Share

Wanita Berhati Baja
Wanita Berhati Baja
Penulis: Nailin RA

Cinta Buta

Cinta ini adalah cinta buta, yang tak memandang kurangnya, hanya fokus pada lebihnya. Cinta ini adalah cinta buta, cinta yang selalu memaafkan meski berulang kali terluka. Cinta ini adalah cinta buta, yang selalu menerima meski terus berurai air mata. Cinta ini adalah cintaku untuknya, suamiku, pusat gravitasi di hidupku. Dialah sumber kekuatanku untuk bisa tegar mencinta, meski belati ditusukkan ke dada.

***

“Aku pulang telat nanti, makan malam duluan saja. Kalau ngantuk langsung tidur. Enggak usah nunggu aku,” pamit Mas Danu, suamiku. Aku hanya mengangguk kelu. Mencium tangannya seperti biasa dan membukakan pintu pagar untuknya.

Setelah ia pergi, air mata bergulir di pipi. Aku tahu kenapa Mas Danu sering pulang telat padahal jam kantornya hanya sampai sore. Bahkan aku tahu, ke mana ia menuju. Namun aku tak berani menegurnya, apalagi menanyakan hal itu. Karena aku terlalu takut mendengar pengakuannya. Di mana hatiku jika yang kutakutkan ternyata terbukti? Aku takut mendengarnya berkata, ia tak mencintaiku dan hanya mencintai Sekar. Sementara aku istrinya, Larasati, hanya wanita yang dipilih ibunya.

Malam-malamku dingin. Sering aku tidur bersama kedua anak kami yang masih balita, sementara Mas Danu tidur di kamar lainnya. Ia tak pernah membangunkanku jika aku ketiduran. Ia hanya akan mengecup kedua anak kami pelan, lalu keluar perlahan ke peraduan. Walaupun aku rindu dan selalu menunggu setiap waktu. Namun aku menahan semua itu, demi keharmonisan rumah tangga kami.

Lagi-lagi air mataku bergulir. Merasa sepi dan rindu hebat, pada dia yang setiap hari kulihat.

***

Malam pertama kami, bukan malam yang indah layaknya pasutri lain di muka bumi ini. Malam itu menyisakan pengalaman pahit. Mas Danu yang kala itu merasa marah harus menikah dengan wanita yang tak diinginkan, memilih mengabaikanku. Meskipun aku telah bersiap untuk malam, yang kuharapkan jadi malam terindahku. Malam penyerahan dan kepasrahan.

“Jangan terlalu berharap padaku Laras. Seperti yang sudah kubilang sebelum menikah, hatiku telah kuberikan wanita lain. Kamu hanyalah korban. Salah kamu mau berkorban untuk ambisi ibuku. Padahal kamu bisa saja menolak sehingga pernikahan ini tak perlu terjadi.”

Mendengar itu, aku terdiam. Bagaimana aku bisa menolak jika menikah dengan dia adalah anugerah terindah? Wajah tampan Mas Danu yang bersih dan teduh, membuat hati setiap wanita ingin berlabuh. Senyumnya yang ramah saat menyapa, membuat siapa saja terpesona. Sudah lama rasa ini terpendam dalam diam, hingga takdir menyatukan. Ya, aku wanita beruntung, yang dilamar ibunya untuk dijadikan mantu. Padahal aku hanyalah seorang gadis yatim piatu yang diasuh nenekku.

Berbeda jauh dengan Sekar, yang bagai mawar mekar. Dia cantik, pintar, berpendidikan, dan kaya. Setara dengan Mas Danu dari sudut manapun. Namun, ibu Mas Danu malah memilihku, menghendakiku. Ada apa padaku yang membuat ibu Mas Danu terpikat, sementara Mas Danu tak sedikit pun menaruh minat pada wanita dengan paras biasa, pendidikan ala kadarnya, bahkan latar belakang keluarga tak punya. Diriku gadis papa yang mendapat keberuntungan menikah dengan seorang pangeran dalam semalam.

“Laras, belum juga?” tanya ibu mertuaku yang baik hati, setelah hampir sebulan aku resmi menyandang status menantu. Aku menggeleng lemah. Tahu ke mana pertanyaan itu dituju.

Di hadapan semua orang, kami seperti sepasang suami istri pada umumnya, tidur bersama. Namun Mas Danu tidak mau menyentuhku. Ia memilih tidur memunggungiku. Ia sibuk berkirim pesan pada seseorang yang jauh di mata namun dekat di hati. Aku hanyalah gundik, yang tak menarik untuk dilirik.

“Sudah pakai baju-baju yang ibu belikan?” tanya mertuaku lagi, saat aku membantunya memasak di dapur.

“Sudah, Bu,” jawabku sambil menahan tangis. Telah kukesampingkan semua malu. Berpakaian dengan aneka kain kurang bahan. Menonjolkan ini itu. Menyemprotkan wewangian di sana sini. Bahkan tersenyum setiap waktu meskipun hujan air mata yang ingin datang setiap menyambut pangeran yang senantiasa bermuka masam.

“Mustahil pria normal tidak menyukainya. Bener kamu pakai?” Seolah tak percaya, kini ibu menatap dengan penuh selidik. Mencari kebenaran di bola mataku yang mendadak basah. Matanya mendeteksi ke dalam tubuhku. Lalu ia menarikku ke dalam kamarnya, memintaku membuka baju. Meski risih dan bingung, namun kulakukan demi baktiku pada ibu mertua yang telah membantuku melewati berbagai kesulitan sejak balita.

“Tidak ada yang kurang dari tubuhmu. Kulitmu juga halus, mulus tanpa cela. Lalu kenapa Danu tidak berhasrat menikmatinya?” ia bergumam sendirian, dengan wajah berpikir yang semakin menyayat harga diri ini. Apalagi yang bisa membuat seorang pria mengabaikan seorang wanita jika bukan karena sudah ada orang lain yang memilikinya? Mungkin, Mas Danu bukan hanya mencintai Sekar, namun telah menyerahkan jiwa raganya pada wanita itu. Wanita yang telah lama ia kencani.

Air mata merembes jatuh. Diusap halus oleh ibu mertua. “Sudah, walaupun ini tidak mudah. Danu berhubungan dengan Sekar sejak kuliah. Memang sulit memutuskan jalinan yang telah lama terbuhul. Tapi sebagai istri sah, kamu tidak boleh kalah. Jadi jangan menyerah membuat Danu jatuh cinta padamu.”

Ah, ibu... wanita mana tidak terluka saat tidak diinginkan suaminya? Wanita mana sanggup menanggung penderitaan, tidak diinginkan di malam pengantinnya? Untuk siapa wanita menjaga kesuciannya, jika bukan untuk dipersembahkan bagi lelaki yang telah mengucap ijab qabul atas dirinya?

Aku selalu mandi dengan bersih sebelum menyambut Mas Danu. Memakai wangi-wanginya, dan berganti baju seksi demi membangkitkan naluri lelaki, namun dia selalu menepis. Seolah aku bangkai yang tak enak dipandang, apalagi disantap.

Ibu mertua mendekatiku, yang masih tertunduk lesu setiap paginya.

Padanya, satu per satu cairan bening meluncur jatuh ke lantai. Ia sentuh kedua pundakku. “Sudah, jangan menangis. Ini salah ibu, memaksa Danu menikahimu. Jadi ibu akan bantu. Malam ini, berdandanlah bak bidadari. Siapkan diri untuk malam zafaf-mu. Insya Allah, Danu akan mendatangimu.”

Entah itu hiburan, entah itu prediksi. Bagaimana ibu tahu apa yang terjadi di balik dinding kamar kami? Namun sebagai menantu yang berbakti, petuah itu tetap kuturuti.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status