Aku memasuki sebuah kamar dengan ragu. Ini kamar Samudra. Ia memintaku naik ke atas saat aku berada di situasi menegangkan. Situasi yang menurutku salah saat berada di antara Ken dan Mas Sam.
***
"Maysa, naiklah ke atas dan istirahat di kamarku. Kamarnya nomor dua, di sebelah sayap kanan." Walau masih terbengong kuturuti permintaannya.
"Aku ingin bicara dulu dengan Ken. Kopermu biar Bi Asih yang bawa. Kurasa ini tidak terlalu berat."
Apa? Bicara dengan Ken? Semoga bukan hal buruk seperti yang kupikirkan.
"Aku bawa sendiri, bisa," jawabku menolak dibawakan.
"Biar kubantu dulu, tidak elok Om menyuruh seorang wanita membawa koper sendiri, it--"
"Benarkah? Yang tidak elok itu dibawa May atau Bu Asih?" Mas Sam melipat tangannya
"Tidak Bu, sampai kapan pun Sam tidak akan menikahi Hanin. Itu hanya membuka luka lama tentang kematian Hanum."Kematian Hanum? Misteri apa lagi ini?"Bagus. Ibu tidak mau kamu terlalu dekat dengan Hanin. Yang lama hanya masa lalu dan jauhi wanita itu. Hormati ia sebatas mantan adik iparmu. Soal kematian Hanum, itu kecelakaan. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Sekarang yang kamu pikirkan adalah rumah tanggamu bersama May. Pikirkan bagaimana perasaan May waktu kamu marahi dia hanya soal foto ini jatuh? May itu wanita yang baik, karena itulah Ibu melamarkan dia untukmu. Waktu itu kamu setuju saja. Lalu sekarang, sikapmu bisa saja membuat May merasa tidak diinginkan."Masih suara Ibu yang berbicara. Kusandarkan badan ke dinding depan kamar. Sakit, rasanya hati ini sakit sekali mengetahui fakta sebenarnya.Tidak terdengar sahuta
"Bunda … Bunda kenapa kerudungnya nggak dibuka? Bulan belum pernah lihat rambut Bunda? Pasti cantik." Bulan bertanya saat kami kumpul di meja makan untuk makan malam."Kalau Bulan mau lihat datang saja ke kamar Bunda," ucapku menjawab pertanyaannya."Di kamar, Bunda lepas ya?" Bulan masih bertanya dengan mulut penuh."Bulan …, nggak boleh bicara kalau lagi makan," tegur Mas Sam."Iya, Sayang," timpalku, sambil mengacak rambutnya. Posisi Bulan berada duduk di tengah antara ku dan Mas Sam."Tapi May, kalau dibuka di luar juga nggak papa. Di dalam rumah ini perempuan semua. Kecuali di luar rumah ada tukang kebun dan pak satpam. Jadi masih aman menurut Ibu kamu lepas hijab. Pekerja laki-laki nggak pernah masuk ke dalam rumah."Aku hanya menganggukkan kepala menerima
"Sam … May!" Sayup kudengar ada suara yang memanggil kami disertai dengan suara gedoran pintu kamar. Dengan berat kubuka mata ini. Entah kenapa atas dadaku terasa berat juga, seperti ada sesuatu yang menindih dan terdengar deru napas di dekat telinga. Apa Bulan? Perasaan tidak seberat ini?"Mas Sam?" ucapku tercekat di tenggorokan. Ia tidur memelukku sedang Bulan malah bertukar posisi dengannya ada di ujung sana, masih tertidur dengan nyenyak."Mas, bangun. Sepertinya Ibu memanggil." Kugoyangkan lengannya pelan dengan berbisik takut Bulan terbangun."Biarkan saja, siapa suruh tidak mengawasi cucunya sampai masuk ke sini."Hah! Masih dengan mata terpejam ia menjawab ucapanku. Mas Sam sudah bangun atau berpura tidur? Sepertinya ia masih kesal karena malam tadi gagal gituan."Mas, nggak enak.
Lelah hanya tiduran di tempat tidur dan berselancar media sosial, kuputuskan membuka laptop melihat pekerjaan anak-anak didikku. Kebetulan hasil nilai mereka belum kurekap ke dalam buku jurnal.Ponselku berdering. Dengan gerakan cepat kuambil ponsel yang terletak di atas tempat tidur.Ibu Denok? Ada apa beliau menghubungiku? Apa ada hubungannya dengan Ayah?"Assalamualaikum, Bu. Iya ini May, kenapa Bu? Apa Ayah baik-baik saja?""Heh! Anak tak tahu diuntung, bukannya membuat adikmu naik jabatan dengan menikahi orang kaya, eh, malah dipecat." Gegas Ibu bicara dengan nada tinggi."Maksud Ibu?" tanyaku tidak mengerti."Jangan pura-pura tidak tahu. Pasti kamu kan yang meminta Sam untuk memecat Mala."Hah! Aku malah baru tahu ka
"Maaf, Bu. Semua keputusan May serahkan ke Ayah ataupun Mas Sam." Wajah Ibu dan Nirmala mendadak pias. Mungkin mereka tidak menyangka kalau akhirnya aku tidak membela mereka."Ini menyangkut masalah nyawa, soal keselamatan keluarga Mas Sam. Untung saja mereka tidak kenapa waktu itu. Benar tidaknya bukankah sudah ada bukti? Sudah ada yang mengaku kalau Nirmala lah yang menugaskannya melakukan kejahatan tersebut. Itu lebih dari cukup sebagai bukti dan saksi bukan?"Mas Sam mengangguk."Tidak, Kak May. Harusnya Kakak percaya sama aku--adik Kakak sendiri, bukannya lebih percaya sama orang asing yang bahkan cuma kedengaran suaranya doang!" Gegas Nirmala berucap, ia bahkan berdiri dan menatap tajam padaku.Aku ikut berdiri dan membalas tatapan tajamnya. Cara dia minta dibela tidak selaras dengan tindakan
"Kenapa, masih kepikiran Nirmala atau Ayah?" Mas Sam bertanya saat berada di mobil yang meluncur di jalanan.Mas Sam pintar juga menebak apa yang kupikirkan."Keduanya," jawabku tanpa menoleh ke arahnya."Soal Ayah nanti kuminta anak buahku mengawasi Ayah. Jadi tiap hari akan ada laporan yang masuk. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Tiap hari kamu juga bisa kunjungi beliau untuk memastikan keadaannya."Aku tersenyum mendengarnya, tidak menyangka kalau Mas Sam sepengertian ini."Kalau soal Nirmala. Sepertinya ada yang aneh. Apa adik tirimu itu suka percaya diri yang berlebihan?""Maksudnya?""Dia bersikeras tidak mengaku. Kalau soal rekaman tentangmu itu, dia ngaku kan tapi soal mencelakaiku tidak.
Bingung harus bagaimana diantara perkumpulan orang asing yang sama sekali tidak kukenal, kuputuskan duduk di salah satu kursi, meja nomor 15.Sambil menikmati lantunan musik yang mengalun indah yang dibawakan oleh seorang artis ibu kota. Kucoba bersikap sesantai mungkin. Sesekali mata awas mengitari setiap sisi ruangan. Beberapa orang berpakaian seragam serba hitam hilir mudik tampak sibuk. Mungkin mereka panitia atau karyawan yang mengurus pesta ini.Sampai tiba-tiba ada seorang wanita yang mendatangi dan menegurku."Maaf, Bu, meja ini sudah ada pemiliknya, silakan anda ke kursi deretan belakang. Di sana bebas untuk tamu dan pegawai biasa," ujar seorang wanita berpakaian seragam warna hitam dengan tag name Yessie."Oh, gitu ya. Iya, maaf," ucapku sambil beranjak bangun dan menengok ke belakang. Kursi belakang lumayan penuh,
"Maaf, Nin. Bukan aku mengusirmu, tapi … aku hanya ingin berduaan saja duduk dengan istriku di sini. Jadi tolong tempati kursi sesuai nama yang tertera di atas meja." Aku mengulum senyum mendengar ucapan Mas Sam. Untunglah Mas Sam mengusirnya. Aku tidak suka dengan wanita bibit PeLaKor. Masih teringat jelas perkataannya waktu itu kalau dia memaksa Mas Sam menjadikannya yang kedua. Kedua itu maksudnya istri kedua bukan? Apakah tidak ada laki-laki lain hingga harus Mas Sam? Dia cantik, muda, seharusnya mudah mendapatkan laki-laki lain yang pasti sama halnya seperti Mas Sam. Kenapa harus Mas Samudra-ku? Soal perkataannya barusan yang mengatakan Mas Sam bukan orang baik, kurasa hanya bohong belaka. Untuk apa ia mengatakan hal tersebut, sedang dia sendiri ingin berdekatan terus dengan Mas Sam."Tapi Mas, aku kan biasanya duduk selalu berdekatan denganmu. Seperti ini. Itu kan sudah biasa. Apa karena ada istrimu?" Keningku mengernyit mendengarnya.