Aku duduk dengan lesu di salah satu bar stool di dapur rumah ayahku, kedua siku di atas counter dan kepala di tanganku. Aku memanfaatkan rumah yang sedang sepi ini dengan menangis tak terkontrol selama lima menit, semua percakapan yang kumiliki dengan Dean mengalir keluar seperti episode film. Aku mengambil tisu yang ada di atas kulkas dan kembali duduk sebelum membersihkan wajahku menggunakan tisu dengan susah payah.
Aku berbalik ketika aku mendengar langkah kaki dan melihat Kevin berjalan ke arahku dengan kerutan di dahinya lalu tanpa berkata apapun dia menarikku ke pelukannya.
Aku tidak bisa menahan luapan di dadaku yang membuatku bergetar dengan hebat. Aku merasa seperti gumpalan ingus dan air mata dan aku tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Kevin mengencangkan lengannya di sekitar ku dan semakin mendekatkan dirinya padaku, dengan lembut dia mengelus rambutku.
"Apa kau menangis karena Dean." Suaranya terdengar berat da
Beep. Beep. Beep.Apa itu?Napasku bergetar ketika aku mencoba untuk bergerak. Namun aku merasa seolah pegunungan berdiri di atas tubuhku, aku bahkan tidak bisa menggeser tanganku. Seluruh badanku terasa sakit dan kaku. Gelombang rasa sakit muncul di atas alisku, membuatku meringis. Aku mencoba untuk membuka mataku tapi tak kunjung berhasil. Kelopak mataku tertutup rapat.Beep. Beep. Beep.Suara menyebalkan itu lagi-lagi terdengar di telingaku dan kali ini, aku bisa menggerakkan kepalaku sedikit. Aku bisa mendengar suara detak jantung ku dengan jelas sekarang dan juga setiap udara yang meninggalkan paru-paru ku. Rasa pahit menyentuh mulutku yang kering. Tenggorokan terasa seperti kertas pasir.
Beep. Beep. Beep.Apa itu?Napasku bergetar ketika aku mencoba untuk bergerak. Namun aku merasa seolah pegunungan berdiri di atas tubuhku, aku bahkan tidak bisa menggeser tanganku. Seluruh badanku terasa sakit dan kaku. Gelombang rasa sakit muncul di atas alisku, membuatku meringis. Aku mencoba untuk membuka mataku tapi tak kunjung berhasil. Kelopak mataku tertutup rapat.Beep. Beep. Beep.Suara menyebalkan itu lagi-lagi terdengar di telingaku dan kali ini, aku bisa menggerakkan kepalaku sedikit. Aku bisa mendengar suara detak jantung ku dengan jelas sekarang dan juga setiap udara yang meninggalkan paru-paru ku. Rasa pahit menyentuh mulutku yang kering. Tenggorokan terasa seperti kertas pasir.
Aku tidak yakin apa yang membangunkanku. Kemudian aku menyadari kalau aku tidur miring, selimutku terkumpul di kakiku. Sesuatu memberitahuku untuk tidak membuka mataku, jadi aku tidak membukanya. Aku hanya mendengarkan, fokus, tidak yakin dan cemas,goosebumpsmerambat di lenganku. Hari masih malam: aku bisa mendengar burung hantu dari kejauhan, suara yang terdengar menyeramkan membuat rambut di belakang leherku berdiri. Namun ada hal lain. Orang lain. Di sana. Suara lemah napas seseorang. Aku mencoba menjaga alur napasku tenang dan teratur, tapi aku juga membuka sedikit mataku. Semenjak aku berada di tempat terkutuk ini aku selalu tidur dengan salah satubedside lampmenyala, jadi aku tidak punya masalah melihat di sekelilingku. Kecuali siapapu
Apartemenku gelap dan sunyi saat aku masuk. Aku mengunci pintunya, menyalakan lampu, dan pergi ke dapur berharap aku bisa menemukan alkohol. Aku mengambil sebotol whiskey dan meneguknya langsung dari botol."Minum sendirian di malam hari?" Aku menegang mendengar suara kakakku. Apa yang dia lakukan di sini?"Terakhir aku tahu itu bukan kejahatan." Aku membalas menatapnya keluar dari kegelapan."Ini sudah larut malam," Katanya dengan kasar. "Pergi tidur.""Aku sedikit terlalu tua untuk punya jam malam." Aku meneguk kembali whiskeyku. "Ini sudah jam tiga pagi, aku capek, dan aku tidak dalam mood yang bagus, Albert.""Aku bisa melihatnya," Kata Albert, nada suaranya kering. "Kau tidak dalam mood yang bagus sejak pesta pernikahan Misha. Sejak pacar -""Dimana istrimu?" Kataku enggan mendengar apa yang akan dia katakan."Sangat mulus," Katanya.
Aku memutuskan kalau aku tidak akan panik begitu aku dan pamanku sampai di rumah sakit untuk melihat keadaan Vanya. Untungnya tidak ada hal serius, hanya lecet dan memar.Selain fakta kalau keberadaan Cass masih tidak diketahui, aku harus tetap tenang karena aku yakin pamanku tidak punya kapasitas untuk melakukan itu sekarang. Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa padanya selain ketika Vanya menelponku dan bilang kalau Cass diculik. Malam itu juga aku menyeret Tino kesini untuk menemani Vanya dan sebagian dari diriku yang berharap kalau ini hanya prank tidak terwujud. Ini nyata dan aku mengkhawatirkan sahabatku.Aku membuka pintu ruangan perawatan Vanya untukku dan pamanku, dia langsung pergi ke sisinya dan Tino mundur untuk memberikan mereka sedikit ruang, dia berjalan ke arahku dengan iPad di tanganya.“Aku minta maaf, aku mencoba menyelamatkan Cassie tapi salah satu dari mereka memukulku hingga pingsan. Aku minta maaf.” Vanya berkata di sela
“Tidak, ayahmu ada di sini sejak kemarin, kau tetap di sini dan temani Vanya, oke?” Aku tidak menuggu balasan dari Misha, aku langsung pergi dari ruang perawatan dan menelpon Albert kalau aku akan datang.Aku menceritakan seluruh cerita dari awal padanya, aku menceritakan padanya apa yang kulakukan setelah kita berbicara waktu itu, aku memberitahunya tentang teleponku, aku memberitahunya tentang rekaman di jalan saat penculikan itu terjadi. Ya Tuhan, mengulang rekaman itu di kepalaku terasa lebih buruk dari pada melihatnya bersama Tino tadi.Polisi memberitahuku untuk menunggu mereka mengerjakan tugasnya dan aku yakin mereka akan melakukannya, hanya saja aku tidak yakin aku bisa menunggu selama itu. Aku takut setengah mati untuk Cassandra. Dia pasti sedang ketakutan, aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan membiarkan emosi mengendalikan diriku tapi di titik ini aku tidak yakin aku bisa menepatinya. Aku keluar dari lift dan masuk ke dalam
Ketika aku sampai di gym aku melihat truk paramedis, petugas damkar, dan polisi sudah sampai. Ketika aku melewati pintu masuk dua petugas polisi dan paramedis yang mendorong brangkar ikut masuk bersamaku. Aku terhenti ketika aku melihat banyaknya darah di lantai gym tepat ditengah-tengah petugas paramedis, di sana terbaring Misha, tidak sadarkan diri saat mereka memberikan pertolongan pertama.“Kemana kau akan membawa mereka?” Aku bertanya saat aku sudah menemukan cukup keberanian untuk mendekat.“Rumah sakit Mercy,” Salah satu petugas paramedis menjawab.Diantara aku dan Tino yang masih terdiam, mereka mengangkat Misha ke brangkar dan menghilang lewat pintu masuk bersamanya. Tino hendak pergi mengikuti mereka tapi aku memegang bahunya. “Aku ingin kau menceritakan apa yang terjadi padaku, setelah itu kau bisa pergi,” Kataku.“F*ck off, aku akan pergi sekarang juga,” Tino menggeram padaku. Dia mendor
“Lihat itu?” Gabe memberikanku binokular nya, seringaian miring terbentuk di wajahnya.Aku fokus pada sisi rumah dimana Tennyson berdiri di pintu terbuka, menatap wanita yang datang satu jam yang lalu kemudian pergi seperti setan mengejarnya.“Itu tidak terlihat seperti booty call.” Gabe bergumam. Tadi berjalan mulus dengan wine lasagna yang hangat dari oven. Hal yang hilang dari momen seperti itu hanyalah beberapa lusin mawar atau kotak beludru atau kotak yang berisi pakaian berenda hitam yang mahal yang akan mereka coba di kamar.“Yeah, aku sangat kecewa.” Kataku dengan main-main. “Bisakah kau fokus sebentar saja?”Gabe mendengus. “Apa yang kau ingin aku lakukan kalau begitu? Hanya berdiri diam di sampingmu mengawasi wakil walikota?”“Yeah, jika kau bisa.”“Kau tidak mengasyikkan.” Gabe menggelengkan kepalanya menatap ke dalam kegelapan malam.