Cinta ini adalah cinta buta, yang tak memandang kurangnya, hanya fokus pada lebihnya. Cinta ini adalah cinta buta, cinta yang selalu memaafkan meski berulang kali terluka. Cinta ini adalah cinta buta, yang selalu menerima meski terus berurai air mata. Cinta ini adalah cintaku untuknya, suamiku, pusat gravitasi di hidupku. Dialah sumber kekuatanku untuk bisa tegar mencinta, meski belati ditusukkan ke dada.
***
Setelah ia pergi, air mata bergulir di pipi. Aku tahu kenapa Mas Danu sering pulang telat padahal jam kantornya hanya sampai sore. Bahkan aku tahu, ke mana ia menuju. Namun aku tak berani menegurnya, apalagi menanyakan hal itu. Karena aku terlalu takut mendengar pengakuannya. Di mana hatiku jika yang kutakutkan ternyata terbukti? Aku takut mendengarnya berkata, ia tak mencintaiku dan hanya mencintai Sekar. Sementara aku istrinya, Larasati, hanya wanita yang dipilih ibunya.
Malam-malamku dingin. Sering aku tidur bersama kedua anak kami yang masih balita, sementara Mas Danu tidur di kamar lainnya. Ia tak pernah membangunkanku jika aku ketiduran. Ia hanya akan mengecup kedua anak kami pelan, lalu keluar perlahan ke peraduan. Walaupun aku rindu dan selalu menunggu setiap waktu. Namun aku menahan semua itu, demi keharmonisan rumah tangga kami.
Lagi-lagi air mataku bergulir. Merasa sepi dan rindu hebat, pada dia yang setiap hari kulihat.
***
“Jangan terlalu berharap padaku Laras. Seperti yang sudah kubilang sebelum menikah, hatiku telah kuberikan wanita lain. Kamu hanyalah korban. Salah kamu mau berkorban untuk ambisi ibuku. Padahal kamu bisa saja menolak sehingga pernikahan ini tak perlu terjadi.”
Mendengar itu, aku terdiam. Bagaimana aku bisa menolak jika menikah dengan dia adalah anugerah terindah? Wajah tampan Mas Danu yang bersih dan teduh, membuat hati setiap wanita ingin berlabuh. Senyumnya yang ramah saat menyapa, membuat siapa saja terpesona. Sudah lama rasa ini terpendam dalam diam, hingga takdir menyatukan. Ya, aku wanita beruntung, yang dilamar ibunya untuk dijadikan mantu. Padahal aku hanyalah seorang gadis yatim piatu yang diasuh nenekku.
Berbeda jauh dengan Sekar, yang bagai mawar mekar. Dia cantik, pintar, berpendidikan, dan kaya. Setara dengan Mas Danu dari sudut manapun. Namun, ibu Mas Danu malah memilihku, menghendakiku. Ada apa padaku yang membuat ibu Mas Danu terpikat, sementara Mas Danu tak sedikit pun menaruh minat pada wanita dengan paras biasa, pendidikan ala kadarnya, bahkan latar belakang keluarga tak punya. Diriku gadis papa yang mendapat keberuntungan menikah dengan seorang pangeran dalam semalam.
“Laras, belum juga?” tanya ibu mertuaku yang baik hati, setelah hampir sebulan aku resmi menyandang status menantu. Aku menggeleng lemah. Tahu ke mana pertanyaan itu dituju.
Di hadapan semua orang, kami seperti sepasang suami istri pada umumnya, tidur bersama. Namun Mas Danu tidak mau menyentuhku. Ia memilih tidur memunggungiku. Ia sibuk berkirim pesan pada seseorang yang jauh di mata namun dekat di hati. Aku hanyalah gundik, yang tak menarik untuk dilirik.
“Sudah pakai baju-baju yang ibu belikan?” tanya mertuaku lagi, saat aku membantunya memasak di dapur.
“Sudah, Bu,” jawabku sambil menahan tangis. Telah kukesampingkan semua malu. Berpakaian dengan aneka kain kurang bahan. Menonjolkan ini itu. Menyemprotkan wewangian di sana sini. Bahkan tersenyum setiap waktu meskipun hujan air mata yang ingin datang setiap menyambut pangeran yang senantiasa bermuka masam.
“Mustahil pria normal tidak menyukainya. Bener kamu pakai?” Seolah tak percaya, kini ibu menatap dengan penuh selidik. Mencari kebenaran di bola mataku yang mendadak basah. Matanya mendeteksi ke dalam tubuhku. Lalu ia menarikku ke dalam kamarnya, memintaku membuka baju. Meski risih dan bingung, namun kulakukan demi baktiku pada ibu mertua yang telah membantuku melewati berbagai kesulitan sejak balita.
“Tidak ada yang kurang dari tubuhmu. Kulitmu juga halus, mulus tanpa cela. Lalu kenapa Danu tidak berhasrat menikmatinya?” ia bergumam sendirian, dengan wajah berpikir yang semakin menyayat harga diri ini. Apalagi yang bisa membuat seorang pria mengabaikan seorang wanita jika bukan karena sudah ada orang lain yang memilikinya? Mungkin, Mas Danu bukan hanya mencintai Sekar, namun telah menyerahkan jiwa raganya pada wanita itu. Wanita yang telah lama ia kencani.
Air mata merembes jatuh. Diusap halus oleh ibu mertua. “Sudah, walaupun ini tidak mudah. Danu berhubungan dengan Sekar sejak kuliah. Memang sulit memutuskan jalinan yang telah lama terbuhul. Tapi sebagai istri sah, kamu tidak boleh kalah. Jadi jangan menyerah membuat Danu jatuh cinta padamu.”
Ah, ibu... wanita mana tidak terluka saat tidak diinginkan suaminya? Wanita mana sanggup menanggung penderitaan, tidak diinginkan di malam pengantinnya? Untuk siapa wanita menjaga kesuciannya, jika bukan untuk dipersembahkan bagi lelaki yang telah mengucap ijab qabul atas dirinya?
Aku selalu mandi dengan bersih sebelum menyambut Mas Danu. Memakai wangi-wanginya, dan berganti baju seksi demi membangkitkan naluri lelaki, namun dia selalu menepis. Seolah aku bangkai yang tak enak dipandang, apalagi disantap.
Ibu mertua mendekatiku, yang masih tertunduk lesu setiap paginya.
Padanya, satu per satu cairan bening meluncur jatuh ke lantai. Ia sentuh kedua pundakku. “Sudah, jangan menangis. Ini salah ibu, memaksa Danu menikahimu. Jadi ibu akan bantu. Malam ini, berdandanlah bak bidadari. Siapkan diri untuk malam zafaf-mu. Insya Allah, Danu akan mendatangimu.”
Entah itu hiburan, entah itu prediksi. Bagaimana ibu tahu apa yang terjadi di balik dinding kamar kami? Namun sebagai menantu yang berbakti, petuah itu tetap kuturuti.
***
Setelah ibu tiada, rasa hampa merajah seperti anak panah. Di rumah yang besar, hanya ada aku, kedua anak kami, bapak mertua yang sibuk dan jarang di rumah seperti Mas Danu, serta dua orang pembantu. Ibu meninggal setahun lalu karena kanker darah. Hanya 4 tahun kebersamaan kami.Ibu sengaja merahasiakan penyakitnya karena tidak ingin mempengaruhi kesehatan bapak mertua yang mempunyai riwayat penyakit jantung. Sungguh, ia panutanku dalam ketegaran dan kesabaran.“Tahu kenapa aku memilihmu dibanding Sekar?” tanya beliau sebelum pergi untuk selamanya.Hanya gelengan kepala yang kuberikan. Merasa diri ini begitu bodoh karena tidak tahu apa-apa.“Karena kamu perempuan sejati. Yang tidak hanya mementingkan penampilan namun juga meresapi arti pengabdian. Wanita memang harus banyak mengalah setelah menikah. Membunuh ambisinya demi membangun surga dalam rumah. Berkorban siang dan malam untuk melayani kebutuhan keluarga. Wanita sejati adalah rumah ternyaman
“Maafkan aku Laras. Malam itu, entah ada apa dengan diriku. Namun aku begitu menginginkannya. Jika bukan padamu, pada siapa lagi kusalurkan?” ucap Mas Danu saat mengantarku kontrol kandungan.Aku terdiam. Pasti ia menyesal, karena melakukan sesuatu di bawah pengaruh obat. Rahasia itu terus kusimpan hingga ibu meninggal.“Laras, jika kamu menginginkan sesuatu, katakan saja. Kamu sudah berkorban untuk ibuku. Merawatnya sedemikian rupa. Bahkan aku, anak tunggalnya, tak bisa setelaten kamu untuk merawat ibu,” ujar Mas Danu setelah anak pertama kami lahir.Aku tengah sibuk mengurus bayi satu tahun, namun tak abai pada ibu mertuaku yang sakit keras akibat sel kanker menggerogotinya.“Apa lagi yang kuinginkan? Selama Mas di sini, itu sudah cukup.”Pria tampan itu menunduk.“Mungkin, kamu ingin memperoleh kebebasan?”Itukah yang bermain di benaknya?Aku menggeleng halus. “Tidak Mas, bahkan sampai mati, aku ingin mati se
“Aku selalu bisa memaafkanmu, Mas. Bukankah kamu sudah tahu itu? Berapapun banyaknya air mata yang kau pinta dariku, aku rela. Akan kuberi semua yang kupunya dengan sukacita.” Walau aku sadar, aku tak punya apa-apa.“Kenapa harus menyiksa diri? Kita berhak bahagia. Namun, kita tidak akan bisa bahagia jika terus bersama.”“Bahagiaku jika ada di sisimu. Mas tak perlu melakukan apa-apa. Cukup izinkan aku terus di sisimu. Itu sudah lebih dari cukup.”“Jangan memaksa, Laras! Mari kita akhiri saja.”Aku menggeleng kuat-kuat. Air mata terus terburai. “Apa salah ku, Mas? Kenapa kamu tak mengizinkanku? Jika Mas ingin menikahi dia, nikahilah, Mas. Tapi aku tak mau bercerai darimu!”“Kenapa kamu sebodoh itu, Laras? Wanita mana yang sanggup dimadu?”“Jika itu satu-satunya jalan agar aku bisa mempertahankan pernikahanku, maka aku sanggup, Mas. Akan kulewati setiap badai demi keutuhan rumah tangga kita.”Bagiku madu itu lebih baik dar
Dia melihat padaku, bangkit berdiri, tersenyum dan memberi salam dengan menundukkan kepalanya singkat. Kenapa ia bisa santai menghadapiku, sementara aku langsung panas dingin gara-gara kedatangannya. Apakah ia sedang meninjau istana yang akan jadi singgasananya? Seketika aku takut dan berharap semua yang ia lihat hanyalah keburukan, sehingga ia tak berhasrat merenggut apa pun dari kami.Mengerahkan segenap kekuatan yang ada, kuingin tegar menghadapi apa pun sebagai konsekuensi tanggung jawabku sebagai istri, ibu, serta menantu yang membuat mertuaku bahagia di ujung menutup mata. Aku tak boleh lemah ataupun goyah, karena kebahagiaan anakku dipertaruhkan. Juga demi wasiat mertua agar aku bertahan menghadapi setiap cobaan.“Maaf mbak, aku datang pagi-pagi sekali. Bisakah kita bicara sebentar? Ini penting,” pintanya dengan suara yang merdu mendayu.Sekar Diandrasukma memiliki semua yang diinginkan seorang pria pada wanita. Bagaimana aku bisa mencegah Mas Danu berhenti mencintainya, jika w
Sekar menggelengkan kepala. Kini raut wajahnya memucat. Barangkali ia tak menyangka aku akan berkata demikian.Kata-kata itu, adalah kata-kata yang sering bergema dalam pikiranku selama ini. Akhirnya kumuntahkan pula kepada biangnya. Seseorang yang mengancam keharmonisan rumah tanggaku. Seandainya harus kalah, aku ingin kalah setelah ikhtiar maksimal. Aku tak akan menyerah begitu saja, apalagi jika ada hak-hak anakku yang terbawa.Aku berjuang bukan hanya untuk hatiku yang selalu merindu, namun juga untuk hati putra putriku yang membutuhkan orangtuanya bersatu.Sekar pamit pulang dengan wajah tertekan. Tampak air mata menggantung di wajahnya yang mendung. Mungkin dia datang untuk menakuti, memancingku agar marah dan meminta cerai dari Mas Danu. Padahal perceraian adalah hal yang paling kubenci. Tak akan terjadi, meski untuk itu aku harus terbakar api.***Mas Danu pulang dengan raut kusut. Bajunya semrawut. Ada beban menggumpal di dadanya yang tidak bisa ia curahkan padaku, istrinya.
Mentari pagi ini, seolah enggan bersinar. Berganti pekatnya tetesan air mata yang terpaksa kusembunyikan di balik senyuman.Mas Danu masih terlelap. Di hari libur, ia banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak-anak. Mengukir kenangan bagi dua balita yang menjadi tumpuan harapan, pewaris masa depan.“Bu, dipanggil Tuan Besar.”Bapak mertuaku bukan tipikal orang yang banyak bicara. Selama menjadi menantunya, tak banyak kata yang ia lontarkan untuk menyapa atau menasihati dengan aneka hikmah kehidupan. Hubungan bapak dengan Mas Danu, juga tak semesra hubungan Mas Danu dengan kedua anak kami. Bapak adalah orang yang banyak merenung, banyak berpikir, serta banyak berkegiatan di luar rumah. Mungkinkah, bapak merasa kurang enak badan sehingga membutuhkanku untuk merawatnya? Mengapa beliau memanggilku?Perlahan, kupenuhi panggilan bapak mertua di teras samping rumah. Tempat di mana ia melihat ikan-ikan piaraannya di kolam. Berenang lincah menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Secangkir weda
“Mbakyu... senang akhirnya bisa bertemu lagi denganmu. Aku penasaran banget, bagaimana seseorang bisa bertahan pada cinta yang menyakitkan. Coba ajari aku?” canda Caca, saat akhirnya aku menghubunginya. Ia datang bertandang kala Mas Danu pergi bekerja.Tersenyum masam mendengarnya. Bagaimanapun ... bagi orang lain, aku hanya wanita bodoh yang menempel pada pria yang sama sekali tak peduli bagaimana perasaanku ini.“Mbak, jangan khawatir. Kita make over mbak ya, jadi dalam sebulan ini, kita buat Mas Danu benar-benar melihat mbak dengan tatapan yang berbeda.” Imbuh wanita dengan lesung pipi manis ala Pretty Sinta.“Apakah cukup dengan mengubah penampilan saja?” Jika iya, rasanya sia-sia. Secantik apapun diriku berdandan, tak akan mampu menyaingi kecantikan Sekar Diandrakusuma.“No.. No.. No..” Caca menggeleng. “Enggak dong. Bapak sudah memberikan posisi buat mbak bekerja di perusahaan. Mbak akan terlihat jauh berbeda setelah bekerja. Wawasan mbak akan kian terbuka. Mbak juga akan terlih
Tugas di kantor bapak mertuaku bener-benar pekerjaan yang ringan. Bisa dibilang aku tidak sungguh bekerja. Tugasku sebagai resepsionis di meja depan. Menyapa orang datang dan pulang. Di sela-sela kerja, aku diberi tugas untuk memperdalam kemampuan berbahasa Inggris dan komputer. Sebelumnya aku sudah minta ijin Mas Danu. Ia diam. Tak mengiyakan juga tak melarang. Namun, protesnya langsung dilayangkan ke mertua.“Kenapa bapak ikut campur urusanku dan Laras?”Aku yang hendak ke ruang kerja bapak mengantar wedang jahe, mendengar percakapan mereka dengan dada berdebar kencang. Rupanya Mas Danu keberatan. Kenapa tak langsung ia sampaikan padaku?“Bukankah sudah waktunya bapak ikut campur? Setelah kamu mencoba bermain gila dengan wanita itu di tempat kerja?”“Hubunganku dengan Sekar, tak akan jadi begini jika kalian tak ikut campur.”“Kalian? Lancang omonganmu Danu. Ibumu bisa menangis mendengar ucapanmu!”“Bukankah aku sudah mengorbankan cintaku untuk berbakti pada ibu? Setelah ibu tiada, m