Bingung harus bagaimana diantara perkumpulan orang asing yang sama sekali tidak kukenal, kuputuskan duduk di salah satu kursi, meja nomor 15.
Sambil menikmati lantunan musik yang mengalun indah yang dibawakan oleh seorang artis ibu kota. Kucoba bersikap sesantai mungkin. Sesekali mata awas mengitari setiap sisi ruangan. Beberapa orang berpakaian seragam serba hitam hilir mudik tampak sibuk. Mungkin mereka panitia atau karyawan yang mengurus pesta ini.
Sampai tiba-tiba ada seorang wanita yang mendatangi dan menegurku.
"Maaf, Bu, meja ini sudah ada pemiliknya, silakan anda ke kursi deretan belakang. Di sana bebas untuk tamu dan pegawai biasa," ujar seorang wanita berpakaian seragam warna hitam dengan tag name Yessie.
"Oh, gitu ya. Iya, maaf," ucapku sambil beranjak bangun dan menengok ke belakang. Kursi belakang lumayan penuh,
"Maaf, Nin. Bukan aku mengusirmu, tapi … aku hanya ingin berduaan saja duduk dengan istriku di sini. Jadi tolong tempati kursi sesuai nama yang tertera di atas meja." Aku mengulum senyum mendengar ucapan Mas Sam. Untunglah Mas Sam mengusirnya. Aku tidak suka dengan wanita bibit PeLaKor. Masih teringat jelas perkataannya waktu itu kalau dia memaksa Mas Sam menjadikannya yang kedua. Kedua itu maksudnya istri kedua bukan? Apakah tidak ada laki-laki lain hingga harus Mas Sam? Dia cantik, muda, seharusnya mudah mendapatkan laki-laki lain yang pasti sama halnya seperti Mas Sam. Kenapa harus Mas Samudra-ku? Soal perkataannya barusan yang mengatakan Mas Sam bukan orang baik, kurasa hanya bohong belaka. Untuk apa ia mengatakan hal tersebut, sedang dia sendiri ingin berdekatan terus dengan Mas Sam."Tapi Mas, aku kan biasanya duduk selalu berdekatan denganmu. Seperti ini. Itu kan sudah biasa. Apa karena ada istrimu?" Keningku mengernyit mendengarnya.
Aku terpaku di tempatku berdiri tidak jauh dari kursi Mas Sam. Tanganku mengepal kuat sampai bukunya memutih. Wajah menegang melihat pemandangan di depan mata.Di sana, tepat di meja khusus CEO, wanita licik tak tahu malu itu datang lagi dan duduk di samping Mas Sam. Anehnya Mas Sam tidak mengusirnya. Mereka seperti terlibat pembicaraan serius.Kesal, baru kutinggal sebentar ke toilet sudah begini, entah kalau di kantor, apa saja yang diperbuat wanita itu agar selalu dekat dengan suamiku.Tak bisa dibiarkan, aku harus bertindak.Aku berjalan dengan langkah cepat mendatangi mereka. Lalu, "hai! Wanita ganjen! Tak tahu malu. Ngapain lu duduk di samping suami gue? Mau ngerayu? Mau maksa Mas Sam jadiin lu istri kedua, gitu!" Dengan berkacak pinggang dan mata melotot kutatap Hanin tersebut.Hanin
Malam semakin larut, mata juga sudah lelah. Namun pesta belum juga berakhir. Aku yang dari awal duduk santai dan elegan mulai kehilangan semangat lalu menyandarkan dagu pada tangan yang bertumpu di atas meja. Sesekali mulut ini terbuka lebar tapi segera kututup dengan telapak tangan untuk menjaga kesopanan."Biru, mending ajak pulang istrimu. Kayaknya dia sudah ngantuk." Walaupun pelan dan sedikit berbisik, tapi masih dapat kutangkap ucapan Daniel pada Mas Sam.Mas Sam melirikku sekilas, lalu mengusap pucuk kepalaku."Capek ya? Siap-siap. Kita pulang," ajaknya."Tapi acaranya kan belum selesai," ujarku membantah. Aku tidak mau setelah mengantarku pulang, Mas Sam balik lagi kemari. Terus dekat-dekat dengan Hanin."Nggak papa. Aku kan CEO-nya di sini. Suka-suka aja
"Kalian berdua belum begituan kan?"Hah! Wajahku memerah mendengar pertanyaannya. Namun kepala spontan menggeleng menjawabnya.Ibu tersenyum, "Makanya itu, Ibu maksa kamu ke sini dulu. Buat nyiapin kamu malam ini."Menyiapkan aku? Hm … aku tambah malu. "Tapi Bu, May--" ponselku berdering dalam tas yang masih tersampir di bahuku."Cepat angkat, jangan sampai terdengar Bulan. Anak itu pendengaran tajam. Bunyi sekecil apapun bisa membuatnya bangun," titah Ibu membuatku bergerak cepat merogoh ponsel dari dalam tas.Mataku menyipit melihat siapa yang menghubungi.Ibu bertanya lewat sorot matanya."Mas Sam," jawabku memberitahu dengan menunjukkan layar pons
Semalaman aku tidak bisa tidur. Setelah malam panas itu, dan igauan Mas Sam yang memanggil nama Hanum membuat hati dan pikiran tidak tenang.Aku selalu kepikiran. Apakah Mas Sam melakukan hanya sebatas nafsu, bukan cinta? Makanya dia butuh objek bayangan agar bisa menikmati malam panas kami. Aku pernah mendengar kalau laki-laki bisa bercinta hanya mengandalkan nafsunya. Seperti itukah yang digunakan Mas Sam semalam?"Sayang? Ini baru jam tiga subuh dan kamu … sudah mandi?" Mas Sam terbangun dan bertanya dengan mata menyipit. Sepertinya ia masih keberatan membuka mata."May mau tahajjud," jawabku dengan berjalan pelan menahan ngilu di bagian bawah akibat malam tadi."Masih sakit?" tanyanya mungkin menyadari cara berjalanku. Ia duduk dan bersandar di bahu ranjang."Sedikit," jawabku.&
"Jangan berpikir yang tidak-tidak ya. Sudah kuakui dengan jujur kalau Mas tidak membayangkan wanita lain. Apa Mas menyebut nama wanita itu saat kita berhubungan?" Aku menggeleng."Setelah selesai dan Mas tertidur kelelahan.""Siapa nama wanita tersebut?" Akhirnya ia bertanya juga siapa nama wanita tersebut."Hanum."Tampak Mas Sam terkejut. Aku masih sempat mendengarnya mengulang nama yang kusebut barusan."Mas lupa. Mas tidak ingat apa-apa kalau pernah menyebut nama mamanya Bulan. Mas juga tidak tahu kenapa bisa mengingat nama itu saat tidur. Mas merasa tidak bermimpi tentangnya." Mas Sam seperti kebingungan bagaimana menjelaskan kenapa bisa menyebut nama mamanya Bulan.Kugenggam tangannya. "Sudahlah Mas, May percaya. May percaya dengan yang barusan Mas je
Itu Nirmala. Ya, aku yakin. Haruskah Kuhampiri?"Pak, berhenti!" pintaku pada pak sopir taksol. Kepala celingukan memastikan Nirmala masih di tempatnya."Berhenti di sini, Mbak?" tanya Pak Sopir heran, karena sedari awal sudah mengatakan tujuanku adalah pulang ke rumah."Sebentar Pak, mau menemui teman. Tunggu ya Pak!" pintaku memohon. Lalu segera berlari menyeberang jalan karena posisi Nirmala di seberang mobil taksol yang berhenti."Hei, kondisikan tangan." Kutepis tangan seorang pria yang hendak memegang bagian punggung Nirmala.Nirmala menoleh, ia tampak terkejut melihatku ada di belakangnya."Nah, yang ini oke juga. Siapa namanya Mbak? Temannya ya? Kok nggak bawa
"Iya, Mas? Assalamualaikum," sapaku terlebih dahulu. Sepertinya sesuatu yang penting."Maysa, kamu dimana? Mang Diman menjemputmu di sekolahan, tapi katanya sudah sepi. Mobil sempat mogok tadi. Kamu sudah pulang, Sayang?"Oh, pantas ditunggu tidak kunjung tiba, ternyata sempat mogok.Aku sudah masuk ke dalam mobil taksol dan memerintahkan Pak Sopirnya untuk jalan."Ini masih di jalan. Naik taksol. Nunggu Mang Diman lama sekali. Hampir sejam dan tidak ada kabar dari Mang Dimannya," jawabku menjelaskan."Iya, kamu belum dikasih nomor Mang Diman ya? Nanti Mas kasih biar mudah menghubungi. Jadi ini masih di jalan?""Iya," jawabku singkat."Ya sudah, hati-hati di jalan. Suruh Pak Sopirnya jangan ngebut."