Setelah ibu tiada, rasa hampa merajah seperti anak panah. Di rumah yang besar, hanya ada aku, kedua anak kami, bapak mertua yang sibuk dan jarang di rumah seperti Mas Danu, serta dua orang pembantu. Ibu meninggal setahun lalu karena kanker darah. Hanya 4 tahun kebersamaan kami.
Ibu sengaja merahasiakan penyakitnya karena tidak ingin mempengaruhi kesehatan bapak mertua yang mempunyai riwayat penyakit jantung. Sungguh, ia panutanku dalam ketegaran dan kesabaran.“Tahu kenapa aku memilihmu dibanding Sekar?” tanya beliau sebelum pergi untuk selamanya.Hanya gelengan kepala yang kuberikan. Merasa diri ini begitu bodoh karena tidak tahu apa-apa.“Karena kamu perempuan sejati. Yang tidak hanya mementingkan penampilan namun juga meresapi arti pengabdian. Wanita memang harus banyak mengalah setelah menikah. Membunuh ambisinya demi membangun surga dalam rumah. Berkorban siang dan malam untuk melayani kebutuhan keluarga. Wanita sejati adalah rumah ternyaman untuk pulang. Semenjak engkau di sini, ibu merasa tidak pernah sendirian, meskipun bapak sering bepergian.”“Ibu yakin dirimu bisa menggantikan ibu di rumah ini. Menciptakan iklim sejuk yang meneduhkan setiap penghuninya. Kamu mampu merawat Danu, merawat bapak, merawat anak-anak dengan cinta kasih, yang orang lain mungkin hanya bisa mengisinya dengan kekesalan dan keluhan.”“Ibu puas memiliki kamu sebagai menantu. Ibu juga rida pada baktimu kepada kami sebagai mertuamu, juga pada suamimu. Orangtuamu di surga Insya Allah bangga memiliki putri sepertimu, calon bidadari surga yang banyak menabung kebaikan saat di dunia. Semoga Danu bisa melihat ketulusanmu, dan jatuh cinta karena budi pekertimu. Jika Danu belum bisa, berilah waktu. Sabar. Karena hanya kesabaran yang jadi modal langgengnya sebuah hubungan,” pesannya.‘Bukan hanya sabar... tapi juga cinta, Bu. Aku sudah terlalu cinta pada Mas Danu. Sudah merasa begitu beruntung bisa menjadi istrinya dan melayani kebutuhannya setiap waktu,’ jawabku dalam hati. Malu jika dunia tahu diriku adalah si dungu yang berpegang hanya pada satu cinta, satu untuk selamanya. Namun setahun setelah ibu meninggal, bukannya semakin dekat, jarak antara aku dan Mas Danu kian terbentang. Bahkan Mas Danu sudah dua bulan ini memiliki hobi pulang larut malam, kadang hingga dini hari.***Duar!!! Suara petir menyambar-nyambar. Anak-anak kami, yang baru berusia tiga dan satu tahun merapatkan tubuhnya kepadaku.“Bunda kami takut!” kata mereka kompak. Kudekap mereka dengan erat. Berlianku. Harta terindah yang Mas Danu beri untukku.“Cup, cup, cup, sayang. Bobok lagi ya.” Lalu aku membacakan selawat, membacakan doa-doa, hingga mereka terlelap dalam pelukan.Sementara melihat mereka tertidur, air mataku kembali bergulir. Lagi-lagi teringat malam itu, malam pertama kami.Malam itu, seolah semesta memberi dukungan. Hujan deras seperti malam ini. Ketika semua terjadi, setelah berminggu-minggu menunggu.Seperti biasa, jika Mas Danu pulang, maka aku akan menyuguhkan teh hangat. Itu pesan ibu mertua sehari setelah aku resmi jadi istrinya. “Temani dia makan. Sambut dia dengan minuman dan senyuman. Bawakan tas kerjanya, siapkan perlengkapan mandinya. Juga pilihkan dia baju yang nyaman. Pelayanan yang baik seorang istri kepada suami adalah pahala di sisi Allah. Tidak terganti dengan apa pun. Pelayanan itu juga yang akan selalu dirindukan oleh suami saat jauh dari istri. Jadikan suamimu nyaman dan puas dengan pelayananmu, maka dia akan memberikan segalanya untuk membalas kebaikanmu.”Kebiasaan yang sudah berjalan sebulan ini, juga telah menjadi rutinitas bagi Mas Danu. Maka kami menjalaninya seperti kewajiban, tanpa ada perasaan yang bermain di sana. Tentunya hanya perasaanku saja yang terlibat pada setiap lelahku melayaninya.Sesuai pesan ibu mertua, malam ini aku berhias secantik mungkin. Aku tak bisa berhenti berharap ada keajaiban yang membuat Mas Danu tergerak memilikiku seutuhnya. Harapan itu tidak sia-sia. Entah bajuku yang super menggoda, entah parfumku yang menariknya, atau tubuhku yang nyaris terbuka. Namun malam itu, aku mencoba merekam dalam memoriku sedemikian rupa. Karena malam itu, aku jadi miliknya seutuhnya, meski dengan luka. Ya... luka batin karena direnggut tidak dengan cinta, melainkan tanpa kata, dengan gerakan yang kasar dan penuh hasrat penaklukan. Padahal itu untuk pertama bagiku, dan kuharap juga pertama baginya. Namun tak ia hiraukan kesakitanku, seolah ‘aduh’-ku adalah ‘aduh; yang lain di telinganya.Setelah pergumulan panjang itu usai, ia tidur lelap. Paginya, seolah malu dengan semua yang terjadi di antara kami, ia pergi tanpa sarapan atau pamitan.Ibu mertuaku kembali menginterogasi. “Bagaimana? Apakah sudah?” tanyanya saat kami berkebun.Aku mengangguk dengan muka merah. Masih bisa kurasakan nyeri yang teramat ngilu di antara dua paha. Bukan malam penuh kebrutalan yang kuharapkan, namun itulah yang kudapatkan. Keberuntunganku, berserah sebagai tawanan untuk raja yang telah menaklukkan.Ibu tersenyum pahit. “Jadi manjur. Syukurlah.”“Maksud ibu?”Ibu menghirup nafas, menghempas beban di hati. “Laras... pernikahan itu bukan hanya ikatan di atas kertas. Itu adalah janji yang terpatri di depan saksi. Saksinya bukan hanya penduduk bumi, namun juga penduduk langit. Salah satu tujuan menikah adalah melanjutkan keturunan, jika kamu tidak pernah disentuh olehnya, bagaimana tujuan itu akan tercapai? Suamimu berdosa, kamu pun merana. Ibu terpaksa membubuhkan obat penambah gairah pada minumannya untuk memacu Danu. Ibu harap nanti, setelah tahu rasanya, Danu tak perlu dipacu lagi.”Mataku terbelalak. Jadi karena itu Mas Danu berubah. Dari yang tadinya membatu, berubah liar dan ganas. Apakah cara ini benar? Tidak, bagiku itu salah. Karena itu meninggalkan trauma.Aku takut kejadian terulang, bahkan hingga beberapa minggu kemudian. Lalu kabar yang ditunggu satu keluarga besar pun menggema. Ya, aku hamil. Itulah hamil yang penuh keajaiban. Lewat satu sentuhan, semua perubahan terjadi. Mas Danu mulai perhatian. Bukan padaku, tapi pada janin yang kukandung.***“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa