sekali, bukan? 

------------

Terimakasih sudah baca ❤️ jangan lupa tinggalkan feedback kamu kalau mau 😆

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status