"Kalian berdua belum begituan kan?"
Hah! Wajahku memerah mendengar pertanyaannya. Namun kepala spontan menggeleng menjawabnya.
Ibu tersenyum, "Makanya itu, Ibu maksa kamu ke sini dulu. Buat nyiapin kamu malam ini."
Menyiapkan aku? Hm … aku tambah malu. "Tapi Bu, May--" ponselku berdering dalam tas yang masih tersampir di bahuku.
"Cepat angkat, jangan sampai terdengar Bulan. Anak itu pendengaran tajam. Bunyi sekecil apapun bisa membuatnya bangun," titah Ibu membuatku bergerak cepat merogoh ponsel dari dalam tas.
Mataku menyipit melihat siapa yang menghubungi.
Ibu bertanya lewat sorot matanya.
"Mas Sam," jawabku memberitahu dengan menunjukkan layar pons
Semalaman aku tidak bisa tidur. Setelah malam panas itu, dan igauan Mas Sam yang memanggil nama Hanum membuat hati dan pikiran tidak tenang.Aku selalu kepikiran. Apakah Mas Sam melakukan hanya sebatas nafsu, bukan cinta? Makanya dia butuh objek bayangan agar bisa menikmati malam panas kami. Aku pernah mendengar kalau laki-laki bisa bercinta hanya mengandalkan nafsunya. Seperti itukah yang digunakan Mas Sam semalam?"Sayang? Ini baru jam tiga subuh dan kamu … sudah mandi?" Mas Sam terbangun dan bertanya dengan mata menyipit. Sepertinya ia masih keberatan membuka mata."May mau tahajjud," jawabku dengan berjalan pelan menahan ngilu di bagian bawah akibat malam tadi."Masih sakit?" tanyanya mungkin menyadari cara berjalanku. Ia duduk dan bersandar di bahu ranjang."Sedikit," jawabku.&
"Jangan berpikir yang tidak-tidak ya. Sudah kuakui dengan jujur kalau Mas tidak membayangkan wanita lain. Apa Mas menyebut nama wanita itu saat kita berhubungan?" Aku menggeleng."Setelah selesai dan Mas tertidur kelelahan.""Siapa nama wanita tersebut?" Akhirnya ia bertanya juga siapa nama wanita tersebut."Hanum."Tampak Mas Sam terkejut. Aku masih sempat mendengarnya mengulang nama yang kusebut barusan."Mas lupa. Mas tidak ingat apa-apa kalau pernah menyebut nama mamanya Bulan. Mas juga tidak tahu kenapa bisa mengingat nama itu saat tidur. Mas merasa tidak bermimpi tentangnya." Mas Sam seperti kebingungan bagaimana menjelaskan kenapa bisa menyebut nama mamanya Bulan.Kugenggam tangannya. "Sudahlah Mas, May percaya. May percaya dengan yang barusan Mas je
Itu Nirmala. Ya, aku yakin. Haruskah Kuhampiri?"Pak, berhenti!" pintaku pada pak sopir taksol. Kepala celingukan memastikan Nirmala masih di tempatnya."Berhenti di sini, Mbak?" tanya Pak Sopir heran, karena sedari awal sudah mengatakan tujuanku adalah pulang ke rumah."Sebentar Pak, mau menemui teman. Tunggu ya Pak!" pintaku memohon. Lalu segera berlari menyeberang jalan karena posisi Nirmala di seberang mobil taksol yang berhenti."Hei, kondisikan tangan." Kutepis tangan seorang pria yang hendak memegang bagian punggung Nirmala.Nirmala menoleh, ia tampak terkejut melihatku ada di belakangnya."Nah, yang ini oke juga. Siapa namanya Mbak? Temannya ya? Kok nggak bawa
"Iya, Mas? Assalamualaikum," sapaku terlebih dahulu. Sepertinya sesuatu yang penting."Maysa, kamu dimana? Mang Diman menjemputmu di sekolahan, tapi katanya sudah sepi. Mobil sempat mogok tadi. Kamu sudah pulang, Sayang?"Oh, pantas ditunggu tidak kunjung tiba, ternyata sempat mogok.Aku sudah masuk ke dalam mobil taksol dan memerintahkan Pak Sopirnya untuk jalan."Ini masih di jalan. Naik taksol. Nunggu Mang Diman lama sekali. Hampir sejam dan tidak ada kabar dari Mang Dimannya," jawabku menjelaskan."Iya, kamu belum dikasih nomor Mang Diman ya? Nanti Mas kasih biar mudah menghubungi. Jadi ini masih di jalan?""Iya," jawabku singkat."Ya sudah, hati-hati di jalan. Suruh Pak Sopirnya jangan ngebut."
POV Samudra"Menikahlah Sam, sampai kapan kamu menyalahkan diri sendiri dan menutup diri?"Aku hanya menatap wanita paling berhargaku itu sekilas, lalu kembali fokus ke piring. Berpura sibuk makan.Ini untuk kesekian kalinya beliau memintaku menikah. Padahal menikah atau tidak, yang penting kasih sayang untuk Bulan terpenuhi."Kamu ingat wanita yang dulu pernah menolong Ibu di jalan dan sampai mau mengantarkan Ibu pulang ke rumah?"Aku memicing mencoba mengingat. Lalu akhirnya kugelengkan kepala karena tidak bisa mengingat sama sekali."Kenapa?" tanyaku agar Ibu segera menjelaskan maksudnya."Ibu dengar dia gagal nikah, jadi Ibu rasa kamu bisa masuk sebagai penyelamat. Hitung-hitung balas budi."
Pov SamudraWajah itu, wajah putus asa. Baru kali ini kulihat seorang wanita berputus asa saat menduga calonnya bakal meninggalkannya lagi untuk kesekian kalinya. Tidak May, aku tidak sepengecut itu. Aku akan menepati janjiku sebagai seorang laki-laki. Bagaimanapun caranya. Entah aku harus datang dengan bersimbah darah pun akan kulakukan.Untungnya aku dan keluarga datang tepat waktu. Mobil yang kami tumpangi ada yang sengaja menabrak dari arah belakang dan samping. Untung saja tidak oleng. Kami semua yang berada di dalam selamat hanya mobilnya saja yang lecet parah. Aku tidak tinggal diam. Kuperintahkan orang kepercayaanku mencari tahu dan menyelidiki apa motif dua mobil itu menabrakkan dirinya ke arah mobil kami.Wajah ayah mertua seketika berubah saat melihatku datang. Mungkin pikirannya sama dengan May, acara akad nikah ini tidak terlak
"Ini, aku sudah mesan dua tiket, kamar dan akomodasi lengkap sudah siap, kamu nggak bisa nolak."Terkejut, Hanin datang menunjukkan dua tiket ke Bali, padahal sudah jelas aku menolak dari awal untuk pergi dinas dengannya."Nanti kuminta Firman yang gantikan aku. Kamu bisa pergi dengannya," tolakku."Sayangnya tidak bisa. Aku sudah buat janji dengan Pak Wilman soal meeting yang bakal dihadiri olehmu langsung Mas, kalau Mas tidak ikut dan tidak hadir di rapat itu maka kredibilitas perusahaan Samudra group dipertanyakan." Dengan entengnya Hanin mengatakan hal tersebut. Tanganku sampai mengepal kuat. Pena dalam genggaman ingin rasanya kupatahkan jadi dua. Keterlaluan Hanin. Untuk apa dia mengatur jadwal kerjaku sesuka hatinya."Rin, tolong masuk ke ruangan saya sekarang."&nb
Pov MaysarahMas Sam pulang setelah Maghrib. Padahal siang itu dia bilang akan pulang sore. Mungkin kesibukannya di kantor menyebabkan ia telat pulang. Aku harusnya memaklumi hal tersebut.Masuk kamar, Mas Sam diam tanpa suara. Dia melepas jas dan dasinya, dan meletakkan sembarang di tempat tidur. Sepertinya itu memang kebiasaan lelaki. Para teman guru sering mengeluh kebiasaan suaminya yang lempar sana, taruh sini barang pribadi sesuka hati. Seperti handuk basah yang akan diletakkan di atas tempat tidur. Namun sejauh ini, Mas Sam selalu meletakkan handuk di tempatnya.Setelah melepas pakaian, ia berlalu masuk ke kamar mandi. Aku cuma dilihatnya sekilas. Apa jangan-jangan Mas Sam marah padaku soal siang tadi?Padahal kan bukan salahku. Mana kutahu ada Ken di rumah ini. Dia memang dekat dengan Bulan dan aku tidak mungkin melaran