" Soal ibu sambungku itu, Iya sih, aku tahu, aku paham. Cuma Nirmala itu sudah keterlaluan. Dua kali dia rebut calon suamimu, untung yang terakhir, nggak ya May, apa karena duda?"
Ingin sekali kubilang tebakan Linda salah. Justru ia sangat tertarik dengan yang duda ini. Mungkin karena tajir.
"Maaf, Nirmala itu bukan adik kandung Mbak May?" Mbak make up artisnya ikut nimbrung bertanya. Mungkin penasaran sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami.
Kuanggukkan kepala mengiyakan.
"Adik tiri, kenapa Mbak? Wajahnya beda ya?" tanya Linda menatap ke arah Mbak Cici-MUA untuk acara akadku ini. Kebetulan ia karyawan dari Candra Gunawan.
"Eh, nggak. Nggak papa kok. Iya, cuma nanya aja. Nah sudah selesai. Mau nangis pun nanti nggak bakal luntur Mbak May. Apalagi Mbak itu udah
Aku tak tahu apakah ini cuma perasaanku saja atau tidak. Hanin, wanita itu hanya menyalamiku seujung jari. Terkesan enggan untuk berjabat tangan serta memberikan ucapan selamat. Dia diam, melengos dan berjalan melewatiku begitu saja setelah menyalami Samudra.Ada yang membuatku sangat tertarik memperhatikannya. Wanita yang bernama Hanin itu terlihat akrab dengan Bu Fatimah. Mengherankan. Ia juga dekat dengan Bulan. Apa Hanin ini adalah nama yang sama dengan yang pernah diceritakan Nirmala waktu itu? Wanita yang dikabarkan sebagai saingan terberatnya di kantor memperebutkan Samudra. Aku penasaran sedekat apa wanita itu dengan keluarga samudra? Apa aku harus menanyakannya langsung pada suami sahku saat ini? Atau mencari sendiri jawabannya? Lagi pula lelaki sedingin es ini diam saja saat diperlakukan begitu oleh wanita itu, apakah memang biasa di kalangan mereka untuk cipika-cipiki saat menyapa atau memberi selamat? Padahal waktu bersalaman deng
Deg.Apa kata Nirmala tadi? Kembar?"Siapa?" tanyaku memastikan lagi apa benar, atau hanya salah dengar. Aku benar-benar terpancing."Hanin dan Hanum. Mereka itu kembar, Kak. Kembar identik, dan kurasa Pak Biru menganggap Bu Hanin itu pengganti Hanum, makanya mereka sangat akrab di kantor. Anaknya, itu si Bulan juga akrab banget kan sama Bu Hanin. Kakak tadi melihat sendiri kan?"Aku tersenyum getir. Benarkah? Tidak, Nirmala sepertinya ingin merecokiku-- dengan cerita bohongnya. "Mereka hanya teman kerja dan kerabat. Jadi wajarlah dekat. Aku tidak ingin mencurigai hubungan mereka, jadi jangan mempengaruhiku untuk menaruh curiga ke mereka, terutama ke Mas Samudra," bantahku, Mencoba menenangkan diri sendiri. Padahal hati diselimuti kecemasan."Ya, ya ya. Baguslah kalau Kak May tidak berprasan
Hanin.Wanita ini untuk apa datang ke kamar kami malam-malam? Apa dia tidak tahu kalau kami ingin istirahat? Lagipula darimana dia tahu kamar kami?"Hanin, kamu--" kutarik Mas Sam ke belakang dan aku yang di depan. Tampak kasar atau lancang tapi itu harus kulakukan."Maaf, ada apa ya? Kenapa bertamu malam-malam begini?" Dengan tegas kutanyakan hal ini pada wanita tersebut."Maysa, aku--""Masuklah ke dalam dan pasang pakaianmu, Mas. Tidak sopan menghadapi tamu dengan hanya handuk di badan." Aku menyela dengan cepat ucapan Mas Sam. Entah dapat darimana keberanianku memerintahkan hal itu padanya."Astaga." Gumaman lirihnya masih dapat kudengar. Mungkin tersadar, Mas Samudra bergegas berlalu ke dalam meninggalkanku dan Hanin di depan.&nbs
"Pergilah!""Ak--"Pintu kututup kembali. Tidak kugubris apa yang ingin disampaikannya. Entah kenapa air mata menitik dengan sendirinya. Aku tahu dia berbohong. Pekerjaan apa yang ingin dibicarakan tengah malam dengan wanita itu? Padahal kenyataannya aku sudah mendengar sekilas pembicaraan mereka tadi di depan. Seharusnya Mas Sam mengusirnya, bukan malah menemuinya dan meninggalkanku.Tak terdengar lagi suara Mas Sam dari balik pintu. Mungkin ia telah pergi. Harusnya ia memanggilku kembali memastikan kalau istrinya ini ikhlas mengizinkannya pergi. Apa caraku menjawab tadi tidak dianggapnya serius? Atau dia yang tidak peka?Aku menangis di dalam kamar mandi. Meratapi diri yang terabaikan oleh suami. Pernikahan apa yang sedang kujalani saat ini? Niat hati ingin membahagiakan Ayah ternyata harus kubayar mahal. Menikah dengan ses
Hanya semalam kami menginap di hotel ini, itupun tanpa terjadi apa-apa. Memangnya apa yang kuharapkan? Sudahlah, aku sendiri malu membayangkannya."Sudah siap?" Kuanggukkan kepala."Ada yang ketinggalan?" tanyanya lagi memastikan. Hanya gelengan kepala menjawab pertanyaannya tersebut."Kita pulang," ucapnya setelah itu. Aku diminta berjalan di depan dan dia di belakang dengan membawakan paper bag punyaku berisi pakaian. Sedangkan dia, tampaknya tidak membawa apa-apa."Kuantar pulang ke rumahmu," ucapnya setelah berada di mobil."Hah!" Terkaget, mataku melebar mendengarnya. Apa aku mau dipulangkan? Begitu?"Pamit dulu sama keluargamu, baru kita pulang ke rumahku," lanjutnya lagi menjelaskan. Mungkin dia paham arti keterkejutanku makanya
"Pergilah! Jangan sampai rekaman suaramu itu sampai ke telinga Ayah." Kusodorkan ponsel ke hadapannya. Menunjukkan rekaman suaranya yang pernah kujadikan senjata. Masih tersimpan dengan baik. Lagipula aku sudah muak menghadapi tingkahnya. Mungkin ancaman ini bisa membuatnya pergi."Lah, make ngancam segala. Kak May udah menikah, udah jadi istri orang, udah nggak gagal nikah lagi, ngapain masih mengancam. Kali ini aku tidak menggagalkan pernikahan Kak May, Kakak berhasil nikah, bukan?" Gegas ia berucap. Kok jadi dia yang sewot, bukannya takut dengar ancamanku."Ekhem." Suara dehaman seseorang mengejutkan kami berdua.Mas Samudra. Dia berdiri di depan pintu kamar. Mengumbar senyum tipis ke arahku.Astaga! Apa dia dengar semua yang kami bicarakan?"Sudah Sayang, siap-siapnya?" Mataku terbelalak
Aku terpukau saat masuk ke dalam rumah orang tua Samudra. Rumahnya mirip seperti rumah artis yang sering kulihat di tivi, besar dan megah. Barang-barang mewah dan cantik menghiasi setiap ruang dan sudut rumah.Tanganku masih digandeng erat Mas Sam. Ini yang kusebut sikapnya aneh. Kadang cuek, dan kadang seperti saat ini, perhatian. Aku takut di pehape(pemberi harapan palsu) olehnya, karena saat ini jujur mulai menyukai setiap perlakuan manis yang ia tunjukkan padaku.Mas Sam menuntunku masuk lebih dalam setelah melewati ruang tamu."Ayah …!" Bulan, anak manis itu berteriak memanggil Mas Sam dan berlari mendatanginya dari arah dalam. Mas Sam melepas pegangan tanganku dan berjongkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Bulan."Gimana malam tadi nggak rewel kan? Nggak nyusahin Nenek?" Bulan menggeleng. Ia mengalungkan ked
"May bingung Mbak, mau ngomong gimana?" jawabku sambil menggaruk tengkuk dan tersenyum kikuk. Sedangkan Ken tersenyum tipis tanpa suara. Sedari tadi dia hanya diam saja. Sesekali menatapku terlalu intens hingga takut mereka semua curiga."Santai saja May. Maaf, Mbak cuma pernah sekali ke sekolahan Ken, itu pun waktu dia kelas satu. Biasalah May, anak lelaki suka sekali buat masalah." Mbak Lis menggeleng-gelengkan kepala menatap ke arah Ken."May tahu siapa yang disukai Ken, Mbak penasaran seperti apa orangnya." Mbak Lis bertanya membuatku semakin berpeluh dingin. Meneguk ludah saja seakan tercekat di tenggorokan.Sudahlah Mah, jangan tanya Bu May, Ken malu. Lagipula kalau pun tahu, Bu May nggak peduli. Itu bukan urusannya. Iya kan?" Ken menjawab dengan masih menatapku."Memangnya Ken kalau di sekolah gimana, Maysa?"