Di istana kerajaan Rawamerta hari itu datang beberapa tamu utusan dari kerajaan Jantara. Mereka datang ingin melaporkan pesan dari raja mereka kepada Prabu Bagaskara.
Demi mendengar laporan dari para prajurit Jantara, Prabu Bagaskara segera bangkit dan mengajak maha patih serta pengawal untuk keluar menghampiri sang tamu tak diundang itu.Dengan sangat hormat, Prabu Bagaskara menyambut hangat kedatangan para prajurit utusan dari kerajaan Jantara. Ia langsung mempersilahkan tamunya untuk duduk di pendapa istana."Aku persilahkan kalian untuk duduk!" ucapnya dengan tersenyum lebar.Empat orang prajurit tersebut menjura dan membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada sang raja. "Terima kasih, Tuan Raja," ucap mereka serentak.Para pelayan pun langsung menyajikan jamuan makan dan minum bagi para tamu-tamu tersebut. Prabu Bagaskara tampak bersikap ramah tidak seperti biasanya yang selalu menampakkan sikap jumawa di hadapan siapa saja.Setelah itu sang rNamun dalam perkelahian yang semakin sengit, perhatian Jasena dan Sumadra lebih tertuju kepada keempat lawannya. Terkadang, mereka kehilangan pengamatan diri, sehingga Jasena pun sedikit mengalami luka akibat sabetan pedang dari para prajurit tersebut. Meskipun demikian, mereka sangat menyadari keadaan sebenarnya. Maka oleh sebab itu, mereka pun segera menempatkan posisi dan terus meningkatkan alur serangan terhadap empat prajurit tersebut. "Kita harus menyatukan kekuatan!" bisik Sumadra. "Baiklah," sahut Jasena. Kini mereka pun berkelahi secara bersamaan melawan empat orang prajurit itu. "Binasakan saja mereka! Jangan dikasih ampun!" teriak salah seorang prajurit yang merupakan pimpinan di antara empat orang prajurit itu. Mereka langsung menyerang dengan sabetan pedang yang begitu deras mengarah ke tubuh Jasena dan Sumadra. Namun, kelincahan mereka dalam mengolah pedang. Ternyata dapat dimentahkan oleh pergerakan Jasena dan Su
Sore itu, Wanara tengah kedatangan tamu. Mereka langsung diizinkan oleh seorang murid padepokan, untuk duduk di pendapa menunggu Wanara dan ketiga gurunya yang tengah berada di barak tempat tinggal Ki Ageng Jayamena. "Silahkan, Ki sanak duduk dulu di pendapa! Aku akan memanggil Raden Wanara dan guru untuk seger menemui Ki Sanak," kata anak muda itu bersikap ramah terhadap dua tamu tersebut. "Terima kasih, Andika sudah mengizinkan kami masuk ke area padepokan ini," jawan salah seorang di antara dua tamu itu tersenyum lebar. "Iya, Ki Sanak. Tunggu sebentar! Aku akan memanggil Raden Wanara dan guru!" Kemudian, mereka langsung melangkah menuju pendapa. Sementara murid tersebut segera melangkah menuju barak tempat tinggal Ki Ageng Jayamena untuk memberi tahukan tentang kedatangan dua pendekar itu. Tidak berselang lama, Wanara sudah tiba di pendapa bersama Ki Ageng Jayamena. Sementara itu, Ki Wirya Tama dan Resi Wana tidak ikut. Mereka masih ada uru
Pagi itu, Santika dan Sekar Widuri sedang berbincang dengan Wanara di sebuah saung tempat khusus Wanara bersantai. Kedua gadis berparas cantik itu sudah mulai akrab dan tidak bertikai lagi.Hal tersebut membuat Wanara jadi bahagia. Pasalnya, kedua gadis yang ia cintai sudah mulai rukun dan tidak saling berselisih paham lagi, semua itu berkat nasihat dari Resi Wana kepada cucunya–Santika. Ia sedikit banyaknya sudah memberikan nasihat-nasihat yang baik terhadap Santika cucu semata wayangnya."Ternyata mereka sudah berdamai, Terima kasih Dewata agung," desis Wanara dalam hati.Kedua bola matanya terus memandangi wajah kedua gadis yang tengah duduk bersebelahan di hadapannya.Wanara menghela napas dalam-dalam. Lalu berkata lirih, "Kakang merasa bahagia hari ini," desis Wanara sambil berbaring di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu.Raut wajahnya tampak berseri, dan memancarkan sinar cerah, secerah langit pada saat itu. Santika dan Sekar Wid
Ketiga orang tua itu, sudah sepakat bahwa mereka menyarankan kepada Wanara untuk menunda niat baiknya itu dalam mempersunting Santika dan juga Sekar Widuri."Kami harapkan, kalian tidak tersinggung dengan keputusan kami ini," ucap Ki Wirya Tama ikut angkat bicara.Wanara mengangkat wajah sambil tersenyum. "Tidak, Guru. Kami sangat mengerti dengan maksud dari kalian," kata Wanara.Setelah selesai membahas mengenai hal tersebut, Santika dan Sekar Widuri kemudian langsung pamit kepada tiga pria senja itu, dan mereka pun pamit juga kepada Wanara untuk kembali ke barak dan beristirahat sejenak.Setelah berlalunya kedua gadis cantik itu, Wanara langsung menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke arah guru-gurunya itu. Ia langsung mengutarakan niatnya kepada ketiga orang tua tersebut."Mohon maaf, Guru. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan kepada kalian," ujar Wanara berkata penuh hormat dan bersikap ajrih di hadapan ketiga gurunya."Katakan s
Raksasa itu tertawa. Kemudian berkata, “Sebentar lagi kau akan mati!"Di antara suara tertawa makhluk bertubuh raksasa itu. Suaranya terdengar menggema dan membuat bulu kuduk merinding.Namun, tidak berlaku bagi Wanara. Ia tetap bersikap tenang dan tidak merasa gentar sedikitpun, meskipun menghadapi makhluk yang berwajah menakutkan.Tiba-tiba saja, suara tertawa itu semakin lama semakin banyak entah dari mana asal mereka. Akan tetapi, yang terlihat hanya satu sosok siluman saja.Wanara benar-benar telah terpengaruh oleh banyaknya suara tertawa itu. Karena itulah maka pemusatan perlawanannya menjadi terganggu."Jangan banyak tertawa! Lawan aku jika kau benar-benar berani!" Dengan suara lantang Wanara menantang makhluk itu.Dengan demikian, makhluk tersebut kembali melancarkan serangan ke arah Wanara. Ia terpaksa meloncat mundur dan bahkan kadang-kadang dengan serta-merta ia menyabetkan pedangnya sekadar untuk membebaskan diri dari tekanan siluman i
Setibanya di pendapa istana, Sande Braja langsung mempersilahkan Wanara untuk duduk, "Duduklah, Pendekar! Kau tenang saja, aku ini siluman, tapi aku sangat menghargai bangsamu!" kata Sande Braja lirih."Terima kasih, Raja." Wanara tersenyum. Lalu duduk di hadapan Sande Braja.Setelah itu, Sande Braja segera memerintahkan prajuritnya untuk mengambilkan pedang dan juga memerintahkan prajuritnya segera menjamu tamunya itu. Dengan demikian, kedua prajurit itu langsung melaksanakan tugas dari sang raja."Kau tunggu! Aku akan menunjukkan pedang buatan rakyatku. Jika kau minat, kau boleh membawa pedang itu!" kata Sande Braja.Wanara tidak banyak bicara, ia hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Dalam benaknya tumbuh berbagai pertanyaan terkait dengan ucapan raja siluman itu.Tidak lama berselang, dua prajurit itu sudah kembali ke pendapa. Salah satu dari mereka membawa makanan dan minuman serta buah-buahan segar yang hendak disuguhkan untuk Wanara. Sem
Wanara tersungkur, wajahnya menyentuh tanah dan keningnya pun sedikit terluka karena terbentur batu kecil. Kemudian, ia segera bangkit dan langsung berhadap-hadapan dengan kedua pendekar itu. "Hai! Kalian ini siapa? Kenapa tiba-tiba menyerangku?" bentak Wanara merasa kesal terhadap dua pria berjanggut tebal itu. Mereka tertawa dan tidak mengindahkan perkataan Wanara. Seakan-akan, mereka memberikan kesan penghinaan terhadap diri pendekar muda itu. Salah seorang dari kedua pria itu pun berkata, "Pendekar bau kencur sudah berani membentak kita." Pria itu menoleh ke arah kawannya. Lalu, keduanya tertawa terbahak-bahak, "Ha ... ha ... ha...." Kekesalan dalam diri Wanara yang kemudian mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, dalam diam-diam ia memusatkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Dikerahkannya segala kemampuan dan ilmu yang ia milikk, agar ia segera membungkam mulut kedua pendekar itu. Itulah sebabnya, Wanara seakan-akan s
Hanya sekejap saja, Wanara sudah tiba kembali di padepokan. Begitu menapakkan kakinya kembali di halaman padepokannya, bukan main senangnya Wanara ketika melihat Sumadra dan Jasena tengah tekun melatih calon-calon prajurit dari pasukan Padepokan Dewa Petir.Lantas Burma yang tengah duduk di pendapa padepokan pun berteriak, ketika melihat kedatangan Wanara, "Hai, Jasena, Sumadra! Lihat, calon raja kita sudah datang!"Sumadra dan Jasena serta semua murid padepokan langsung menyambut hangat kedatangan pimpinan mereka sambil mengelu-elukan nama Wanara.Dengan gagahnya Wanara kemudian melangkah lebar menuju pendapa, lalu duduk di sebelah Burma."Perjalanan yang cukup melelahkan," desis Wanara menarik napas dalam-dalam."Syukurlah, Raden. Ternyata kau baik-baik saja," sahut Burma tersenyum lebar.Beberapa murid kemudian langsung menyuguhkan air minum dan makanan kesukaan Wanara. Mereka sangat antusias dalam menyambut kedatangan sang pemimpinnya it