Share

Permintaan Maaf

“Maafkan aku Laras. Malam itu, entah ada apa dengan diriku. Namun aku begitu menginginkannya. Jika bukan padamu, pada siapa lagi kusalurkan?” ucap Mas Danu saat mengantarku kontrol kandungan.

Aku terdiam. Pasti ia menyesal, karena melakukan sesuatu di bawah pengaruh obat. Rahasia itu terus kusimpan hingga ibu meninggal.

“Laras, jika kamu menginginkan sesuatu, katakan saja. Kamu sudah berkorban untuk ibuku. Merawatnya sedemikian rupa. Bahkan aku, anak tunggalnya, tak bisa setelaten kamu untuk merawat ibu,” ujar Mas Danu setelah anak pertama kami lahir.

Aku tengah sibuk mengurus bayi satu tahun, namun tak abai pada ibu mertuaku yang sakit keras akibat sel kanker menggerogotinya.

“Apa lagi yang kuinginkan? Selama Mas di sini, itu sudah cukup.”

Pria tampan itu menunduk.

“Mungkin, kamu ingin memperoleh kebebasan?”

Itukah yang bermain di benaknya?

Aku menggeleng halus. “Tidak Mas, bahkan sampai mati, aku ingin mati sebagai istrimu. Aku senantiasa berdoa, kelak Mas bisa memperlakukanku selayaknya suami kepada istri.”

Kulihat air mukanya berubah. Terlihat rasa bersalah.

Sekeras apapun dia berusaha, aku sadar, aku bukan seseorang yang didambakannya.

***

Anak kedua kami lahir setelah ibu wafat. Kala itu, Mas Danu yang berduka berat, kupeluk erat. Air matanya tumpah ke dadaku. Membuat muara yang lama menggenang, akhirnya melaju ke samudera indahnya.

Tak bisa kulupakan malam kedua kami, yang seharusnya terjadi pada malam pertama. Mas Danu memperlakukanku dengan lembut. Mungkin sejak itulah, keberadaan Mas Danu jadi candu bagiku. Trauma hilang, berganti senang saat ia datang. Meski aku tahu, nafkah batin itu sebatas pemenuhan hasrat baginya. Namun bagiku, itu adalah awal cinta buta ini bermekaran.

Saat aku mengandung anak kedua, aku mulai memberanikan diri bermanja-manja padanya. Lantas Mas Danu menarik keras garis batas, agar aku berhenti melakukan hal-hal seperti itu. Karena hal-hal seperti itu, hanya membuatnya merasa bersalah dan terbebani.

“Aku menghargaimu karena kamu ibu anak-anakku. Menghargaimu karena kamu menantu pilihan ibuku. Menghargaimu karena kamu wanita yang baik dan tulus. Tapi jangan berharap lebih. Jangan menggangguku dengan pesan-pesan singkatmu. Jangan menggangguku dengan rengekan manjamu. Jangan menggangguku dengan hasratmu. Aku tak punya waktu. Aku sibuk bekerja dan perasaanku padamu masih sama seperti dulu kala.”

Hancurlah hatiku untuk kesekian kali. Kapan aku bisa menghuni hatinya? Semenjak itu, aku berhati-hati dengan semua sikapku. Tak ingin membebani atau mengganggunya dengan perhatianku yang dirasanya percuma. Meski aku masih sama, melayani setiap kebutuhannya dengan paripurna. Tak ingin kudengar ia mengeluhkan pelayananku, karena aku terlalu takut kehilangannya.

***

Hari-hari yang suram seakan tak pernah bosan menaungi rumah tangga kami. Setiap kucuci bajunya, ada aroma parfum wanita lain menempel di sana. Jika kulihat teleponnya berbunyi, ada satu nama misterius di layar gawainya. Mawar. Belakangan aku tahu, Mawar itu adalah Sekar. Wanita yang dicintai suamiku, sejak dulu kala.

Bagaimana jika dia memilih bercerai demi Sekar? Apakah aku siap menjadi single parent tanpa dia sebagai tulang punggungnya? Apakah aku siap kehilangan suami semaskulin dia, yang dengan melihatnya tidur di sisiku saja, telah menerbitkan kelopak-kelopak bunga? Apakah aku siap hidup tanpa bisa menyentuhnya, menghirup aroma tubuhnya, tenggelam dalam senyumnya, atau membeku dalam tatapannya. Ternyata aku tak bisa. Membayangkan itu saja sudah habis seluruh tenaga. Remuk tak bersisa. Kehilangan dia dalam beberapa hari saja untuk alasan kerja sudah terlalu sulit dan sakit bagiku. Apalagi kehilangan untuk selamanya.

***

“Laras. Maafkan aku. Sudah lima tahun kita bersama. Tapi aku belum mampu membahagiakanmu,” kata Mas Danu malam ini sambil menggenggam jemariku. Ini ulang tahun pernikahan kami yang kelima. Apakah sudah saatnya? Saat ia akan belajar mencintaiku seutuhnya? Apakah ketulusanku telah mampu menyentuh hatinya?

“Sudah saatnya kita berpisah, Laras. Aku akan melepasmu agar kau bisa mengejar bahagia,” ujar Mas Danu dengan paras berteruhkan duka.

Langit seolah runtuh. Bumi seolah terbelah. Ke mana aku harus lari dan bersembunyi kini? Seharusnya, makan malam ini menjadi makan malam yang romantis. Seharusnya, aku bisa menduga kenapa ia mengajakku keluar makan malam berdua untuk pertama kalinya. Seharusnya, aku di rumah saja. Seharusnya aku terlahir tuli, agar tidak ada kata-kata yang bisa melukaiku dengan hebatnya.

“Jangan ada kata pisah, Mas,” pintaku sambil menahan air mata. “Percayalah, aku bahagia! Aku bahagia sebagai istrimu. Aku bahagia jadi ibu anak-anakmu. Aku bahagia karena memiliki keluarga setelah nenek tiada. Aku tak mau berpisah Mas. Jika memang harus berpisah, biarlah kematian yang memisahkan.”

Bulir-bulir bening menetes tanpa bisa dicegah. Ratusan malam dingin tak mengapa, asal kami bisa selalu bersama. Dengan begitu, aku bisa menanam harapan bahwa di kemudian hari, Mas Danu bisa mencintaiku pada akhirnya.

“Aku sudah memiliki seseorang Laras. Seseorang yang selama ini menghuni hatiku. Seseorang yang selama ini menungguku. Karena aku telah berjanji, suatu hari akan jadi milik dia seutuhnya,” ungkapnya.

Tidak!!! Aku berharap ia merahasiakan fakta itu dariku, selamanya. Aku sudah tahu, namun tak ingin tahu darinya. Biarlah aku pura-pura tak tahu, asal dia tetap di sisiku.

“Aku tak ingin tahu siapa yang saat ini di hatimu, Mas. Namun di hatiku, hanya ada Mas Danu. Dari pertama dan kuingin selamanya.”

“Aku telah mengkhianatimu, Laras. Bagaimana bisa kamu memaafkan itu?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Hartati
cinta memang seindah memaafkan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status